“Selain itu, ambang batas parlemen membuat banyak suara sah yang terbuang/suara hangus (wasted votes) yang tidak bisa dikonversi menjadi kursi,” ucap Titi.
Di lain pihak, mahar politik (candidacy buying) membuat kesetaraan akses pada pencalonan menghambat para kandidat potensial untuk maju berkompetisi.
Soal ketidakadilan akses dan perlakuan di antara peserta pemilu, menurut Titi, atensi pemilih dan publik didominasi pilpres, mereka acuh pada pemilu anggota legislatif sehingga tingkat pengawasan lemah pada proses pemilu untuk memilih anggota DPR, DPD, serta DPRD provinsi dan kabupaten/kota.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Ia mengutarakan bahwa hal itu tentunya memicu kecurangan yang merugikan partai dan calon anggota legislatif (caleg). Ditambah lagi, pengetahuan minim pada pemilu anggota legislatif berdampak pada anomali surat suara tidak sah yang sangat tinggi.
Tidak pelak lagi, kata Titi, berpotensi terjadi pembegalan hak caleg untuk menjadi calon terpilih melalui penyelesaian perselisihan antar-caleg yang menyimpangi sistem pemilu proporsional terbuka dengan suara terbanyak melalui kudeta suara rakyat oleh suara partai.
“Kuasa uang dan dana kampanye yang tidak akuntabel membuat hak untuk mendapatkan kompetisi yang adil dan setara tidak dapat diwujudkan. Inilah sejumlah persoalan HAM dalam pemilu perlu mendapat perhatian pemangku kepentingan,” ujarnya.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari DETIKIndonesia.co.id. Mari bergabung di Channel Telegram "DETIKIndonesia.co.id", caranya klik link https://t.me/detikindonesia, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.Penulis | : Tim |
Editor | : Harris |
Sumber | : Antaranews |
Halaman : 1 2