“Pertanyaannya, ada tidak riset bahwa Indonesia tepat menggunakan sistem presidensiil? Tidak ada sama sekali. Indonesia hanya ada teori politik, tapi tidak ada penelitian komprehensif tentang hal itu,” papar dia.
Jika ditilik sistem politik kontemporer, Aidul menilai rata-rata sependapat dengan amandemen konstitusi.
“Meski ada yang berpendapat amandemen terbatas, ada yang ingin kembali ke UUD 1945 dan ada pula yang ingin amandemen Konstitusi ke-5. Tapi ada juga yang tidak setuju karena dikhawatirkan akan mengembalikan sistem Orde Baru,” ungkapnya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Aidul sependapat jika peran, fungsi dan kewenangan DPD RI harus diperkuat. “Saat ini kan DPR berperan sebagai legislator dan DPD RI sebagai co-legislator. DPD RI tak punya hak veto,” katanya.
Ma’mun Murod Al-Barbasy yang menjadi narasumber juga menilai DPD RI dalam posisi yang tak menguntungkan.
“DPD RI ringkih posisinya. Tidak ada fungsinya yang membuat DPD RI punya nyali kecuali sebagai pelengkap saja. Kalau konsisten bikameral, perkuat fungsi dan peran DPD RI,” tegas dia.
Dia juga menyoroti Presidential Threshold 20 persen.
“Harus dibongkar total, karena itu terlalu tinggi. Presidential Threshold itu wajah oligarki politik,” ujarnya.
Saat ini, ia melanjutkan, tidak ada kekuatan yang bisa dimungkinkan untuk mengubah persentase tinggi Presidential Threshold tersebut. “Partai cenderung ambil posisi aman. UU Pemilu tidak diubah karena kaitannya dengan ini,” tutur dia.
Presidential Threshold tak dipungkiri menimbulkan polarisasi di masyarakat. “Dua kali Pilpres memunculkan hal itu. Memicu pertentangan ideologis dan agama. Tapi ini jadi barang dagangan dan masyarakat terpolarisasi,” beber dia.
Presidential Threshold juga cenderung memunculkan koalisi pura-pura setiap kali Pilpres digelar.
“Ada kecenderungan memunculkan calon tunggal. Ketika semua partai berkoalisi dan menyisakan satu atau dua partai, secara aturan kalau dia tidak mau mencalonkan, maka di Pemilu berikutnya tak boleh ikut Pemilu. Ini kan lucu,” ujarnya.
Jika tak segera diubah, ia berpendapat Presidential Threshold akan memunculkan penguasa yang lalim. “Tinggal menunggu waktu saja,” ungkapnya.
Prof Siti Zuhro, narasumber lainnya, mengungkapkan hingga kini belum ada efektivitas pemerintahan dengan pemilu di tingkat nasional dan daerah yang dilaksanakan.
“Kita juga menyaksikan kebijakan yang dibuat pemerintah tidak seiring sejalan dengan daerah. Padahal, ini era yang harusnya harmonis dan sinergis. Kita bisa saksikan dengan kasat mata, utamanya saat pandemi ini. Apa yang salah dengan format pemilu kita? Mengapa pemilu demokratis tak kunjung menghasilkan pemerintah nasional, regional dan lokal yang sinergis dan harmonis?” tanya Siti Zuhro.
Menurut dia, hal itu terjadi lantaran adanya problematika dan distorsi yang terjadi dalam ketatanegaraan Indonesia.
“Pengalaman tahun 1945 dan 1998 itu kan diwarnai eksperimen. Eksperimen itu berdampak pada UU Pemilu, tarik menarik sistem kepartaian. Juga perubahan sistem politik kita,” kata dia.
Dikatakannya, hingga hari ini belum ada kesepakatan bangunan demokrasi di Indonesia.
“Demikian juga substansi UUD 1945 . Transisi politik dari sistem otoriter menuju demokrasi iu seharusnya kita jadikan momentum. Tapi momentum itu hilang. Ada inkoherensi dan inkonsistensi yang kita lihat dari waktu ke waktu,” tuturnya.
Dikatakannya, amandemen konstitusi, baik dalam segi proses dan lainnya menurut Siti Zuhro cenderung tambal sulam.
“DPD RI tidak digdaya. Semua imbas dari tidak tuntasnya sistem reformasi institusi,” ujarnya.
Menurut dia, saat ini konstitusi hanya mengatur sistem pemerintahan, tidak mengatur seleksi kepemimpinan nasional.
“Dia belum terlembaga. Semua terpilih melalui seleksi sejarah. Tidak ada keleluasaan publik mendorong calon yang diinginkannya. Semua didorong oleh oligarki melalui penunjukkan partai,” tutur Siti Zuhro.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari DETIKIndonesia.co.id. Mari bergabung di Channel Telegram "DETIKIndonesia.co.id", caranya klik link https://t.me/detikindonesia, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.Penulis | : Tim |
Editor | : Harris |
Sumber | : |
Halaman : 1 2