“Kita di Indonesia menggunakan instrumen-instrumen demokrasi. Kelompok-kelompok politik Islam selalu dicurigai pada saat rezim Soekarno dan Orde Baru karena ingin menampakan landasan negara bukan yang Pancasila dan NKRI, tapi dengan syariat Islam,” kata Adi.
Maka kemudian muncul kelompok Islam yang moderat, seperti Gus Dur, Cak Nur, Dawam Rahardjo, Djohan Efendi, dan Ahmad Wahib, lebih melihat Islam secara lebih substantif.
“Kelompok moderat itu ingin menyampaikan kepada publik bahwa Islam itu tidak harus syariat Islam, potong tangan, Islam itu tidak harus naik onta. Jadi Islam itu terkait sesuatu yang substantif. Kalau demokrasi itu membawa kesejahteraan kenapa tidak dianggap sebagai narasi Islam,” ujarnya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Adi mengkritisi pengusung ide syariat Islam dan khilafah yang tidak memiliki basis implementasi dan acuan yang jelas.
“Ide syarat Islam tidak clear dalam level eksplanatif dan implementasi. Model-model mana negara yang bisa ditiru. Apakah negara-negara Islam di timur tengah itu ada demokrasi. Tidak ada demokrasi di situ,” ujarnya.
Ali Alatas menegaskan kalau FPI tidak bertentangan dengan Pancasila dan NKRI. Sebelum FPI lama dibubarkan, Kementerian Agama pernah mewawancarai soal Pancasila dalam rangka perpanjangan Surat Keterangan Terdaftar FPI.
“Dua-duanya kita ga pernah masalah, dengan Pancasila dan NKRI. Pancasila dan syariat Islam tidak bertentangan,” ujar Ali.
Ali menuding ada pihak yang ingin menstigma negatif terhadap FPI.
“Ada orang-orang yang memang mencari keuntungan konflik atau ekonomi dengan stigma negatif. Kami meminta jangan ada stigma negatif terhadap ajaran Islam, terutama masalah jihad,” ujar Ali.
Berbeda dengan Ali, Direktur Riset Setara Institute Halili Hasan mengatakan, meskipun FPI tidak bertentangan dengan Pancasila dan NKRI, namun kerapkali melakukan kekerasan.
“FPI pernah melakukan kekerasan pada saat dulu di Monas. FPI itu salah satu penyumbang pelanggaran kebebasan bernegara di Indonesia.” ujar Halili.
Dan dalam riset Setara Institute kepada 171 SMA negeri yang baru dirilis, Halili mengatakan penelitiannya mengonfirmasi terjadi radikalisme.
“Riset kami mengonfirmasi itu. Riset kami di 171 SMA negeri mengonfirmasi radikalisme terjadi luar biasa. Ada temuan Ketua OSIS berbeda agama itu tidak bisa diterima. Bahkan seorang guru melarang siswa-siswanya yang muslim memilih calon non muslim,” ungkap Halili.
Kemudian pada riset kualitatif pada 2019, Halili mengatakan kecemasan radikalisme di perguruan tinggi meningkat. “Jihad tidak hanya sungguh-sungguh dalam belajar, tapi jihad bagi mereka harus diinstitusionalisasi dalam keyakinan mereka,” ujarnya.
Halili mengkerangkai konteks radikalisme itu bertentangan dengan hak-hak warga negara yang dijamin dalam konstitusi Pasal 29 Ayat 2.
“Negara menjamin hak-hak warga negara. Yang tidak disebut sebagai keyakianan yang diakui oleh negara di luar yang 6 itu seharusnya juga punya hak yang sama,” kata Halili.
#Safari2024 Total Politik
Total Politik adalah platform diskusi online maupun offline yang mengangkat diskusi politik yang aktual dan menjadi referensi jurnalis, akademisi, dan publik. Jelang Pemilu 2024, Total Politik menginisiasi program #Safari2024 yang memiliki visi untuk menaikkan satu oktaf perbincangan politik 2024, yang masih malu-malu menjadi lebih jelas dan gamblang, sehingga bisa menjadi referensi masyarakat dalam melihat fenomena politik kontestasi 2024 mendatang.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari DETIKIndonesia.co.id. Mari bergabung di Channel Telegram "DETIKIndonesia.co.id", caranya klik link https://t.me/detikindonesia, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.Penulis | : Tim |
Editor | : Harris |
Sumber | : |
Halaman : 1 2