Oleh : AA LaNyalla Mahmud Mattalitti
DETIKINDONESIA.CO.ID – Sebagai orang yang pernah menjabat sebagai Ketua Lembaga Negara selama lima tahun, saya banyak mengetahui bahwa memang anggaran belanja di Kementerian/Lembaga dan Badan memang harus dievaluasi. Untuk satu tujuan: Efisiensi.
Agar lebih tepat sasaran. Lebih dirasakan manfaatnya langsung oleh masyarakat. Dan tidak menguap begitu saja melalui kegiatan yang dilakukan agar anggaran sekadar terserap.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Saya orang yang setuju dilakukan efisiensi belanja dan penggunaan APBN. Mengingat Fiskal Indonesia masih dalam keadaan defisit. Dan tradisi penyusunan pos belanja dan penggunaan APBN dari tahun ke tahun nyaris sama. Seolah sudah ada template yang tinggal diisi. Hanya angkanya yang berbeda. Makin naik dari tahun ke tahun, dengan landasan argumen: Inflasi.
Padahal, di sektor swasta berlaku adagium: tidak berubah mati. Tidak adaptasi mati. Artinya tidak boleh mengandalkan template masa lalu. Tetapi harus menyusun dan menyusun terus strategi perubahan yang baru. Karena tidak berubah akan tergilas. Tidak menyesuaikan diri akan hanyut. Begitulah beratnya mengelola bisnis di sektor privat.
Tetapi mengapa kemudian kebijakan yang memang harus dilakukan, dan jarang ditempuh pemerintahan sebelumnya justru menimbulkan reaksi yang bermuara kepada penolakan? Sampai disambut aksi dengan tagar Indonesia Gelap?.
Sepertinya ada dua persoalan mendasar yang mengiringi kebijakan efisiensi anggaran ini yang kurang tuntas dilakukan pemerintah. Pertama, adalah transparansi. Kedua, komunikasi dengan pesan yang utuh dan sampai tanpa bias.
Transparansi
Kita sebaiknya jujur dan terbuka saja. Di Kementerian/Lembaga dan Badan, hampir setiap tahun nomenklatur belanjanya sama. Sebut saja pos bimbingan teknis, kajian, rapat koordinasi, konsolidasi biro, konsinyering dan lain sebagainya. Itu semua dari jaman apa sampai jaman apa ya tetap ada. Karena templatenya sudah begitu.
Coba saja kita minta data ke FITRA, sebuah LSM yang fokus mencermati anggaran belanja pemerintah. Berapa banyak temuan FITRA yang sudah dipublikasikan terkait praktek permainan anggaran, mark up biaya dan kegiatan fiktif yang terjadi di sejumlah kementerian dan lembaga.
Saya sendiri pernah melansir, adanya fakta di sebuah kementerian –tidak perlu saya sebut, meskipun sudah pernah diberitakan juga di sejumlah media. Ada pos belanja Penyusunan Peraturan Perundang-undangan yang mencapai angka 287 Milyar Rupiah. Hampir setara dengan belanja pembangunan APBD Kabupaten Mukomuko selama satu tahun, yang hanya sebesar 359 Milyar Rupiah (data tahun 2020).
Inilah yang kemudian memicu perasaan ketidakadilan fiskal bagi masyarakat di daerah. DimanaAPBN terdistribusi untuk Pemerintah Pusat sekitar 64 persen, sementara Pemerintah Daerah sekitar 36 persen. Dengan Proporsi Beban Jumlah Pegawai yang ditanggung Pemerintah Daerah sebesar 78 persen, sedangkan Pemerintah Pusat hanya 22 persen.
Jadi transparansi terhadap latar belakang efisiensi anggaran ini harus dibuka ke rakyat sebagai pembayar pajak. Memang akan sedikit mencoreng muka sendiri. Bahwa banyak kegiatan yang sebenarnya bisa dihilangkan. Terutama kegiatan yang tidak secara langsung dirasakan masyarakat. Apalagi ditambah fakta kebocoran dimana-mana.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari DETIKIndonesia.co.id. Mari bergabung di Channel Telegram "DETIKIndonesia.co.id", caranya klik link https://t.me/detikindonesia, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.Penulis | : TIM |
Editor | : BIM |
Sumber | : KLIKWARTA.COM |
Halaman : 1 2 Selanjutnya