“Sebenarnya kelompok yang noisy itu tidak mayoritas, yang mayoritas justru kita yang lebih mengedepankan kesantunan, tidak mau ribut. Tapi dalam kondisi media sosial sekarang, kita semua harus berani speak up. Narasi yang lebih positif, sejuk, menyatukan, itu yang harus kita perbanyak,” ucap Musdah.
Narasumber lainnya, Saifullah Mashum menekankan bahwa penggunaan politik identitas sebenarnya hal yang bisa saja dilakukan tidak hanya atas nama agama, tapi bisa juga berdasarkan etnis, atau status ekonomi. “Kita jangan hanya membayangkan seolah hanya agama yang bisa dikapitalisasi untuk kekuasaan, bisa saja di suatu daerah ada tokoh yang mengeksploitasi etnisnya untuk kepentingan elektoral. Dalam kondisi normal, sesungguhnya strategi seperti itu justru merugikan yang bersangkutan, terutama jika masyarakatnya ada warganegara yang sadar,” tandasnya.
Sementara Khoirul Muqtafa, mengutip Friedman, bahwa identitas dan kewarganegaraan kerap kali diposisikan diametral, atau saling berhadapan. Antara identitas yang cenderung partikular, dengan kewarganegaraan yang diasosiasikan sebagai sesuatu yang universal. Kewarganegaraan melampaui sekat-sekat primordial seperti etnisitas, agama, hingga kelompok kebudayaan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
“Agama adalah transendental, kewarganegaraan profan, bahkan beberapa kalangan menurut Turner (2022) agama dan kewarganegaraan adalah musuh bebuyutan. Di sisi lain, agama juga dianggap memberi modal pada pengembangan kewarganegaran yang inklusif. Alasannya, agama melampaui ikatan primordial seperti etnik, tradisi, dan sebagainya.” jelas peneliti PMB BRIN tersebut.
Terlihat dalam ruangan diskusi tersebut Ketua Umum Persaudaraan Wanita Tionghoa Indonesia (Perwanti), Surijaty Aminan yang mengikuti paparan dari awal hingga akhir.
Penulis | : Tim |
Editor | : Michael |
Sumber | : Press Release |
Halaman : 1 2