DETIKINDONESIA.CO.ID, JAYAPURA – Cengkeraman Prancis atas wilayah seberang lautnya di Pasifik mungkin akan memudar, seiring bersuaranya delegasi kelompok pro-kemerdekaan Kaledonia Baru dan Polinesia Prancis dalam forum Komite Khusus Dekolonisasi Perserikatan Bangsa Bangsa atau PBB pekan ini. Mereka mengklaim mendapat dukungan dari mayoritas masyarakat adat penduduk asli di wilayah mereka.
Radio New Zealand melansir delegasi Gerakan Pembebasan Nasional Kanak Magalie Tingal-Lémé dan politisi pro kemerdekaan Tahiti Vannina Crolas berbicara tentang isu masyarakat adat yang sensitif dalam forum Komite Khusus Dekolonisasi PBB. Tingal-Lémé menegaskan Gerakan Pembebasan Nasional Kanak menolak hasil referendum Kaledonia Baru tahun 2021 yang dinilai kontroversial.
Referendum yang menolak pemisahan Kaledonia Baru dari Prancis itu diboikot oleh Gerakan Pembebasan Nasional Kanak dan kelompok pro-kemerdekaan Kaledonia Baru lainnya, karena digelar di tengah kekhawatiran pandemi Covid-19. “Melalui referendum yang tidak sah itu, Prancis telah merampas kemerdekaan kami,” kata Tingal-Lémé.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
“Kami tidak akan pernah menerima hasil itu, namun kami tidak dapat menggugat hasilnya di bawah hukum internal Prancis. Kini kami beralih kepada komunitas internasional, mengharapkan adanya lembaga imparsial yang tidak memihak untuk menunjukkan bagaimana melanjutkan proses yang sesuai dengan internasional tentang dekolonisasi,” kata Tingal-Lémé.
Ia menegaskan kepada Komite Khusus Dekolonisasi PBB bahwa masyarakat adat selaku penduduk asli Kaledonia Baru tidak senang dengan status quo pasca-referendum 2021. Ia menyebut Prancis melanggar prinsip kebebasan dan kesetaraan PBB.
“Setiap kali kami berbicara di depan lembaga anda, kami membawa suara rakyat terjajah. Ketika kami berbicara tentang penjajahan, kami tentu berbicara tentang orang-orang yang menderita kerusakan, stigma, dan konsekuensinya,” kata Tingal-Lémé kepada forum Komite Khusus Dekolonisasi PBB.
Politisi pro-kemerdekaan Tahiti Vannina Crolas juga mengadvokasi kemerdekaan sekelompok pulau di Polinesia Timur, wilayah yang dikenal sebagai Polinesia Prancis. Seperti Kaledonia Baru, Kepulauan Polinesia Prancis telah dikuasai Prancis sejak abad ke-19.
Akan tetapi, pro dan kontra aspirasi kemerdekaan Polinesia Prancis membelah penduduk aslinya. Secara historis, penduduk asli Polinesia Prancis merasakan hubungan mereka dengan Prancis yang lebih positif ketimbang pengalaman sejarah orang-orang Kanak di Kaledonia Baru.
Awal tahun ini, partai pro-kemerdekaan dipimpin oleh Moetai Brotherson, Partai Tāvini Huiraʻatira, memenangi pemilihan presiden di wilayah itu. Mereka meraih 38 suara, sementara partai anti-kemerdekaan yang sedang berkuasa, Partai Tapura Huiraatira, hanya meriah 19 suara.
Dalam forum Komite Khusus Dekolonisasi PBB, Vannina Crolas menyatakan bahwa Moetai Brotherson baru-baru ini telah bertemu dengan Presiden Prancis Emmanuel Macron, dan Pemerintah Prancis sejauh ini menghormati proses demokrasi di Polinesia Prancis yang tampaknya bergerak menuju kemerdekaan. “Prancis menghargai demokrasi, seperti halnya pemerintah kita. Jika saya berdiri di sini, di depan Anda hari ini, itu karena demokrasi,” kata Crolas.
“Saya di sini untuk mewakili pemerintah yang dipilih rakyat kami secara demokratis untuk mengonfirmasi kepada komite Anda dan dunia, bahwa pemerintah Polinesia Prancis mendukung penuh proses dekolonisasi dan penentuan nasib sendiri di bawah pengawasan PBB,” kata Crolas.
Pengaruh Selandia Baru di wilayah Pasifik pun mendapatkan tantangan, khususnya dari penduduk asli Tokelau. Kepala pemerintahan Tokelau Kerisiano Kalolo mengatakan kepada Komite Khusus Dekolonisasi PBB bahwa dia berkomitmen untuk meraih penentuan nasib sendiri bagi rakyat Tokelau.
Referendum Tokelau pada tahun 2007 menunjukkan bahwa lebih dari 64 persen penduduk mendukung penghapusan status politik Tokelau di bawah Selandia Baru. Akan tetapi, hasil itu tidak cukup untuk memerdekakan Tokelau.
Kalolo mengatakan ada harapan baru dari rakyat Tokelau untuk kembali memperjuangkan kemerdekaan negara mereka. Meskipun demikian, Kalolo juga menegaskan pihaknya akan tetap mempertahankan hubungan ekonomi yang kuat dengan Selandia Baru.
“Parlemen Fono di Tokelau setuju untuk membicarakan kembali penentuan nasib sendiri dan status politik Tokelau di masa depan. Kami berencana untuk memulai pembicaraan itu pada paruh kedua tahun ini,” kata Kalolo forum Komite Khusus Dekolonisasi PBB.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari DETIKIndonesia.co.id. Mari bergabung di Channel Telegram "DETIKIndonesia.co.id", caranya klik link https://t.me/detikindonesia, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.Penulis | : DOMINGGUS A MAMPIOPER |
Editor | : YULI A.H |
Sumber | : JABI |