Oleh: Jidin Siagian S.H.,M.H (Pengamat Hukum)
Dalam penanganan hukum tindak pidana korupsi yang ideal, ditujukan untuk menimbulkan efek jera dan asas manfaat bagi rasa keadilan masyarakat. Bukan untuk kriminalisasi dan justru menghancurkan tata kehidupan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat. Namun berdasarkan pengamatan, penanganan kasus korupsi oleh Jampidsus Kejaksaan Agung lebih cenderung menggunakan narasi “Mega Korupsi” dengan narasi angka kerugian negara yang sangat besar, fantastis dan bombastis.
Salah satu contohnya, perhitungan kerugian negara Rp 300 triliun dalam kasus “Mega Korupsi Timah”. Namun sayangnya ini lebih menjadi framing kepada masyarakat dan hanya menjadi isu besar untuk membangun keterkejutan persepsi dan kemarahan masyarakat. Menyusul strategi penanganan korupsi melalui pembangunan kasus dan pengembangan persepsi masyarakat ini adalah kasus PERTAMINA dengan rugi 1 tahun Rp. 193,7 Triliun untuk 1 tahun.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Maka kalau delik tempusnya 5 tahun, maka kerugian negaranya bisa lebih fantastis lagi hampir Rp. 1000 triliun. Ini masih dugaan, belum ada perhitungan resmi perhitungan kerugian negaranya tapi sudah di lemparkan secara bombastis.
Kita fokus dulu, untuk kasus timah, di mana bagi kelompok masyarakat berpendidikan yang bijak, “Efek Kejut” dari angka ini bukan saja hanya mengejutkan, tetapi juga menimbulkan banyak pertanyaan mendasar. Contohnya pikiran kritis masyarakat Bangka Belitung saat ini yang menuntut “Kalau memang benar “Uang Korupsi” sebesar itu “nyata dan pasti”, sesuai syarat definisi kerugian negara maka tolong lah Kejaksaan Agung (jampidsus) kembalikan kepada kami untuk membangun Bangka Belitung”. Jangan hanya “tebar pesona” kepada penguasa baru hanya untuk kepentingan pribadi dan pihak tertentu.
“Apakah perhitungan kerugian negara ini berbasis fakta dan metodologi yang benar, atau sekadar konstruksi hukum (case building) untuk membangun narasi “mega korupsi”?
Ada pernyataan Pak Ahok, yang cukup menarik sebagai putra asli kelahiran Bangka Belitung. Ditengah pernyataan dalam menanggapi mengenai kasus pertamina yang akan menjadi kerugian negara bombastis populis terbaru tahun 2025 sebagai aplikasi case building. Dengan gayanya yang selalu berapi-api, iya menyenggol kasus timah dengan menyatakan: (tonton dimenit terakhir bahasan ini https://vt.tiktok.com/ZSMgJrSVn/ )
“Dalam perhitungan kerugian timah… saya gak main timah nih “sorry!!!” Dari jaman Belanda punya kerugian ekonomi dihitung… sampai orang di penjara musti 20 tahun gara-gara seolah-olah kerugian lingkungan dari jaman Belanda dihitung… padahal semua tuh menggarong dibiarkan… ada aparat semua biarkan !!! ….”
Tulisan ini, bertujuan untuk mengetuk hati nurani masyarakat Indonesia pada umumnya serta Mahkamah Agung, Para Hakim dan Para Penegak Keadilan pada khususnya untuk bersikap “Dharmayukti”. Kedepankan secara pandai dan bijak seluruh sikap kita secara hakiki dalam “kebaikan yang nyata” berasaskan kejujuran, kebenaran dan keadilan. Jangan pertanyaan yang sudah diungkapkan sebelumnya terjadi dan menjadi preseden yurisprudensi. Jangan kasus timah ini menjadi “studi kasus negatif penegakan hukum di Indonesia”. Seperti pertanyaan tertinggal, yang kami ungkap dalam tulisan dengan pendekatan berpikir terbalik yang lalu.
