DETIKINDONESIA.CO.ID, JAYAPURA – Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) mengajukan permintaan data, informasi, dan klarifikasi kepada Indonesia berkaitan dengan kasus dugaan pelanggaran Hak Asasi Manusia di Tanah Papua. Permintaan dalam surat bertanggal 22 Desember 2021 itu ditujukan kepada Kantor Misi Tetap Indonesia untuk PBB di Jenewa, Swiss.
Tiga orang Pelapor Khusus PBB menandatangani surat tersebut. Mereka adalah José Francisco Cali Tzay (pelapor Khusus untuk Masyarakat Adat), Morris Tidball-Binz (Pelapor Khusus untuk Pembunuhan di luar hukum dan penangkapan sewenang-wenang)dan Cecilia Jimenez-Damary (Pelapor Khusus untuk Hak Pengungsi Internal).
Jubi telah mengkonfirmasi kebenaran surat tersebut kepada Kantor Regional PBB di Bangkok, Thailand. Kantor tersebut mengatakan surat tersebut memang dikirimkan kepada Pemerintah Indonesia, namun belum bersifat publik. Namun CNNindonesia.com melaporkan Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Kemenko Polhukam)telah mengkonfirmasi adanya surat tersebut.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Diantara dugaan-dugaan tersebut adalah jumlah orang yang tewas termasuk masyarakat sipil dalam bentrok antara Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB) dan militer, penangkapan Orang Asli Papua, hingga penjelasan tentang pembatasan akses bagi Komnas HAM, Palang Merah Internasional, serta pekerja gereja.
Dibawah ini adalah dugaan-dugaan pelanggaran HAM yang disebutkan dalam surat yang ditujukan kepada Kantor Misi Tetap Indonesia untuk PBB di Jenewa, Swiss.
*Pembunuhan di luar proses hukum, penghilangan paksa, penyiksaan, dan penggunaan kekuatan yang berlebihan terhadap penduduk asli Papua*
Pada tanggal 26 Oktober 2021 di Sugapa, Kabupaten Intan Jaya, seorang anak berusia 2 tahun ditembak dan tewas dalam bentrokan bersenjata yang dilaporkan antara pasukan keamanan Indonesia dan TPNPB. Bentrokan ini terjadi antara pukul 19.00 hingga 21.00 hari itu. Anak itu menderita luka tembak di perut yang menyebabkan luka-luka dan kemudian meninggal. Dalam bentrokan yang sama pada 26 Oktober 2021, seorang anak berusia 6 tahun menderita luka tembak di punggung bagian atas. Informasi yang diterima menunjukkan bahwa pasukan keamanan Indonesia menembaki pejuang TPNPB yang mendekat dari posisi tinggi yang mengakibatkan peluru menembus atap rumah di bawah. Namun, laporan media mengutip Ahmad Musthofa Kamal, juru bicara Kepolisian Daerah Papua mengatakan bahwa anggota TPN PB menembakkan peluru yang menewaskan dan melukai anak-anak.
Pada 5 Oktober 2021, Semuel Kobogau, 31 tahun, dilaporkan menjadi korban penghilangan paksa di kota Sugapa, Kabupaten Intan Jaya. Kobogau dilaporkan mengunjungi sebuah toko milik seorang mantan anggota militer, di mana dia tinggal sampai sekitar pukul 6 sore ketika dia dibawa secara paksa dari toko tersebut, yang diduga oleh empat anggota Kodam TNI Raider 501 bertopeng. Saksi mata menyebutkan, Pak Kobogau dibawa ke pos TNI Raider 501 dekat kantor Bupati Intan Jaya di Sugapa. Tidak ada catatan penangkapan yang dilaporkan atau informasi apa pun tentang keberadaan atau nasib Kobagau yang diungkapkan meskipun ada penyelidikan. Kobagau tidak terlihat atau terdengar kabarnya sejak 5 Oktober 2021.
Pada 28 September 2021 muncul gambar di media sosial yang menunjukkan enam orang asli Papua duduk diborgol, ditutup matanya dengan lakban yang diduga setelah ditangkap oleh aparat keamanan gabungan di desa Kokas, Kabupaten Fakfak.Di antara enam orang tersebut, empat di antaranya berusia di bawah 18 tahun, dan berada di desa Kokas setelah mengungsi akibat operasi pasukan keamanan. Menurut informasi yang diterima, mengutip sumber polisi, dua anak di bawah umur yang ditangkap berada dalam daftar orang yang dicari terkait serangan terhadap pos militer di Kisor, Aifat Selatan, pada 2 September 2021.
