Hanya partai politik melalui fraksi di DPR RI yang memutuskan Undang-Undang yang mengikat seluruh warga negara secara hukum. “Inilah yang kemudian menghasilkan pola the winner takes all.
Karena semua kendali berada di tangan partai politik tanpa reserve,” ujarnya.
Dan yang terjadi adalah tirani mayoritas, di mana partai-partai besar yang
berkoalisi akan selalu memenangkan voting di parlemen sebagai pembenar atas apapun kebijakan yang dipilih.
“Padahal, di Republik ini cukup banyak elemen-elemen non-partai politik yang terhimpun dalam golongan-golongan yang berada di dalam stakeholder di daerah-daerah. Di mana mereka memiliki kesejarahan yang panjang dalam ikut menentukan lahirnya bangsa ini,” katanya.
Mereka terdiri mulai dari entitas kerajaan dan kesultanan Nusantara, entitas ulama dan tokoh agama, entitas pejuang kemerdekaan dan militer, entitas para
cendekiawan dan akademisi, para profesional dan banyak lagi. “Tetapi mereka tidak dapat ikut menentukan arah perjalanan bangsa, karena mereka sudah tidak lagi terwakili dalam demokrasi liberal yang berlaku di Indonesia saat ini,” tutur LaNyalla.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
DPD RI sebagai wakil daerah tidak ikut menjadi penentu pemutus undang-undang. DPD RI sebagai wakil daerah juga tidak dapat mengajukan atau mengusung calon pemimpin nasional.
Apalagi partai politik bersepakat memberi ambang batas pencalonan presiden melalui presidential threshold, sehingga lengkap sudah dominasi partai politik untuk memasung Vox Populi dengan menyajikan calon pilihan mereka, di mana rakyat dipaksa untuk memilih.
“Inilah tugas kita hari ini, untuk menggugah kesadaran seluruh bangsa Indonesia, bahwa ada yang salah dengan sistem demokrasi kita yang secara terang benderang meninggalkan Demokrasi Pancasila, yang merupakan karya luhur para pendiri bangsa,” bebernya.
Begitu pula dengan sistem ekonomi nasional, sejak amandemen
2002, Indonesia telah meninggalkan sistem ekonomi Pancasila yang
menitikberatkan kepada pemisahan yang jelas antara wilayah koperasi,
BUMN dan swasta, menjadi sistem ekonomi kapitalistik.
Di mana amandemen tahun 2002 telah menambah 2 ayat di pasal
33 konstitusi, sehingga membuka peluang kepada swasta nasional
maupun asing untuk menguasai cabang-cabang produksi yang penting
bagi hajat hidup orang banyak dengan dalih efisiensi.
“Tidak heran bila mereka yang kaya semakin kaya dan yang miskin akan tetap miskin. Dan mereka yang kaya raya adalah segelintir orang yang menguasai hampir separuh kekayaan Indonesia,” ucapnya.
Padahal, kata LaNyalla, negeri ini kaya raya. Sejatinya, tidak ada kemiskinan akut di negeri ini selama tidak ada segelintir orang yang dengan brutal dan
rakus menumpuk kekayaan untuk kemudian dibawa keluar Indonesia.
LaNyalla mengajak kader-kader SAPMA untuk membaca kembali tujuan pendirian SAPMA. Ia berharap kader SAPMA berhikmat menjalankan tujuan dari organisasi ini dibentuk.
“Saya ingatkan bahwa tujuan SAPMA berdiri adalah untuk membentuk karakter pemuda yang berpendidikan, berkepribadian dan berintelektual yang dilandasi semangat kebangkitan nasional berdasarkan cita-cita proklamasi kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia,” papar LaNyalla.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari DETIKIndonesia.co.id. Mari bergabung di Channel Telegram "DETIKIndonesia.co.id", caranya klik link https://t.me/detikindonesia, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.Penulis | : Tim |
Editor | : Harris |
Sumber | : |
Halaman : 1 2