“Apakah tata niaga timah benar-benar kasus mega korupsi, atau kita sedang menyaksikan salah satu mega kriminalisasi hukum terbesar dalam sejarah Indonesia?”
Sebagai praktisi dan pengamat hukum, saya selalu belajar dan berupaya selalu mencari dan meresapi arti “hukum” yang sesungguhnya. Berupaya mengungkap fakta-fakta secara “waras” terhadap penerapan hukum yang terjadi, bukan termakan isu-isu berdasarkan opini atau kebencian tanpa fakta sehingga tumbuh “aura negatif” dalam tubuh dan pikiran kita.
Bagaimana Seharusnya Kerugian Negara Dihitung?
Dalam penanganan perkara tindak pidana korupsi harus memahami nilai hakiki dalam “aplikasi hukum” yang diamanatkan UU Tipikor. Persyaratan pemenuhan unsur-unsur pasal secara formil dan materil harus terpenuhi dalam mendakwa dan menuntut. Perhitungan kerugian negara harus diuji dan ditetapkan secara sah oleh instansi berwenang. Nilainya harus bersifat nyata dan pasti. Pelaksanaannya mengacu pada prinsip hukum yang jelas, antara lain:
● Undang-Undang Keuangan Negara dan Undang-Undang Perseroan Terbatas, terutama karena PT Timah merupakan anak perusahaan BUMN yang tunduk pada mekanisme tata kelola perusahaan.
● Prinsip due process of law, di mana perhitungan harus dilakukan secara transparan, berbasis bukti konkret, dan dapat diuji dalam persidangan.
● Kewenangan instansi yang berhak menghitung kerugian negara, yang seharusnya dilakukan dengan audit investigasi yang independen dan atau dilengkapi dengan audit forensik bukan sekadar berdasarkan permintaan penyidik dengan menggunakan asumsi dan data sepihak.
Dalam kasus ini, apakah perhitungan kerugian negara yang disampaikan sudah memenuhi standar tersebut?
Membedah Angka Rp 300 Triliun: Fakta atau Asumsi?
Berdasarkan informasi yang beredar, perhitungan kerugian negara dalam kasus ini dibagi menjadi dua komponen utama:
1. Kerugian lingkungan Rp 271 triliun, perhitungan ini bukan angka nyata, melainkan hanya potensi kerugian.
● Kerusakan lingkungan akibat tambang seharusnya tidak otomatis dihitung sebagai kerugian negara sebelum ada audit final, terutama karena tambang masih dalam proses produksi dan reklamasi membutuhkan waktu.
● Jika pendekatan ini diterapkan, apakah berarti semua pertambangan, termasuk yang memiliki Izin Usaha Pertambangan (IUP), harus langsung dianggap merugikan negara?
2. Kerugian keuangan negara Rp 29 triliun, berasal dari asumsi sepihak penyidik Kejagung sebesar Rp 26,7 triliun berasal dari pembayaran bijih timah yang dianggap ilegal. Tanpa mempertimbangkan, hal-hal sebagai berikut:
● Namun, instansi berwenang seperti Dirjen Minerba Kementerian ESDM dan Kepolisian tidak pernah menyatakan bahwa program kemitraan PT Timah menghasilkan bijih timah ilegal.
● Bijih timah yang dibeli PT Timah sudah diproses, dijual dalam bentuk logam, dan menghasilkan pendapatan bagi perusahaan. Dan besar laba operasi dari tahun 2015 sampai 2022 selalu diatas Rp. 1 triliun.
● Dari data laporan keuangan audited, terlihat bahwa pendapatan penjualan logam timah, PT Timah Tbk adalah sebesar Rp 6,548 triliun (2015), Rp 6,630 triliun (2016), Rp 8,432 triliun (2017), Rp 9,746 triliun (2018), 17,726 triliun (2019), Rp 13,916 triliun (2020), Rp 12,930 triliun (2021), Rp 9,781 triliun (2022) atau selama periode 2015-2022 mencapai sebesar 85,22 trilun.
