Resep Anti Negara Gagal

Jumat, 28 Juli 2023 - 08:44 WIB

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

AA LaNyalla Mahmud Mattalitti

AA LaNyalla Mahmud Mattalitti

Oleh: AA LaNyalla Mahmud Mattalitti

Minggu lalu, mata dunia tertuju kepada Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa Antonio Guterres. Karena dia menyampaikan peringatan serius kepada negara-negara di dunia. Tentang ancaman negara gagal.

Dalam laporannya yang berjudul; A World of Debt (Dunia Utang), Guterres memberi peringatan serius terkait utang publik global di tahun 2022, yang mencetak rekor 92 triliun US Dolar. Angka tertinggi sepanjang masa.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Sekjend kelahiran Portugal itu mengatakan, sebanyak 52 negara, hampir 40 persennya adalah negara berkembang, berada dalam masalah utang yang serius. Katanya seperti dirilis di website resmi United Nation, Rabu, 12 Juli 2023.

Yang menjadi perhatian dia, adalah tingginya angka pembayaran bunga utang (belum termasuk pokok utang), yang melebihi beberapa belanja publik pemerintah di sektor yang seharusnya menjadi mandatory. Sektor mandatory menurut Guterres yang terpenting ada dua; Kesehatan dan Pendidikan.

Beberapa negara memang tercatat membayar bunga utang lebih tinggi ketimbang belanja sektor mandatory. Terutama negara-negara di Benua Afrika. Menurut dia, jika ini diteruskan, potensi untuk menjadi negara gagal terbuka lebar.

Bagaimana dengan Indonesia? Dalam APBN kita, bunga utang yang dibayar pemerintah di tahun 2022 sebesar Rp 386,3 triliun. Sementara anggaran Kesehatan di tahun 2022 sebesar Rp 176,7 triliun. Sedangkan belanja di sektor Pendidikan mencapai Rp 472,6 triliun.

Di sisi lain, potensi angka utang Indonesia masih akan membesar. Pertama karena defisit neraca APBN. Kedua, karena pagu rasio utang dengan Pendapatan Domestik Bruto (PDB) sesuai Undang-Undang No.17 Tahun 2023 tentang Keuangan Negara, masih terbuka untuk nambah utang.

Rasio utang Indoneaia tahun 2023 masih di angka 38,15 persen dari PDB. Sedangkan pagu di dalam UU 17/2023 tersebut dipatok 60 persen dari PDB. Artinya masih berpotensi untuk nambah utang berkali-kali lipat.

Baca Juga :  Miras Bukan Budaya Orang Asli Papua

Dan jika betul nambah terus, maka belanja bayar bunga utang niscaya akan melampaui belanja sektor Pendidikan. Bahkan bisa saja melampaui belanja gabungan antara Pendidikan dan Kesehatan.

Artinya, Indonesia juga berpotensi menjadi negara gagal. Dan kita tidak perlu defense, atau malu-malu mendiskusikan soal ini.

Pemerintah tidak perlu nyolot dan mengelak dengan membandingkan dengan rasio utang Jepang yang mencapai 260 persen dari PDB. Karena kita harus utuh menjelaskan informasi tersebut.

Karena Jepang ternyata juga kreditur besar ke beberapa negara. Bahkan Jepang memegang surat utang Amerika Serikat sebesar 1,3 triliun USD atau sekitar 18.500 triliun rupiah. Sementara utang Jepang didominasi utang dalam negeri, dalam satuan mata uang Yen. Bukan USD.

Amerika Serkat sendiri juga utangnya tinggi. Mencapai rasio 137 persen dari PDB. Tetapi lagi-lagi, AS juga kreditur besar ke sejumlah negara. Apalagi AS ditopang oleh jaminan pemasukan pajak dari puluhan the biggest company in the world, yang berkantor pusat di AS. Jadi ojok dibandingke.

Nah, daripada sibuk membuat perbandingan yang tidak apple to apple, lebih baik kita merefleksi diri. Muhasabah. Untuk mencari resep jitu agar Indonesia tidak menjadi negara gagal. Karena negara ini milik rakyat. Pemerintah boleh shutdown. Tapi negara tidak boleh.

