By: Penawali
Pada suatu ketika, Gus Dur, tokoh besar Nahdlatul Ulama (NU), diundang dalam sebuah forum yang dihadiri oleh tokoh-tokoh muda alumni Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Seperti biasa, Gus Dur tampil dengan gaya khasnya: santai, penuh humor, tetapi menyelipkan kritik tajam yang sering kali tidak langsung terasa.
Forum itu berlangsung dengan pidato-pidato panjang nan megah dari para alumni HMI. Salah satu pidato bahkan berbicara dengan penuh percaya diri soal “pemikiran strategis” yang katanya akan membawa Indonesia ke arah lebih baik. Namun, pidato itu terlalu teoritis, mengambang tanpa langkah konkret.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Setelah mendengarkan dengan seksama, Gus Dur pun diminta memberikan komentar. Ia berdiri perlahan, tersenyum, dan berkata, “Saya jadi ingat cerita tentang seorang saudagar di masa lalu yang sangat pandai berjualan. Dia bisa menjual apa saja, termasuk sesuatu yang tidak terlihat.”
Semua hadirin mulai penasaran. Gus Dur melanjutkan, “Saudagar itu menjual angin.”
Ruangan mendadak hening. Semua peserta tampak bingung, mencoba menangkap maksud Gus Dur.
“Saudagar itu keliling kampung membawa bahtera besar yang ia buat sendiri,” kata Gus Dur sambil terkekeh. “Ketika ditanya, ‘Apa isi bahtera ini?’ Dia menjawab, ‘Angin segar untuk masa depan. Kalau mau berhasil, beli dari saya!’ Banyak yang percaya, lalu membayar mahal untuk sesuatu yang sebenarnya tidak ada.”
Sontak ruangan meledak dengan tawa. Tetapi Gus Dur belum selesai.
“Masalahnya,” lanjutnya, “bahtera itu kosong. Tidak ada isi sama sekali, hanya angin. Sama seperti pidato-pidato tadi. Kalian bilang ini ‘pemikiran strategis’, tetapi mana isinya? Kalau terus seperti ini, jangan sampai KAHMI hanya menjadi saudagar angin: banyak bicara, sedikit solusi.”
Para hadirin, terutama dari kalangan HMI dan KAHMI, tersenyum kecut. Mereka tahu Gus Dur sedang menyindir pola pikir yang seringkali terlalu teoritis tanpa aplikasi nyata.
Di akhir, Gus Dur menambahkan, “Pemikiran besar itu seperti bahtera yang penuh muatan. Ia harus membawa sesuatu yang berguna, bukan sekadar mengangkut angin. Kalau hanya bicara soal masa depan tanpa tindakan nyata, ya tidak jauh beda dengan jualan angin tadi. Jadi, ayo, berbuat sesuatu yang nyata, jangan cuma bicara!”
Kritik Gus Dur itu menjadi viral di kalangan alumni HMI. Banyak yang merasa tertampar, tetapi juga termotivasi untuk memperbaiki diri. Hingga hari ini, kisah “bahtera penjual angin” menjadi salah satu anekdot Gus Dur yang dikenang, mengingatkan semua orang untuk tidak terjebak dalam romantisme sejarah tanpa kontribusi nyata.
———–
_*) Sebuah anekdot ala Gus Dur sebagai refleksi kritis terhadap gagasan Salihudin (2024) dalam artikel “KAHMI dan Tantangan Pemikiran Masa Depan.”_
Penulis | : |
Editor | : LUKAS |
Sumber | : |