Oleh: Rahmat Hidayat, Mahasiswa Magister Pendidikan Olahraga Universitas Negeri Jakarta, Sekretaris Jenderal Forum Mahasiswa Pascasarjana UNJ, dan Fungsionaris Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam (PB HMI).
Sebelumnya kita patut mengapresiasi segala usaha PSSI dan pemerintah dalam meloloskan Indonesia sebagai tuan rumah Piala Dunia U20 pada tahun 2019 silam termasuk mempertahankan status tersebut dengan berbagai upaya lobi serta narasi “jangan campur aduk urusan olahraga dengan politik”, walau pada akhirnya tetap dibatalkan oleh Federation Internationale de Football Association (FIFA).
Perlu menjadi fokus yang digarisbawahi, bahwa cikal bakal pembatalan tuan rumah yang dilakukan FIFA terhadap Indonesia bukan dikarenakan penolakan masyarakat Indonesia untuk menjadi tuan rumah Piala Dunia U20, melainkan berangkat dari polemik pro-kontra atas keterlibatan Timnas Israel dalam ajang tersebut yang bagi sebagian pihak dinilai bahwa dengan mengizinkan negara Israel ikut terlibat dalam kompetisi Piala Dunia di Indonesia sama halnya menafikan aspek historis dan konstitusi negara Indonesia. Selain itu, tentu ada rentetan akibat lain mengapa Indonesia harus dibatalkan menjadi tuan rumah Piala Dunia U20.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Bagaimanapun Indonesia bukan negara yang kali pertama dibatalkan atau ditarik status tuan rumahnya oleh FIFA dalam kurun waktu sekitar 30 tahun terakhir. Nigeria pada tahun 1991 pertama kali dibatalkan status tuan rumahnya karena skandal pemalsuan umur terhadap pemain tim nasional (Timnas) negaranya dan pada tahun 1995, negara potensial di Afrika Barat ini untuk kedua kalinya juga pernah dibatalkan karena menarik diri dari tuan ruma akibat wabah meningitis yang melanda negara tersebut. Selanjutnya di tahun 1993, Yugoslavia pernah mengalami nasib serupa akibat perang pasca runtuhnya Uni Soviet. Kemudian Irak juga pernah gagal menjadi tuan rumah pada tahun 2003 akibat adanya invasi militer Amerika Serikat ke negara tersebut. Kendati demikian, bukan berarti setiap pembatalan kemudian tidak diikuti langkah penyelesaian sebagai bentuk komitmen melancarkan jalannya ajang 2 tahunan itu.
Tentu tidak sedikit pihak yang kecewa terutama pecinta sepakbola dan olahraga tanah air atas dibatalkannya Indonesia menjadi tuan rumah Piala Dunia U20. Namun di satu sisi, bangsa kita juga tidak boleh terus merawat perdebatan dengan narasi saling hina dan menyalahkan serta melahirkan rasa pesimistis akan dikucilkannya persepakbolaan Indonesia dalam kompetisi olahraga dunia termasuk terkuburnya mimpi anak bangsa dalam memajukan sepakbola nasional. Justeru situasi saat ini menjadi momentum yang tepat bagi bangsa Indonesia untuk menelaah lebih dalam seperti apa dinamika politik dan pembenahaan yang diperlukan dalam keolahragaan nasional terutama sepakbola serta belajar lebih jauh bagaimana bangsa ini mestinya memposisikan diri dalam hubungan olahraga internasional, termasuk bersiasat sebagai strategi resolusi agar sumber daya olahraga indonesia tidak sekedar berdampak secara prestasi melainkan juga merubah persepsi dan sikap global negara-negara lainnya pada bangsa kita.
Dengan segala keterbatasannya, tesis-tesis opini dalam tulisan ini berupaya untuk menjadi anti-tesa dan mengurai sebagian pemikiran publik agar tertata dengan apik dalam mempersepsikan keolahragaan nasional kita.
Realitas Politik Olahraga Indonesia
Kronologi ini di luar konteks, tapi masih relevan.