● Sedangkan laba operasi selama tempus perkara sebesar Rp 686 miliar (2015), Rp 1,095 triliun (2016), Rp 1,526 triliun (2017) , Rp 1,074 triliun (2018), Rp 1,114 triliun (2019), Rp 1,120 triliun (2020), Rp 3,439 triliun (2021), dan Rp 2,526 triliun (2022) atau selama periode 2015-2022 yang dijadikan delik tempus perkara memperoleh laba operasi sebesar Rp 12,61 triliun.
● Dari transaksi tersebut difakta persidangan, Emil Ermindra mantan Direktur Keuangan PT Timah Tbk yang juga menjadi salah satu terdakwa, mengungkapkan bahwa pada tahun 2019 pada PT Timah Tbk membuku rugi Rp 611 Miliar, tetapi negara justru menerima royalti sebesar Rp 1,2 triliun sebagai Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dan belum lagi penerimaan pajak-pajak terkait lainnya.
● Berdasarkan data dari website resmi PT. timah dapat dilihat selama delik tempus perkara, PT Timah Tbk membayar pajak dan royalti (PNBP) kepada negara sebesar Rp 438,416 Miliar (2015), Rp 724,785 Miliar (2016), Rp 873,752 Miliar (2017) Rp 818,7 miliar (2018), Rp 1,2 triliun (2019), 677,9 miliar (2020), Rp 776,657 miliar (2021) dan Rp 1,51 triliun (2022). Dengan demikian selama tempus perkara PT Timah Tbk membayar Pajak dan Royalti sebesar Rp 7,021.
Jika bijih timah dianggap ilegal, apakah hasil ekspornya juga dianggap ilegal? Mengapa negara tetap menerima royalti (PNBP) dan pajak dari transaksi ini?
3. Rp 2,3 triliun berasal dari dugaan pembayaran sewa alat yang dianggap terlalu mahal.
● Tidak ada bukti nyata dan standar baku yang jelas mengenai “kemahalan” ini.
● Sewa smelter merupakan pengadaan katagori pengadaan “biaya operasional”.
● Sebagai perusahaan yang tunduk pada Undang-Undang Perseroan Terbatas, PT Timah menjalankan transaksi bisnis berdasarkan mekanisme pasar dan keputusan korporasi.
Harga pokok produksi (HPP) dari perolehan logam kerja sama smelter dibandingkan dengan biaya Unit Mertalurgi di Mentok milik PT Timah Tbk. Angka ini, secara indikator manajemen kinerja adalah besar seluruh biaya yang dikeluarkan unit setahun dibagi jumlah volume logam yang dihasilkan adalah 900 – 1200 per MT. Ini seperti membandingkan apel dan jeruk, sama-sama buah tetapi berbeda.
Ternyata terungkap di persidangan bahwa sebenarnya, di PT. Timah Tbk pada tahun 2017 Harga Pokok Produksi (HPP) logam sebesar USD 6300 per Metrik Ton (MT) logam timah bila di produksi di smelter sendiri karena biaya tetap pada Direktorat Operasi dan Produksi sangat besar. Jadi sewa alat processing smelter swasta yang besar USD 3700 – 4000 per MT logam lebih murah kan.
Atau karena masalah ini debatable dan jika biaya sewa ini kita dianggap benar terlalu tinggi, bukankah ini lebih merupakan persoalan efisiensi bisnis, bukan persoalan kerugian negara dalam konteks tindak pidana korupsi?
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari DETIKIndonesia.co.id. Mari bergabung di Channel Telegram "DETIKIndonesia.co.id", caranya klik link https://t.me/detikindonesia, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.Penulis | : Jidin Siagian S.H.,M.H |
Editor | : BIM |
Sumber | : |
Halaman : 1 2 Selanjutnya