DETIKINDONESIA.CO.ID, TIDORE – Praktisi hukum dan pemerhati demokrasi (Ridwan hanafi), menilai bahwa penggunaan politik identitas dalam Pilkada berpotensi menghasilkan pemimpin yang korup. Dalam wawancara via telepon pada Sabtu (21/09), menurutnya politik identitas tidak menunjukkan kemampuan kepemimpinan yang sebenarnya. “Politik identitas hanya akan memunculkan polarisasi yang tajam dan isu-isu SARA (Suku, Agama, Ras, dan Antargolongan) yang bisa menimbulkan perpecahan. Hal ini pernah terjadi di Maluku Utara dan membuktikan bahwa politik identitas tidak menciptakan pemimpin yang kompeten, tetapi justru memperparah perpecahan,” tegasnya.
Ridwan, berpandangan bahwa Sumpah Pemuda adalah bentuk politik identitas adalah keliru dan tidak berdasar. Sumpah Pemuda dimaksudkan untuk menyatukan bangsa, bukan untuk memecah belah. Dia (Ridwan) juga mengkritik pandangan yang meromantisasi politik identitas dalam konteks Pilkada sebagai bentuk kebanggaan identitas lokal, padahal kenyataannya praktik tersebut sering disalahgunakan.
Pernyataan Ridwan ini kontras dengan pendapat Basri Salama, seorang bakal calon wakil gubernur Maluku Utara, yang mengatakan bahwa politik identitas bukan sesuatu yang buruk. Dalam diskusi publik bertema “Pilkada dan Wajah Maluku Utara” di Kota Ternate pada Sabtu (14/09/2024).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Basri menegaskan bahwa politik identitas merupakan ciri khas bangsa Indonesia. Basri mencontohkan Sumpah Pemuda sebagai wujud persatuan dari berbagai suku yang ada di Indonesia, seperti Jong Java, Jong Sumatera, dan Jong Ambon.
Menurut Basri, narasi politik identitas dalam Pilkada adalah bagian dari hak setiap orang dan tidak perlu dianggap sebagai ancaman terhadap persatuan bangsa. “Kita harus memahami politik identitas sebagai bagian dari demokrasi kita yang menganut prinsip ‘one man, one vote’. Jika ada orang yang menentukan pilihannya berdasarkan agama atau suku, itu adalah hak mereka,” ujarnya.
Namun, Ridwan mengingatkan bahwa penggunaan politik identitas bisa menutup ruang kompetisi yang sehat dalam memilih pemimpin. “Ketika politik identitas dimainkan, kompetensi dan rekam jejak seorang kandidat sering kali diabaikan. Ini berbahaya bagi demokrasi karena hanya menonjolkan perbedaan daripada gagasan dan program yang bisa membawa perubahan positif,” tambah Ridwan.
Kasus korupsi yang menjerat mantan Gubernur Maluku Utara menjadi contoh nyata bagaimana politik identitas dapat menjadi bumerang. Ridwan memperingatkan bahwa pemimpin yang terpilih melalui narasi politik identitas rentan terhadap praktik-praktik yang tidak transparan dan koruptif. “Ketika seorang pemimpin terpilih bukan karena kompetensinya, melainkan karena identitas yang ia wakili, integritas dan komitmennya terhadap penegakan hukum dan kesejahteraan publik sering kali dipertanyakan,” tuturnya.
Diskursus ini menunjukkan betapa kompleksnya isu politik identitas dalam Pilkada di Indonesia. Sementara sebagian pihak melihatnya sebagai wujud ekspresi kebebasan dalam demokrasi, ada kekhawatiran bahwa politik identitas akan terus memicu polarisasi dan membuka peluang bagi praktik korupsi di tingkat pemerintahan daerah.
Perdebatan tentang politik identitas dalam Pilkada menyoroti dilema besar dalam demokrasi Indonesia. Di satu sisi, identitas lokal dianggap sebagai bagian dari kekayaan budaya dan demokrasi, namun di sisi lain, praktik tersebut berisiko memicu perpecahan dan membuka peluang korupsi. Penting bagi masyarakat untuk lebih kritis dalam memilih pemimpin, dengan menekankan kompetensi, rekam jejak, dan visi yang jelas untuk kemajuan bersama. Ke depan, perlu upaya serius untuk menyeimbangkan ekspresi politik identitas dengan kebutuhan akan pemimpin yang berintegritas dan kompeten.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari DETIKIndonesia.co.id. Mari bergabung di Channel Telegram "DETIKIndonesia.co.id", caranya klik link https://t.me/detikindonesia, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.Penulis | : TIM |
Editor | : YULIANA |
Sumber | : |