Pada tanggal 3 Juni 2021, Patianus Kogoya, istrinya Paitena Murib, 43 tahun, dan saudaranya Erialek Kogoya, 55 tahun, dibunuh oleh anggota keamanan Batalyon Raider 613/Garuda Raja Alam dan Batalyon 315 Garuda Satuan infanteri, keduanya bagian dari Satgas Nemangkawi. Kogoya adalah kepala desa. Menyusul pembunuhan seorang pekerja bangunan yang diduga dilakukan oleh anggota TPN-PB pada 3 Juni 2021, ia berusaha memastikan penduduk desa aman dengan mengenakan seragam pegawai negeri sipilnya sehingga pasukan keamanan tidak akan salah mengira dia atau penduduk desa lainnya sebagai bagian dari kelompok TPNPB. Kogoya diminta oleh seorang tentara untuk menunjukkan kartu identitasnya. Kogoya menjawab bahwa dia adalah kepala desa dan menunjukkan kartu identitasnya. Dia dieksekusi oleh kelompok tentara yang sama bersama istri dan saudaranya.
Pada 27 April 2021, seorang warga Papua berusia 24 tahun, lulusan universitas, di Jayapura ditangkap secara sewenang-wenang oleh aparat gabungan saat melakukan operasi penggeledahan di desa Maki, Kecamatan Ilaga Utara, Kabupaten Puncak. Wajahnya ditutup dengan kain hitam setelah itu dilaporkan dibawa ke pos keamanan di SD Inpres Desember Desember di Distrik Mayuberi di mana dia diinterogasi dan dipukuli dengan keras. Tangan dan kakinya diikat, dan dia diduga ditendang dan ditinju sambil diancam dengan popor senapan di kepalanya. Wraga bermarga Wenda ini mengalami memar di pelipis, hidung dan mulut berdarah, dan memar di bawah kedua mata karena pemukulan. Dia dibebaskan setelah petugas keamanan menemukan kartu identitas dan kartu pelajar di tas yang dibawanya.
*Pengungsian internal Orang Asli Papua*
Sejak eskalasi kekerasan pada Desember 2018, konflik bersenjata di Papua Barat telah menyebar ke tujuh kabupaten: Intan Jaya, Pegunungan Bintang, Mimika, Nduga, Maybrat, Yahukimo dan Puncak. Konfrontasi yang intensif dan ketidakamanan yang mendasarinya telah menyebabkan ribuan orang meninggalkan rumah mereka, yang semakin memperburuk perpindahan warga sipil yang sedang berlangsung, kebanyakan wanita, anak-anak, dan orang tua. Meskipun sulit untuk memastikan angka pengungsi internal (IDPs), perkiraan menunjukkan bahwa setidaknya 60.000 orang telah mengungsi, sementara sumber lain menunjukkan bahwa jumlahnya mungkin mencapai 100.000 orang.
Mayoritas pengungsi di Papua Barat belum kembali ke rumah mereka karena kehadiran pasukan keamanan yang kuat dan bentrokan bersenjata yang sedang berlangsung di daerah konflik. Beberapa pengungsi tinggal di tempat penampungan sementara atau tinggal bersama kerabat. Ribuan penduduk desa yang terlantar telah melarikan diri ke hutan di mana mereka mengalami iklim yang keras di dataran tinggi tanpa akses ke makanan, perawatan kesehatan, dan fasilitas pendidikan.
Selain pengiriman bantuan ad hoc, lembaga bantuan kemanusiaan, termasuk Palang Merah, memiliki akses terbatas atau tidak sama sekali ke para pengungsi. Dilaporkan bahwa para pengungsi dibiarkan dengan sumber daya mereka sendiri dan belum menerima bantuan kemanusiaan yang terkoordinasi atau sistematis. Ada kebutuhan mendesak untuk membantu mengoordinasikan penyediaan layanan kemanusiaan yang efektif seperti tempat tinggal, makanan, air, sanitasi, perawatan kesehatan, dan pendidikan bagi komunitas pengungsi.
Bantuan kepada para pengungsi dari instansi pemerintah daerah masih kurang. Malnutrisi parah telah dilaporkan di beberapa daerah dengan kurangnya akses ke makanan dan layanan kesehatan yang memadai dan tepat waktu. Dalam beberapa insiden, pekerja gereja dicegah oleh aparat keamanan untuk mengunjungi desa-desa tempat pengungsi mencari perlindungan.
*Operasi militer dan pengungsian internal di Kabupaten Puncak*
Kepala Perwakilan Papua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM Perwakilan Papua), melaporkan bahwa 3.019 pengungsi dari 23 desa saat ini tinggal di kota Ilaga dan Gome. Pengungsi ini berasal dari lima kabupaten, yaitu Ilaga Utara, Ilaga, Gome, Gome Utara dan Mabugi.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari DETIKIndonesia.co.id. Mari bergabung di Channel Telegram "DETIKIndonesia.co.id", caranya klik link https://t.me/detikindonesia, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.Penulis | : Tim |
Editor | : Harris |
Sumber | : Jubi Tv |
Halaman : 1 2 Selanjutnya