Akademisi: Konstitusi Perlu Di-amandemen, Kewenangan DPD RI Harus Diperkuat 

Rabu, 8 Desember 2021 - 04:45 WIB

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

“Pertanyaannya, ada tidak riset bahwa Indonesia tepat menggunakan sistem presidensiil? Tidak ada sama sekali. Indonesia hanya ada teori politik, tapi tidak ada penelitian komprehensif tentang hal itu,” papar dia.

Jika ditilik sistem politik kontemporer, Aidul menilai rata-rata sependapat dengan amandemen konstitusi.

“Meski ada yang berpendapat amandemen terbatas, ada yang ingin kembali ke UUD 1945 dan ada pula yang ingin amandemen Konstitusi ke-5. Tapi ada juga yang tidak setuju karena dikhawatirkan akan mengembalikan sistem Orde Baru,” ungkapnya.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Aidul sependapat jika peran, fungsi dan kewenangan DPD RI harus diperkuat. “Saat ini kan DPR berperan sebagai legislator dan DPD RI sebagai co-legislator. DPD RI tak punya hak veto,” katanya.

Ma’mun Murod Al-Barbasy yang menjadi narasumber juga menilai DPD RI dalam posisi yang tak menguntungkan.

“DPD RI ringkih posisinya. Tidak ada fungsinya yang membuat DPD RI punya nyali kecuali sebagai pelengkap saja. Kalau konsisten bikameral, perkuat fungsi dan peran DPD RI,” tegas dia.

Baca Juga :  Warga Negara Asing Diantisipasi Saat Libur Nataru, Ini Sikap LaNyalla

Dia juga menyoroti Presidential Threshold 20 persen.

“Harus dibongkar total, karena itu terlalu tinggi. Presidential Threshold itu wajah oligarki politik,” ujarnya.

Saat ini, ia melanjutkan, tidak ada kekuatan yang bisa dimungkinkan untuk mengubah persentase tinggi Presidential Threshold tersebut. “Partai cenderung ambil posisi aman. UU Pemilu tidak diubah karena kaitannya dengan ini,” tutur dia.

Presidential Threshold tak dipungkiri menimbulkan polarisasi di masyarakat. “Dua kali Pilpres memunculkan hal itu. Memicu pertentangan ideologis dan agama. Tapi ini jadi barang dagangan dan masyarakat terpolarisasi,” beber dia.

Presidential Threshold juga cenderung memunculkan koalisi pura-pura setiap kali Pilpres digelar.

“Ada kecenderungan memunculkan calon tunggal. Ketika semua partai berkoalisi dan menyisakan satu atau dua partai, secara aturan kalau dia tidak mau mencalonkan, maka di Pemilu berikutnya tak boleh ikut Pemilu. Ini kan lucu,” ujarnya.

Baca Juga :  Rencana Batasi BBM Bersubsidi, LaNyalla Ingatkan Pemerintah Temukan Model Distribusi Tepat Sasaran

Jika tak segera diubah, ia berpendapat Presidential Threshold akan memunculkan penguasa yang lalim. “Tinggal menunggu waktu saja,” ungkapnya.

Prof Siti Zuhro, narasumber lainnya, mengungkapkan hingga kini belum ada efektivitas pemerintahan dengan pemilu di tingkat nasional dan daerah yang dilaksanakan.

“Kita juga menyaksikan kebijakan yang dibuat pemerintah tidak seiring sejalan dengan daerah. Padahal, ini era yang harusnya harmonis dan sinergis. Kita bisa saksikan dengan kasat mata, utamanya saat pandemi ini. Apa yang salah dengan format pemilu kita? Mengapa pemilu demokratis tak kunjung menghasilkan pemerintah nasional, regional dan lokal yang sinergis dan harmonis?” tanya Siti Zuhro.

Menurut dia, hal itu terjadi lantaran adanya problematika dan distorsi yang terjadi dalam ketatanegaraan Indonesia.

“Pengalaman tahun 1945 dan 1998 itu kan diwarnai eksperimen. Eksperimen itu berdampak pada UU Pemilu, tarik menarik sistem kepartaian. Juga perubahan sistem politik kita,” kata dia.

