Alih-alih menjadi instrumen pembangunan partisipatif, Dana Desa seringkali justru memicu konflik horizontal, praktik nepotisme, bahkan korupsi berjamaah. Menurut laporan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), ribuan desa setiap tahunnya terindikasi menyalahgunakan dana. Dan yang paling mengkhawatirkan: sebagian pelaku adalah kepala desa yang justru didorong oleh sistem yang keliru.
Dana yang dimaksudkan untuk membangun jalan, sekolah, dan jembatan, justru “mengalir” ke kantong segelintir elit lokal. Maka tak heran, jika setiap Pilkades kini diwarnai pertarungan uang, ancaman, hingga kekerasan. Dari Dana Desa ke Dana Dosa, begitulah transformasi kelam yang kini kita hadapi.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Refleksi atas kegagalan ini bukan untuk menolak Dana Desa, tetapi untuk menuntut koreksi mendasar atas arsitektur hukum UU Desa. Sudah saatnya kita meninggalkan pendekatan normatif yang top-down, dan beralih ke desain hukum yang adaptif, berbasis pada realitas lokal, serta menempatkan warga desa sebagai subjek hukum yang aktif, bukan objek dari kebijakan negara.
UU Desa adalah cermin bagaimana negara melihat rakyatnya di akar rumput. Jika desa diperlakukan sekadar sebagai ruang distribusi dana, bukan sebagai pusat kehidupan sosial, maka kita sedang menciptakan bom waktu. Hukum yang gagal memahami konteks sosial adalah hukum yang membiarkan ketidakadilan tumbuh dalam diam.
Mari kita hentikan transformasi Dana Desa menjadi Dana Dosa. Karena di balik setiap rupiah yang salah kelola, ada harapan rakyat desa yang dikhianati.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari DETIKIndonesia.co.id. Mari bergabung di Channel Telegram "DETIKIndonesia.co.id", caranya klik link https://t.me/detikindonesia, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.Penulis | : Wahyu Muhlis |
Editor | : Abdila Moloku |
Sumber | : |
Halaman : 1 2