Implikasi dari praktik pergeseran fungsi DPR dalam pengisian pejabat negara, dimana dari segi bahasa kata “mengajukan/mengusulkan”, “menyetujui/memberi persetujuan”, “memilih”, “memberi pertimbangan” dan “memberikan konsultasi” atau fungsi hak konfirmasi parlemen dimaknai sangat teknis oleh DPR, yakni dengan melakukan uji kepatutan dan kelayakan (fit and proper test), wawancara dan bahkan melakukan penelusuran sampai kerumah kandidat yang bersangkutan.
Pendegradasian tersebut terus berlanjut pasca pejabat negara tersebut terpilih dengan pemberian kewenangan kepada DPR untuk dapat melakukan evaluasi terhadap pejabat terpilih, pertanyaannya sejauh apa objektivitas DPR dalam melakukan penilaian terhadap pejabat negara yang dapat dievaluasi ? bisa jadi tentu akan bersifat subjektif dan politis sehingga akan mengurangi bahkan mengganggu tingkat independensi pejabat negara dalam menjalankan tugas dan fungsinya.
Ambil contoh misalnya dalam penentuan jabatan Hakim Konstitusi, Hakim Agung dan Komisioner Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK) dan masih banyak jabatan-jabatan lainnya yang melalui DPR, jika misalnya mereka terpilih dan dalam menjalankan tugas dan wewenangnya ternyata secara subjektif tidak sesuai dengan harapan DPR, maka dengan mudahnya pejabat-pejabat negara tersebut akan evaluasi oleh DPR dengan atas nama kewenangan yang dimiliki DPR untuk mencopot pejabat negara tersebut, padahal pejabat-pejabat negara tersebut bersifat independen tidak dapat diintervensi oleh lembaga manapun termasuk oleh DPR.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Oleh karena itu pemberian kewenangan pencopotan pejabat negara kepada DPR telah menyalahi prinsip independensi kelembagaan dan seakan-akan DPR hanya ingin menunjukkan tajinya untuk dapat kapanpun guna mengevaluasi pejabat yang telah dipilihnya.
Kebijakan tersebut tentu telah menggeser sistem presidensial yang menginginkan adanya check and balance kearah sistem parlementer yang segala sesuatunya harus melalui dan diakhiri di tangan DPR.
DPR seakan ingin super power dengan kewenangannya, sehingga melupakan makna right to confirm yang sebenarnya, yakni hanya menyatakan setuju atau tidak setuju terhadap calon pejabat negara, bukan malah mengarah kepada menguasai sampai pencopotan pejabat negara yang telah dipilihnya.
Saya kira ini harus menjadi langkah kita bersama, untuk selalu menyuarakan agar jangan sampai pemberian kewenangan pencopotan pejabat negara dapat merusak sistem bernegara, sehingga sudah selayaknya penambahan satu pasal dalam revisi Tatib DPR, yakni Pasal 228A harus dibatalkan, karena jika tidak maka akan sangat membahayakan bagi independensi kelembagaan negara pasca reformasi.
Dr. Saiful Anam, SH., MH.
Pakar Hukum Tata Negara
Ketua Pusat Riset Politik Hukum Kebijakan Indonesia (PRPHKI)
Penulis | : TIM |
Editor | : BIM |
Sumber | : |
Halaman : 1 2