Pentingnya Sistem

Mari kita menilik buku tentang Negara Gagal yang ditulis ekonom asal Turki-Amerika, Daron Acemoglu dari Institut Teknologi Massachusetts dan ilmuwan politik James A. Robinson dari Universitas Harvard. Buku ini pertama kali dicetak tahun 2012 silam.

Mereka mengatakan kemajuan atau kemunduran suatu negara, ditentukan oleh desain institusi politik dan ekonominya. Suatu negara dapat terus berjalan dan mencapai titik kemakmuran, bila dikelola dengan cara yang tepat.

Ini artinya sistem. Bukan tergantung orang (pemimpin). Bahkan mereka mengatakan, meskipun negara kaya sumber daya alam, dan ditopang iklim yang mendukung, (seperti Indonesia), bisa saja menjadi negara gagal. Apabila tidak dijalankan dengan sistem yang tepat.

Baca Juga :  Halaman 74 Putusan MK

Kedua akademisi itu memisahkan institusi politik dan ekonomi ke dalam dua bentuk. Yaitu; institusi politik ekonomi inklusif, dan institusi politik ekonomi ekstraktif.

Intinya, institusi politik ekonomi inklusif ini memiliki kebijakan yang tidak hanya memberi keuntungan kepada kaum elit. Tapi juga memberi kemakmuran kepada rakyat mayoritas. Secara politik, rakyat juga bisa berpartisipasi aktif. Punya saluran konstitusional. Sehingga bisa mengontrol tindakan penguasa.

Sebaliknya, institusi politik ekonomi ekstraktif merupakan wujud kekuasaan dimana sumber daya ekstraktif hanya dikuasai oleh segelintir orang (oligarki), yang didukung oleh kekuatan politik dan kekuasaan. Situasi ini akan memicu kesenjangan ekonomi yang lebar.

Nah, bagaimana wajah Indonesia? Jika ditelaah dengan pisau analisis yang dipaparkan kedua penulis buku negara gagal itu.

Sistem politik Indonesia saat ini, sejak era Reformasi, menempatkan Partai Politik dan Presiden terpilih menjadi pemegang kedaulatan rakyat. Partai politik juga penentu calon presiden yang disuguhkan kepada rakyat untuk dipilih. Dan partai politik juga melalui DPR sebagai pembentuk Undang-Undang yang mengikat 270 juta rakyat Indonesia melalui paksaan hukum (law enforcement).

Di sisi lain, faktanya; 1 persen penduduk Indonesia menguasai setengah kekayaan nasional. Karena angka GINI rasio kita terhadap kekayaan nasional mencapai angka sebesar 0,381. Sedangkan GINI rasio terkait penguasaan tanah di Indonesia, yang mencapai angka 0,58, artinya 1 persen penduduk menguasai 58 persen sumber daya agraria, tanah dan ruang.

Sementara 40 persen penduduk Indonesia masuk dalam kerentanan atau kemiskinan berdasarkan angka patokan Bank Dunia.

Kemiskinan, kesenjangan sosial, dan ketidakadilan sosial mungkin tidak kita rasakan di dalam ruangan rapat pembuat kebijakan di Jakarta. Tetapi di jalanan, di kampung dan gang sempit, di daerah-daerah, di desa-desa, juga di pulau-pulau kecil di luar Jawa; Sangat terasa dan tampak nyata.

Baca Juga :  Ketua DPD RI Dukung Pengajuan Ratu Kalinyamat Jepara Jadi Pahlawan Nasional

Jadi marilah kita membangun kesadaran kolektif. Republik ini harus menjadi milik semua. Bukan milik segelintir orang atau kelompok tertentu.

Hentikan kontestasi politik yang semata-mata ingin sukses meraih kekuasaan dengan cara liberal. Karena politik liberal yang transaksional, dan semata-mata berorientasi kekuasaan itu telah menjadikan kehidupan bangsa kita kehilangan jiwa, rasa, etika, dan kehormatan.

Pilpres Langsung yang kita adopsi copy paste begitu saja telah melahirkan politik kosmetik yang mahal dan merusak kohesi bangsa. Karena batu uji yang kita jalankan dalam mencari pemimpin nasional adalah popularitas yang bisa difabrikasi melalui media.