Di mana jika berkaca pada tahun 2007 silam, sekitar 2 tahun setelah ditetapkannya UU Nomor 3 tahun 2005 tentang Sistem Keolahragaan Nasional (SKN) serta beberapa bulan setelah diterbitkannya PP Nomor 16 Tahun 2007 tentang Penyelenggaraan Keolahragaan, Mahkamah Konstitusi (MK) sempat memanas dengan perkara status Ketua KONI Surabaya yang dijabat oleh pejabat publik dalam hal ini Ketua Komisi E DPRD Jawa Timur saat itu. Di waktu yang bersamaan, gugatan serupa juga dilayangkan Gubernur Sumatera Selatan yang ketika itu juga menjabat sebagai Ketua KONI Sumatera Selatan yang kemudian kedua perkara ini oleh MK dijadikan satu pokok perkara.
Dari kasus tersebut, berdasarkan Putusan MK Nomor 27/PUU-V/2007 atas uji materi pada Pasal 40 UU Nomor 3 tahun 2005 dan Pasal 56 PP Nomor 16 Tahun 2007, MK menolak permohonan pemohon agar tidak dilarang menjabat sebagai Ketua KONI Surabaya.
Menurut MK, alasan pelarangan pejabat publik agar tidak menjabat dalam kepengurusan KONI dinilai tidak bertentangan dengan aturan perundang-undangan yang berlaku. Meskipun pada konteksnya, aturan tersebut terbilang kontradiktif bahkan diskriminatif terhadap induk cabang olahraga/cabor (sebagai anggota struktural KONI) yang menurut MK dibolehkan dijabat oleh pejabat struktural dan pejabat publik.
Kendati demikian, sejak UU SKN disahkan dan Putusan MK Nomor 27/PUU-V/2007 ditetapkan, tidak sedikit pejabat struktural maupun pejabat publik yang kemudian tetap kekeh menduduki jabatan Ketua KONI di daerah-daerah. Hal ini juga terjadi pada sejumlah organisasi induk cabor baik pada tingkat daerah maupun nasional yang beberapa tahun belakangan kursi pimpinannya secara berlomba-lomba diduduki pejabat struktural maupun pejabat publik, termasuk juga tokoh-tokoh politik.
Beruntung pada tahun 2022 lalu pemerintah melelaui DPR RI mengesahkan UU Nomor 11 tahun 2022 tentang Keolahragaan sebagai hasil revisi atas UU Nomor 3 Tahun 2005 tentang Sistem Keolahragaan Nasional (SKN). Dengan penyesuaian pasal 40 (UU SKN) menjadi pasal 41 (UU Keolahragaan), komite olahraga maupun induk cabor kini memberikan ruang secara bebas pada setiap pihak tanpa kecuali, untuk menduduki posisi jabatan strategis pada organisasi keolahragaan di segala tingkatan tanpa mempertimbangkan latar belakangnya.
Dalam kaitannya dengan itu, mensinyalir hebohnya respon pro-kontra publik di berbagai media atas penolakkan keterlibatan Timnas Israel pada ajang Piala Dunia U20, per tanggal 28 Maret 2023, Presiden Jokowi melalui konferensi pers di Istana Merdeka memberikan keyword penegasan secara gamblang agar masyarakat tidak mencampuradukkan antara urusan olahraga dengan politik.
Sebagai anak bangsa dan pecinta olahraga tanah air, pernyataan ideal Presiden Jokowi tersebut tentu perlu disepakati bersama. Karena sejatinya keolahragaan nasional tentu akan berkembang pesat dan terarah saat mendapat biliknya sendiri dalam pengelolaan yang secara profesional dilakukan oleh mereka yang memiliki kompetensi, baik dengan experience maupun knowledge.
Namun jika berangkat dari fenomena yang timbul sebagai fakta-fakta lapangan beberapa tahun belakangan, justeru narasi ”jangan campur aduk urusan olahraga dengan politik” adalah menjadi sesuatu yang kontradiktif. Pengelolaan keolahragaan di Indonesia kenyataannya lebih sarat politik sejak awal sebelum dan setelah diterbitkannya UU SKN.
Bahkan selain berkaitan dengan permainan anggaran (baca: kasus dana hibah olahraga) dan pelolosan tim untuk terlibat dalam event internasional (meski tidak lolos review cabor), dalam banyak kesempatan juga organisasi olahraga maupun event olahraga acapkali menjadi sarana mengagregasi kepentingan tokoh-tokoh politik tertentu atau bahkan daerah tertentu (baca: olahraga dan politik). Dari sini bangsa kita mestinya cukup sadar bagaimana membenahi persepsi yang berkembang bahwa olahraga di Indonesia tidak boleh dicampuradukkan dengan urusan politik.