Baca Juga :  Sinergikan Pengawasan Notaris, Ditjen AHU Kemenkumham Gelar Rakor MPN-MKM

Dikatakannya, hingga hari ini belum ada kesepakatan bangunan demokrasi di Indonesia.

“Demikian juga substansi UUD 1945 . Transisi politik dari sistem otoriter menuju demokrasi iu seharusnya kita jadikan momentum. Tapi momentum itu hilang. Ada inkoherensi dan inkonsistensi yang kita lihat dari waktu ke waktu,” tuturnya.

Dikatakannya, amandemen konstitusi, baik dalam segi proses dan lainnya menurut Siti Zuhro cenderung tambal sulam.

“DPD RI tidak digdaya. Semua imbas dari tidak tuntasnya sistem reformasi institusi,” ujarnya.

Menurut dia, saat ini konstitusi hanya mengatur sistem pemerintahan, tidak mengatur seleksi kepemimpinan nasional.

“Dia belum terlembaga. Semua terpilih melalui seleksi sejarah. Tidak ada keleluasaan publik mendorong calon yang diinginkannya. Semua didorong oleh oligarki melalui penunjukkan partai,” tutur Siti Zuhro.

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari DETIKIndonesia.co.id. Mari bergabung di Channel Telegram "DETIKIndonesia.co.id", caranya klik link https://t.me/detikindonesia, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.

Penulis : Tim
Editor : Harris
Sumber :

Berita Terkait

KNPI Goes To Campus: Mempersiapkan SDM Unggul Pemuda Menuju Indonesia Emas 2045
Abdurrahim Fabanyo, Ajak Warga Pulau Morotai, Coblos nomor Urut 1
Berangkat Ke Korsel, Ali Mochtar Ngabalin Menerima Gelar Profesor
Setelah Didukung Raja Atiati, Samaun Dahlan dan Donatus Nimbitkendik Konfrensi Pers Hari Ini Dengan Jargon SANTUN
Walikota Memberi Jawaban Atas Pembuatan Raperda Laporan Pertanggungjawban Pelaksanaan APBD Kota Tidore
Rapat Paripurna Ke 6, Walikota Tidore Kepulauan Menyampaikan RPD Tentang LPP 2023
Tokoh Adat Minta Ibu Safitri Malik Soulisa Pimpin Buru Selatan Periode Kedua
Sabet Penghargaan Nasional, Capt Ali Ibrahim, Satu – Satunya Walikota Terbaik di Maluku Utara

Berita Terkait

Sabtu, 1 Februari 2025 - 17:53 WIB

Pramono Anung: ASN Jakarta Jangan Berfikir Bisa Poligami di Era Saya!

Sabtu, 1 Februari 2025 - 17:47 WIB

Panglima TNI Ungkap Rencana Rekrut Disabilitas Jadi Tentara

Sabtu, 1 Februari 2025 - 12:24 WIB

Presiden Pimpin Rapat Terbatas Bahas Penataan Lahan Perkebunan Sawit

Jumat, 31 Januari 2025 - 22:01 WIB

Menko AHY Pastikan Investigasi Pagar Laut Diusut Tuntas Kementerian ATR/BPN

Jumat, 31 Januari 2025 - 18:30 WIB

KPK Dalami Permintaan Uang Rohidin Mersyah ke Bank Bengkulu

Jumat, 31 Januari 2025 - 18:26 WIB

Mendagri: Pelantikan Kepala Daerah 6 Februari 2025 Resmi Dibatalkan

Jumat, 31 Januari 2025 - 14:47 WIB

LHKPN Raffi Ahmad: Total Kekayaan Rp1,03 Triliun, Punya 45 Tanah dan 23 Kendaraan Mewah

Jumat, 31 Januari 2025 - 13:14 WIB

FORMIT Sebut Rencana Deklarasi GP-INTIM soal Cawapres 2029 Tak Mewakili Sikap Bahlil Lahadalia

Berita Terbaru

Nasional

Panglima TNI Ungkap Rencana Rekrut Disabilitas Jadi Tentara

Sabtu, 1 Feb 2025 - 17:47 WIB