Belum lagi elektabilitas yang diframing melalui lembaga survei. Lalu diresonansi buzzer di medsos dengan narasi-narasi saling hujat atau takliq buta puja-puji. Maka, semakin mahal biaya make up-nya, semakin glowing di mata rakyat, yang disodori realita yang dibentuk.

Oleh karena itu, marilah kita kembali ke sistem bernegara yang dirumuskan para pendiri bangsa. Sistem bernegara yang tidak meninggalkan Pancasila. Khususnya sila keempat dan ketiga.

Sistem bernegara yang belum pernah secara benar dan tepat diterapkan, baik di era Orde Lama maupun Orde Baru.

Niscaya kita akan terhindar dari negara gagal. Karena kedaulatan harus benar-benar dijelmakan oleh seluruh elemen bangsa di Lembaga Tertinggi Negara. Tidak boleh ada yang ditinggalkan. Karena kita harus membangun demokrasi. Bukan membangun dominasi.

Berabad-abad bangsa Nusantara ini memiliki tradisi musyawarah dan perwakilan. Bahkan partai politik dan ormas dalam memilih ketuanya juga melalui perwakilan. Tetapi mengapa giliran memilih presiden harus dilakukan secara langsung? Dan penentu akhir siapa yang menang adalah Komisi Pemilihan Umum yang mengumumkan angka-angka suara dari 820.161 TPS.

Surabaya, 28 Juli 2023

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari DETIKIndonesia.co.id. Mari bergabung di Channel Telegram "DETIKIndonesia.co.id", caranya klik link https://t.me/detikindonesia, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.

Penulis : AA LaNyalla Mahmud Mattalitti
Editor : Yuli A.H
Sumber :

Berita Terkait

Konflik Politik dan Resolusi
Catatan Politik Senayan; Prioritaskan Program dengan Berpijak Pada Aspirasi Publik
Politik di Spice Islands
Transmigrasi Bukan Solusi Kesejahteraan Bagi Penduduk Orang Asli Papua
Implementasi Disertasi Menteri Bahlil: Pembentukan SATGAS Hilirisasi Berkeadilan dan Berkelanjutan Mendesak Dipercepat
Rancu Produk Hukum Pelantikan Presiden & Wakil Presiden
Kerek Lamok dan Wunuk Kerek
Perempuan Lani dan Cawat Tali

Berita Terkait

Minggu, 22 Desember 2024 - 12:55 WIB

PB-FORMMALUT Minta Kapolsek Obi Tindak Tegas Galian C, Milik Hasan Hanafi 

Minggu, 22 Desember 2024 - 12:54 WIB

Soal Kasus Korupsi Bank BPRS, Kejari Halsel Di Demo 

Minggu, 22 Desember 2024 - 09:41 WIB

Pemkot Tidore Raih Penghargaan Pengelolaan TKD Terbaik T.A 2024

Minggu, 22 Desember 2024 - 07:01 WIB

TPID Kota Tidore Gelar Rakor Pengendalian Inflasi Jelang Nataru

Kamis, 19 Desember 2024 - 16:09 WIB

Pemkot Tidore Kembali Raih Penghargaan Predikat Kepatuhan Pelayanan Publik dari Ombudsman

Kamis, 19 Desember 2024 - 16:03 WIB

Hadiri Investment Forum, Bupati Freddy Thie Perkenalkan Pariwisata Kaimana

Kamis, 19 Desember 2024 - 15:56 WIB

Pemkab Kaimana Kembangkan Ekowisata Berkelanjutan di Teluk Triton

Kamis, 19 Desember 2024 - 15:51 WIB

Artis Papua Edo Kondologit: Dari Anak Kampung hingga Ikon Musik Papua dan Indonesia

Berita Terbaru

Daerah

Soal Kasus Korupsi Bank BPRS, Kejari Halsel Di Demo 

Minggu, 22 Des 2024 - 12:54 WIB

Teraju

Konflik Politik dan Resolusi

Minggu, 22 Des 2024 - 09:34 WIB