Integritas Konsti-sosial Bangsa
Pembukaan UUD 1945 secara tegas menolak segala bentuk penjajahan di dunia karena bertentangan dengan kemanusiaan dan keadilan (aline I). Demikian dengan semangat tujuan kemerdekaan negara Indonesia juga yang salah satunya menyerukan agar bangsa kita ikut terlibat aktif dalam melaksanakan keteribatan dunia dengan mendasarkan pada kemerdekaan, perdamaian abadi, serta keadilan sosial (aline IV). Dapat dinterpretasikan bahwa Indonesia sejatinya mendukung dan menghormati hak-hak kemerdekaan setiap bangsa termasuk hak-hak kemanusiaan yang ada di dalamnya. Inferioritas bangsa kita akan tampak lebih rendah manakala prinsip-prinsip filosofis dalam menyikapi tindakan-tindakan feodal suatu bangsa terhadap bangsa lainnya seperti kekejaman kemanusiaan yang secara nyata telah disaksikan namun kita masih bersikap apriori.
Mengingat pada tahun 1944 bangsa Palestina melalui Syekh Muhammad Amin Al-Husseini menjadi orang pertama yang selama dua hari berturut-turut memberikan dukungan pada Indonesia sebelum kemerdekaan tahun 1945, maka mengindikasikan bahwa secara historis ada yang turut berjuang menyuarakan kemerdekaan bangsa kita jauh hari sebelum waktunya tiba. Maka betapa tidak berkepribadiannya bangsa yang konon katanya berbudaya ini menafikan nilai luhur sejarah serta tidak menunjukan sikap yang jelas pada negara penjajah.
Dengan kesadaran konstitusional dan historis tersebut, sepertinya tidak salah jika Gubernur Jawa Tengah dan Gubernur Bali menyatakan sikap penolakan terhadap keterlibatan Timnas Israel dalam Piala Dunia U20 yang sebelumnya direncanakan akan digelar di Indonesia.
Sebagai bangsa yang bernegara, hemat saya ada kekosongan kesadaran historis ketika secara konstitusional bangsa kita bersikap tegas atas tindakan penjajahan namun secara sosial bersikap maklum saat diperhadapkan dengan momentum tertentu dalam hal ini event olahraga. Bersyukur saat konferensi pers kemarin (28/3) Presiden Republik Indonesia dengan berdasar pada konstitusi secara tegas menyatakan bahwa prinsip negara kita Indonesia yang selalu konsisten dan teguh dalam memperjuangkan dan mendukung kemerdekaan bangsa Palestina. Selain itu Presiden juga menyatakan mendukung penyelesaian two state solution negara Israel dan negara Palestina merdeka.
Kita perlu berterimakasih saat Presiden menyatakan selalu konsisten menyampaikan hal tersebut dalam berbagai forum internasional. Namun disayangkan prinsip bangsa kita kembali menjadi ambigu saat terdapat pernyataan bahwa keikutsertaan Israel tidak ada kaitannya dengan konsistensi posisi politik luar negeri Indonesia terhadap Palestina serta jangan mencampuradukkan urusan olahraga dengan urusan politik.
Jika mengacu pada yang diterangkan dalam uraian sebelumnya, bahwa perlu ada pembenahan persepsi terhadap narasi yang demikian.
Adapun alasan penyebutan keambiguan prinsip bangsa ialah karena adanya kekurangmampuan dalam menginterpretasi integritas konsti-sosial dalam menegaskan prinsip tegas berbangsa kita terhadap negara Israel. Integritas konsti-sosial dalam istilah ini adalah kesadaran tegas dalam menyeleraskan sikap konstitusi sebagai warga negara dengan segala tindakan sosial di berbagai ruang lingkup bidang. Dapat dibilang bahwa integritas konsti-sosial ini sikap warga negara yang memposisikan konstitusi sebagai acuan tindakan dan lakunya dalam kehidupan bernegara. Artinya dalam konteks saat ini, kesadaran konstitusi dan sikap kita terhadap penjajah tidak boleh diberikan pengecualain hanya karena alasan Indonesia menjadi tuan rumah dalam event olahraga ini. Jika ingin berkompromi, setidaknya Indonesia perlu memberikan tawaran yang lebih mewakilkan semangat konsitusi negara kita. Integritas konsti-sosial inilah yang mestinya dirawat oleh seluruh tingkatan masyarakat Indonesia jika ingin mengejawantahkan semangat hidup berbangsa dan bernegaranya.
