Rokok merupakan zat adiktif yang menimbulkan kecanduan, tambah Faisal, seluruh dunia bukan melarang rokok, melainkan dikendalikan, baik produksinya, konsumsinya, penjualannya, iklannya, dan sebagainya. Mereka tidak boleh promosi seenaknya meskipun memiliki anggaran promosi yang sangat besar.
Faisal mengungkapkan, bahwa sasaran industri rokok adalah Gen-Z, bahkan Pos Gen-Z yang usia di bawah 9 tahun pun sudah mulai merokok. “Perokok di usia muda dibawah 18 tahun, pada tahun 2013 sebesar 7.2 persen, tahun 2016 sebesar 8.8 persen, tahun 2018 sebanyak 9.1 persen. Padahal target pemerintah itu turun dari 7.2 persen menjadi 5.4 persen. Bahkan target 2024 itu malah menjadi 8.7 persen, ini seperti tidak ada gairah pemerintah menyelamatkan generasi muda. Oleh karena itu, refelansi merokok di Indonesia nomor 7 tertinggi di dunia,” ungkapnya.
Perumbuhan ekonomi rokok di Indonesia masih terbilang tinggi meskipun pandemi, padahal di negara lain sudah mengalami penurunan yang signifikan. “Secara keseluruhan, baik laki-laki dan perempuan yang merokok di Indonesia menduduki peringatan 7 Dunia, namun untuk laki-lakinya yang merokok Indonesia menduduki peringatan satu dunia. Ini sudah sangat parah sekali.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
“Justru kontribusi pemasukan rokok untuk negara secara keseluruhan itu tidak mencapai 1 persen untuk ekonomi negara. Sumbangannya kecil, tapi efek merusaknya yang tinggi. Tahun 2010 saja hanya 0.98 persen sumbangan dari rokok, sekarang malah 0.73 persen pemasukan negara dari rokok. Artinya sosial cost lebih besar dari pada sosial benefit,” kata Faisal.
Jadi seharusnya Indonesia dapat mengendalikan rokok, bukan melarang. Rokok itu penyumbang garis kemiskinan terbesar ke dua setelah beras. Ini harus di perangi agar orang miskin itu tidak banyak mengeluarkan uang hanya untuk rokok. Yang paling sensitif adalah harga, tapi harga cukai bukan segalanya.
“Pemerintah mengatakan harus ada keseimbangan, baik tani, rokok, dan pendapatan negara. Justru itu paradigma yang salah, karena rokok itu sudah seperti candu bagi masyarakat. Disaat pajak yang lain turun, cukai rokok malah meningkat, namun tidak mengurangi jumlah konsumsi. Harusnya tidak mengatakan untuk penerimaan negara, melainkan sebagai Pengendalian Konsumsi,” ucapnya.
Penurunan jumlah kemiskinan di Indonesian malah makin melambat. Ada yang tidak miskin tapi dekat dengan garis kemiskinan yang jumlahnya sangat besar. Kontribusi rokok kretek membuat garis kemiskinan makin bertambah, contohnya di pedesaa pada Tahun 2010 kontribusinya 5.19 persen, sekarang sudah 11.63 persen pada 2022.
“Cukai bukan satu-satunya instrumen dalam pengendali konsumsi rokok, melainkan syarat yang wajib. Jadi semua harus ada unsur peningkatan cukainya untuk mempengaruhi harga. Harga juga bukan segalanya, karena mereka bisa menciptakan ilusi harga. Meskipun memiliki merek yang sama, namun harga jual yang berbeda. Rokok dengan porsi cukai yang lebih tinggi justru lebih terjangkau,” ujar Faisal dalam paparannya.
Meskipun harga semakin mahal, namun siasat industi rokok dengan ilusi harga malah dapat meningkatkan jumlah konsumsi rokok. Akibatnya pemerintah secara sengaja memberikan peluang kepada penjual untuk lebih berkembang dengan produk baru yang di keluarkan sebagai ilusi harga. Untuk itu, harusnya kita lebih cermat menganalisa pesaing bisnis dari para industri rokok, apa lagi produk luar.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari DETIKIndonesia.co.id. Mari bergabung di Channel Telegram "DETIKIndonesia.co.id", caranya klik link https://t.me/detikindonesia, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.Penulis | : Michael |
Editor | : Michael |
Sumber | : Webinar KBR |
Halaman : 1 2