LaNyalla juga menyebut Sabam Sirait sebagai literatur kebhinekaan. Satu contoh yang masih segar dalam ingatan LaNyalla, ketika terjadi penyerangan pasukan Israel terhadap warga sipil di Palestina. Sabam berdiri di atas mobil komando, di antara ribuan demonstran dari Partai Keadilan Sejahtera yang memadati jalan-jalan di Jakarta.
“Dengan suara menggelegar, meskipun serak-serak termakan usia, Sabam menyerukan penarikan mundur pasukan Israel dari wilayah Palestina, demi keadilan dan nasib warga Palestina yang teraniaya tanpa pertolongan selama puluhan tahun,” ujar LaNyalla.
Di atas mobil komando itu, Sabam berdiri sebagai satu-satunya demonstran tertua yang semangat juangnya tak mengenal usia. Dan, dia satu-satunya demonstran di situ yang berasal dari dan mencerminkan sikap GMKI.
Sabam sedang menunjukkan kepada bangsa ini, sekaligus menorehkan legacy-nya dalam literatur politik kebhinekaan, bahwa perjuangan menegakkan keadilan dan hak asasi manusia tidak
mengenal sekat-sekat rasial, etnis, agama, kelompok atau tembok
kepentingan apa pun. Itulah nilai kebhinekaan yang mulia, yang patut kita teladani.
“GMKI wajib membudayakan sikap itu. Sabam Sirait adalah Negarawan dan pantas diberi gelar sebagai Pahlawan Nasional. Perjuangannya dalam menegakkan demokrasi dan hak asasi manusia yang dibingkai dengan hati yang tulus dan melintasi semua kelompok kepentingan, terpatri selamanya dalam hati bangsa ini,” ucap LaNyalla.
Dikatakannya, Sabam memberikan keteladanan tentang bagaimana seharusnya seorang politisi yang berlatar belakang Kristiani semestinya berposisi dan bersikap di tengah pluralitas bangsa ini, duduk bersama dengan semua golongan, berdiri bagi kepentingan bangsa, meskipun berjalan di jalur
partai politik, yaitu Partai Demokrasi Indonesia-Perjuangan.
“Sikap Negarawan seperti itu jarang kita temukan di masa sekarang. Kita sekarang memiliki terlalu banyak politisi, tetapi terlalu sedikit Negarawan. Terlalu banyak leaders, tapi terlalu sedikit leadership untuk memperbaiki sistem dan praktik penyelenggaraan negara yang semakin mencemaskan, akibat politik oligarki yang sudah seharusnya diberantas,” papar LaNyalla.
LaNyalla juga menjelaskan alasannya menyebut Sabam Sirait sebagai literatur keadilan. Di masa rezim Orde Baru, LaNyalla menerangkan, jarang ada politisi yang berani bersuara lantang melawan praktik-praktik monopoli. Karena penguasa akan tersinggung dan orang yang menyuarakan hal itu bisa dianggap menentang pemerintah dengan dalih anti-pembangunan.
“Sabam Gunung Panangian Sirait adalah pengecualiannya. Ia adalah tokoh sentral yang memprakarsai lahirnya Undang-Undang Anti-Monopoli, meskipun untuk memuluskan lahirnya undang-undang itu, Sabam harus berdebat selama berjam-jam dengan para menteri di masa
itu,” beber LaNyalla.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari DETIKIndonesia.co.id. Mari bergabung di Channel Telegram "DETIKIndonesia.co.id", caranya klik link https://t.me/detikindonesia, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.
Penulis | : Tim |
Editor | : Harris |
Sumber | : |
Halaman : 1 2