Gotong Royong Masif Masyarakat Olahraga
Terdapat sisi yang tidak dewasa dari masyarakat Indonesia dalam menyikapi event-event keolahragaan terutama dalam event cabor sepakbola. Masyarakat yang dimaksud di sini berdasarkan pasal 1 ayat 9 UU Nomor 11 Tahun 2022 diartikan sebagai orang perseorangan warga negara Indonesia, kelompok masyarakat, dan/atau organisasi kemasyarakatan yang mempunyai perhatian dan peranan dalam bidang Keolahragaan. Pengertian tersebut juga merangkul perseorangan atau kelompok masyarakat yang mendukung atau menaruh perhatian khusus terhadap cabang olahraga tertentu (biasa disebut suporter).
Di satu sisi ada kebanggaan dengan kultur bangsa kita yang senang bergotong royong. Namun di sisi lain, dalam konteks-konteks tertentu gotong royong mengalami misinterpretasi bahkan disinterpretasi oleh masyarakat kita. Akibat (mohon maaf) minimnya literasi pada nilai-nilai olahraga (respect, excellent, friendship), tidak sedikit fanatisme taqlid masyarakat olahraga melahirkan efek-efek destruktif dan ketidakharmonisan sosial di beberapa tempat.
Minimnya literasi pun tidak hanya dialami para suporter melainkan juga terjadi pada aparat keamanan bahkan pemain sepakbola itu sendiri. Beberapa contoh belakangan yang sangat mencoreng persepakbolaan indonesia di mata dunia diantaranya ialah kasus penembakan gas air mata di Stadion Kanjuruhan dan pelemparan batu secara brutal pada Bus yang ditumpangi Timnas Thailand di Stadion Gelora Bung Karno oleh sejumlah suporter Indonesia. Terlepas dari penyelesaian kasus hukumnya, jika ditelusuri akar permasalahan dari rentetan perpecahan dalam dunia sepakbola ini termasuk selain yang disebutkan di atas, semua tentu disebabkan karena ketidakdewasaan masyarakat olahraga kita dalam menyikapi hal-hal yang terjadi di sekitar rumput hijau.
Olahraga seperti sepakbola yang mestinya menjadi sarana memupuk solidaritas sosial, justeru menjadi pemicu kebarbaran antar kelompok masyarakat. Selain disebabkan oleh individu-individu tertentu yang ”unjuk jago” dalam kelompoknya, lagi-lagi hulunya bermula dari literasi masyarakat yang terbelakang dalam memahami semangat nilai-nilai olahraga.
Tidak heran jika secara komprehensif persepakbolaan Indonesia tidak menunjukan kemajuan yang signifikan. Selain karena variabel pengaturan skor (baca: kasus pengaturan skor sepakbola) dan naturalisasi atlet (baca: dampak naturalisasi atlet sepakbola), variabel anarkisme suporter menjadi salah satu faktor yang turut mempengaruhi indeks ketidakmajuan olahraga nasional.
Pembatalan Indonesia menjadi tuan rumah Piala Dunia U20 oleh FIFA bukan an sich karena penolakan masyarakat Indonesia terhadap keterlibatan Timnas Israel, tetapi juga akibat rentetan kasus anarkis di dunia sepakbola tanah air yang bermula dari minimnya literasi masyarakat atas nilai-nilai olahraga yang mestinya diinternalisasi.
Lantas mengapa pada pelaksanaan event-event cabang olahraga yang lain masyarakat Indonesia tidak melakukan penolakan yang sama atas keterlibatan negara Israel? Maka pertanyaan sebaliknya adalah, apa yang membedakan euforia masyarakat Indonesia antara pelaksanaan event olahraga sepakbola dengan event-event cabang olahraga lainnya?
