Oleh: Ustadz Ismail Aso – (Tokoh Muslim Papua Pegunungan)
“Agama memiliki nilai kebenaran bersifat universal tanpa dibatasi sekat-sekar primordialisme suku, bangsa, bahasa, benua, pulau (batas geografis), warna kulit, rambut dan jenis kelamin”.
Islam dan Kristen sama: Pendatang Baru Tidak semua agama tapi tiga agama samawi abramice religion (bersumber Ibrahim atau Abraham) yakni Islam, Yahudi dan Kristen dapat disiarkan dan dianut oleh suku bangsa lain jauh keluar dari tempat asal usul ketiga agama ini lahir.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Sejauh mana asal usul Kristen dan Islam ldan tanpa peduli Yesus dan Muhammad orang mana ajaran yang diajarkan, kini tanpa merasa aneh asing ajaran mereka dipeluk dan dianggap milik sendiri oleh orang Papua.
Semua Agama di Papua pendatang dan hadir mencari penganut (orang Papua). Dengan sendirinya semua agama sama dengan bahasa lain tidak ada satu agama berhak menganggap dan dianggap lebih berhak atas Tanah dan Manusia Papua.
Sebaliknya Agama manapun boleh dan berhak tumbuh dan berkembang selama orang Papua menerima dan memeluk ajaran agama itu atau menolaknya.
Itulah sebabnya di semua Propinsi Papua (kini lima Propinsi) wajib ada Perwakilan Pokja agama tanpa diskriminasi apalagi ada unsur monopoli satu agama dengan prinsip mayoritas-minoritas mengingat agama bukan unsur genuin Papua dalam arti bukan segalanya tapi hanya unsur budaya baru.
MRP Unsur Agama Perlu Ditinjau Ulang Saya malah menganggap pembuat aturan (UU) konseptor MRP yang kurang jeli malah terkesan tidak mumpuni. Memgapa karena unsur agama dimasukkan padahal agama bukan unsur asli dalam kebudayaan asli Papua.
Muncul persoalan baru ketika beberapa Propinsi mislanya Papua Tengah keterwakilan Islam (“boleh”) diakomodir oleh Mayoritas penganut Protestan. Ini aneh padahal penduduk Papua Tengah Mayoritas beragama islam tanpa membedakan penduduk asli dan pendatang.
Bahkan Propinsi Papua induk Calon MRP perwakilan Islam tidak dilantik dengan alasan tidak masuk akal bukan berasal dari Wilayah Adat Tabi-Saireri.
Muncul pernyataan sikap Majelis Muslim Papua (MMP) dan pada pokok isi pernyataan menyalahkan Wakil Menteri Dalam Negeri RI. Atas persoalan ini didalam group WathApp saya melakukan pembelaaan dengan menyatakan sbb:
“Kalau Pak Wamen itu eksekutif, beliau melaksanakan UU sebagai penyelenggara negara, sepenuhnya Pak Wamen benar dan tak bisa disalahkan. Yang kurang cermat pembuat UU kalau mau disalahkan”.
Selanjutnya saya menyatakan kepada para pihak yang protes: “Ubah UU Perdasi kalau anda mau paham harusnya bagaimana?
Ini semua penyebab landasan filosofi pembuat UU dan pengusul UU kurang cermat kalau tdk boleh dikatakan kurang cerdas Berbicara Otsus dan MRP itu erat kaitannya dengan pengorbanan nyawa dan budaya Asli Papua. Ada keinginan Rakyat Papua memisahkan diri dari NKRI.
Jadi masuk akal bila agama tak diseret masuk dalam wilayah perdebatan politik integrasi dan disintegrasi.
Jika ada “berkat” didalam Otsus maka harus dirasakan secara merata bergantian semua unsur perwakilan agar tak terkonsentrasi pada satu dua oknum disitu.
Untuk kursi MRP Pokja Agama Islam Ustadz atau KH Saiful Islam Payage saja. Agama tidak kenal suku dan batas geografis. Jika ada Perdasi mengatur harus putra Wilayah Adat berarti yang harus diubah dan harus perbaiki Peradasinya, bukan siapa orang yang mewakili, orangnya tidak salah yang salah pikiran orang yang salah buat aturan. Karena itu aturan harus diubah karena tak sesuai dengan nilai nilai universalitas sebuah agama.
Untuk Papua UU Otsus soal Agama selalu debatable, karena itu kalau mau konsisten rasional dan sesuai dengan budaya adat Papua pasal agama kedepan dihapus diganti dengan unsur perwakilan pemuda.
Mengapa? Karena agama bukan unsur genuin Made in Papua. Agama dan pemerintah itu baru dan asing dalam budaya Papua baru diterima 2 abad belakangan ini bukan?
Evaluasi dalam arti tetap tetapi sesuai nilai-nilai kearifan agama secara universal dimana agama (tiga agama Islam Kristen dan Katolik bukan berasal usul Papua, melainkan unsur budaya adobsi baru).
Jika mau konsisten agama tak dibatasi oleh aspek primordialisme, berbeda dengan unsur orang mewakili berdasar budaya dan berdasar asal usul kekhasan masing-masing 7 Wilayah Adat Papua. Inipun masih debatable, contoh mama berasal dari Wamena, Bapaknya berasal dari Biak atau Jayapura, tentu jadi masalah walupun bisa diatur pasal kekhususan disitu sesuai definisi OPA (Orang Papua Asli).
Kalau mereka yang dengan alasan menolak UU Otsus dan MRP saya no comen.
Penulis | : Ustadz Ismail Aso |
Editor | : Yuli |
Sumber | : |