Oleh: Wahyu Muhlis
Ketika Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2016 yang di ubah dengan Undang-undang Nomor 3 Tahun 2024 tentang Desa diundangkan, banyak pihak menyambutnya dengan optimisme.
UUntuk pertama kalinya dalam sejarah legislasi Indonesia, desa diberikan tempat istimewa sebagai entitas pemerintahan yang berdaulat dalam batas kewenangannya sendiri. Tak hanya diberikan pengakuan, desa juga diguyur dana miliaran rupiah per tahun melalui mekanisme Dana Desa. Harapannya: pembangunan merata, kesejahteraan meningkat, dan demokrasi lokal menguat.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Namun kini, satu dekade berjalan, pertanyaan besar mengemuka: benarkah Dana Desa telah menjadi berkah? Atau justru telah menjelma menjadi Dana Dosa?
UU Desa mengusung semangat penguatan otonomi desa dan pemberdayaan masyarakat. Tapi dalam praktiknya, UU ini justru membuka ruang yang terlalu lebar untuk politisasi, korupsi, dan feodalisme lokal. Banyak kepala desa menjadi “raja kecil” yang mengelola dana miliaran tanpa pengawasan yang memadai. Transparansi hanya menjadi jargon, sementara akuntabilitas hanyut bersama euforia kekuasaan lokal.
Ironisnya, hukum yang harusnya menjadi instrumen pembebas, justru menciptakan jebakan struktural. UU Desa, dalam bentuknya sekarang, gagal memahami realitas sosiologis desa yang kompleks. Ia memaksakan satu model seragam untuk seluruh desa di Indonesia dari Sabang sampai Merauke seakan desa hanyalah entitas administratif, bukan komunitas hidup yang dinamis dan beragam.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari DETIKIndonesia.co.id. Mari bergabung di Channel Telegram "DETIKIndonesia.co.id", caranya klik link https://t.me/detikindonesia, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.Penulis | : Wahyu Muhlis |
Editor | : Abdila Moloku |
Sumber | : |
Halaman : 1 2 Selanjutnya