Konversi Semangat Pro-Kontra Menuju Piala Dunia
Menelaah pemikiran pihak-pihak yang saling berserbarangan atas polemik Piala Dunia U20, pihak yang pro berpendapat bahwa menjadi tuan rumah Piala Dunia merupakan suatu kebanggaan dan kesempatan mewujudkan mimpi anak bangsa untuk berprestasi di tingkat internasional. Sedangkan yang kontra, menganggap bahwa penolakan Indonesia terhadap Israel untuk terlibat dalam kompetisi adalah komitmen konstitusi yang patut diejawantahkan.
Pada dasarnya tidak ada yang salah dengan masing-masing alasan tersebut. Kesalahan sebenarnya adalah bangsa kita hingga saat ini belum mampu move on dari polemik pro-kontra yang tak hentinya mencuat.
Jika terlampau larut, maka akan tenggelam. Jika tenggelam, siapa yang akan menolong?
Maka dari itu, terlebih dahulu mari bangun konsensus agar tidak lagi melanjutkan tindakan saling tuding-menuding, hina-menghina dan salah-menyalahkan atas keputusan FIFA terhadap Indonesia. Jika fokus pada rangkaian uraian tesis-tesis opini di atas, saya pikir kesadaran kita sedikit membuka celah bagaimana bangsa ini mestinya berbenah, memposisikan diri, serta bersiasat menindaklanjut secara positif kasus yang menimpa negara kita. Beberapa siasat ini hemat saya perlu dilakukan bangsa kita untuk mengkonversi polemik pro-kontra publik dalam melahirkan spirit baru bersama agar tindakan tersebut tidak sekedar menegaskan eksitensi olahraga Indonesia tetapi juga mempengaruhi persepsi dan sikap negara-negara dunia terhadap keolahragaan Indonesia.
Pertama, secara sederhana perlu dipahami bahwa semangat pihak-pihak yang sejalan atau pro dalam konteks ini adalah semangat mengangkat harkat dan martabat bangsa, sedangkan semangat yang dianut oleh pihak sebaliknya atau kontra adalah semangat menjaga militansi kebangsaan. Maka modal keinginan untuk mengangkat harkat dan martabat bangsa dan menjaga militansi kebangsaan ini, terlebih dahulu penting menjadi fondasi filosofis bersama dalam membangun olahraga sepakbola tanah air kita. Dengan mempertemukan ’benang merah’ atas perbedaan pendapat sebelumnya yang mengerucut pada dua semangat di atas, diharapkan menjadi spirit baru kolektif bangsa Indonesia untuk meredam pertentangan-pertengan pendapat yang terjadi saat ini.
Kedua, masyarakat indonesia perlu tetap merawat integritas konsti-sosial bangsa untuk menegaskan sikap konstitusional dan kepekaan sosialnya dalam menyikapi secara gamblang segala macam tindakan yang bertentangan dengan hak-hak kemanusian dan keadilan sosial bernegara yang terjadi pada negara-negara di belahan dunia manapun tanpa tebang pilih. Bangsa dan negara Indonesia tidak boleh bersikap inkosisten dengan menerapkan standar ganda seperti halnya FIFA yang pada Piala Dunia 2022 Qatar lalu menolak Rusia ikut terlibat karena alasan invansi militernya ke Ukraina, namun memberikan pengecualian pada Israel yang sudah sejak lama melakukan penjajahan terhadap Palestina.
Ketiga, gotong royong bangsa ini dalam keolahragaan terlebih dahulu perlu dibimbing dengan literasi nilai-nilai olahraga (respect, excellent, friendship), kemudian setelah itu berikan masukan dan desakan-desakann digital secara gotong royong seperti Gerakan Netizen Bersatu untuk memojokan posisi FIFA hingga membuka kembali ruang diplomasi dengan Indonesia. Potensi Indonesia sebagai negara yang berstatus netizen paling tidak sopan nomor satu se-Asia Tenggara berdasarkan laporan Digital Civility Index (DCI) tahun 2021, perlu diberdayakan dalam tajuk Gerakan Netizen Bersatu demi membantu sepakbola tanah air.
Melalui gerakan digital ini netizen dapat turut membantu mempengaruhi FIFA dengan keyword atau tagline tertentu yang secara bersama dapat disepakati terlebih dahulu, seperti kembalikan hak tuan rumah Indonesia, selamatkan Indonesia dan Piala Dunia U20, atau FIFA bersama Indonesia, dll. Gerakan Netizen Bersatu juga dapat melakukan report massal terhadap akun-akun media digital yang berhubungan dengan FIFA untuk memberikan warning lebih dini. Masyarakat kita dapat melakukan gerakan apapun secara digital secara terkoordinasi demi mempengaruhi langkah keputusan yang sebelumnya telah diambil oleh FIFA. Jika langkah pemerintah Indonesia tak berbuah baik, maka saatnya masyarakat Indonesia yang mengambil peran.
Keempat, bangsa ini harus yakin dan optimis bahwa dengan mengkonversi realitas politik olahraga nasional menjadi semangat kesadaran menetukan sikap politik yang berbeda, dapat mempengaruhi hasil dari suatu keputusan yang telah dibuat oleh FIFA terhadap status tuang rumah Indonesia.
Dalam konteks polemik ini, tanpa mengenyampikan integritas konsti-sosial, bangsa ini perlu sama-sama sepakat bahwa segala macam sikap gerakan politik Indonesia harus dibenarkan demi menarik kembali ketertarikan FIFA dan keputusannya pada Indonesia. Tindakan kita menjadi salah apabila bangsa kita tidak melakukan apapun untuk berusaha mewujudkan itu semua.
Kita positive thinking saja, andaikan ruang rediplomasi itu dikonfirmasi atau diminta oleh FIFA, Indonesia pun perlu memberikan tawaran pada FIFA bahwa jika Israel ingin secara bebas tanpa gangguan berlaga di Indonesia, maka segera hentikan penjajahan dan berikan hak kemerdekaan pada Palestina beserta dengan hak-hak yang harus dimilikinya. Namun jika tidak, pemerintah Indonesia dapat mengajukan opsi lain pada FIFA dengan mengizinkan penyelenggaraan Piala Dunia U20 pada dua tempat sekaligus di wilayah Asia Tenggara, terutama di negara-negara tetangga Indonesia yang fasilitas sarana dan pra sarana sepakbolanya sudah memenuhi standar FIFA dan aksesnya juga cukup terjangkau dan efektif.
Langkah itu patut dilakukan, karena bagaiamanapun Indonesia terbukti cukup berpengalaman secara manajerial bagaimana mengelola pembagian lokasi venue olahraga menjadi dua atau beberapa tempat tanpa mengurangi nilai euforia dari event olahraga yang diselenggarakan.
Hal demikian, menurut hemat saya lebih konkret dan relevan dengan prinsip berbangsa dan bernegara kita sebagaimana yang tertuang dalam konstitusi tanpa mengenyampimkan konsistensi politik negara kita terhadap penjajahan Palestina serta tidak juga mengubur mimpi anak bangsa kita.
Selain itu, gerakan yang kita lakukan secara masif dan disaksikan negara-negara luar terutama negara partisipan Piala Dunia U20 meski belum tentu akan berdampak pada pencapaian prestasi, akan tetapi spirit bangsa dalam rangkaian perjuangan itulah yang akan mempengaruhi persepsi dan sikap dunia pada keolahragaan Indonesia.
Namun jika segala macam upaya bangsa ini juga tidak membuahkan hasil seperti yang diharapkan, setidaknya kita telah melakukan langkah maju perbaikan yang lebih nyata melalui siasat konversi semangat pro-kontra publik dalam polemik Piala Dunia U20 ini.
Tugas kita selanjutnya, terutama para atlet Timnas (jika masih menjadi peserta Piala Dunia) adalah dapat memanfaatkan secara maksimal sisa semangat yang dimiliki untuk mewujudkan harapan anak bangsa dan melahirkan kebanggaan nasional tanpa harus dipengaruhi faktor politis karena status tuan rumah event. Dari tanah air, biarkan masyarakat olahraga memberikan dukungan dengan semangat persatuan tanpa terpengaruh polemik pro dan kontra seperti sebelumnya.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari DETIKIndonesia.co.id. Mari bergabung di Channel Telegram "DETIKIndonesia.co.id", caranya klik link https://t.me/detikindonesia, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.Penulis | : Rahmat Hidayat |
Editor | : Fiqram |
Sumber | : |