Oleh: Yefta Lengka (Penulis Adalah Pemuda asal Hubula-Lembah Palim)
“Tulisan ini bukan ajaran Theologi. Melainkan refleksi panjang atas kondisi gereja hari ini di daerah perkotaan tanah Papua”
I. Latarbelakang.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Di awal tulisan ini saya menekankan bahwa Gereja sesungguhnya atau sebenarnya adalah Tubuh Manusia/ setiap orang/pribadi orang. Bukan bangunan. Bukan denominasi. Bukan pula organisasi. Gedung gereja hanya sebuah sarana yang digunakan oleh manusia (orang percaya) dari panas dan hujan.
Denominasi gereja lahir karena pilihan dan kebutuhan para pencetus. Didalamnya terorganisir dan tersistem dengan baik untuk menjaga keutuhan denominasi gereja. Dengan demikian sekali lagi saya menekan bahwa tubuh adalah gereja yang sesungguhnya.
Selain itu Gereja suku yang saya maksudkan adalah orang-orang bersekutu dalam suatu denominasi gereja yang berasal dari satu suku, marga dan atau memiliki hubungan garis keturunan yang sama.
Saya melihat di daerah perkotaan banyak gereja yang dibangun. Disana ada penduduk pribumi yang mendiami tempat tersebut. Mungkin mereka memiliki denominasi gereja. Atau organisasi kepercayaan lain. Sayangnya dari sekian banyak denominasi gereja yang ada di daerah perkotaan tersebut tidak memiliki anggota jemaat dari orang-orang pribumi.
Dalam gedung gereja tersebut dipenuhi oleh orang-orang dekat Gembala atau Diaken. lebih dari itu adalah sesame satu suku atau keluarga. Lantas Tuhan seperti apa yang dikhotbahkan? Tuhan siapa yang dicontohi? Alkitab mana yang dipraktekkan?
Ah..Seandainya Tuhan Yesus Kristus datang hanya untuk Keluarga Yusuf dan Maria, orang papua tidak akan pernah mengenal yang namanya Tuhan Yesus Kristus.
Di kota Jayapura yang dulunya basis GKI tanah Papua 100 tahun sebelum injil masuk ke
daerah pegunungan tahun 1954-1955, kini banyak Gedung-gedung Gereja yang dibangun
seperti Baptis, GIDI, GBI, Pentakosta dan lain sebagainya. Namun Belakangan ini saya
terheran karena hampirdi setiap gedung gereja selain GKI tanah Papua tidak ada anggota jemaat orang pribumi disana.
Hal yang sama terjadi di kota Wamena, di kota wamena GIDI menjadi gereja yang memiliki sumbangsi terbanyak di berbagai sector. Namun sayangnya orang-orang Wio dan Mukoko yang mendiami kota wamena belum menjadi anggota jemaat GIDI atau memenuhi gedung-gedung Gereja GIDI sejak kehadirannya hingga kini.
Sisi lain banyak kegiatan atau program yang dibuat jemaat untuk memuaskan perut, mata, telinga dan lain sebagainya di tanah Hubula. Namun kebenaran tentang Tuhan Yesus Kristus masih tertutup untuk orang-orang di sekitar gereja Tuhan itu sendiri.
Ini situasi yang menyedihkan dan ini kondisi gereja Tuhan hari ini. Dengan situasi seperti ini orang percaya tidak bisa dengan sertamerta mengatakan “mingkin ini situasi akhir zaman” lalu pasrah dengan keadaan. Orang percaya harus evaluasi dan berbalik 180° untuk menjadi Gereja yang hidup dengan utuh melihat keadaan gereja lain disekitarnya.
II. Gereja Suku berpotensi konflik horizontal hingga perpecahan anggota Jemaat.
Dari hasil observasisaya di beberapa tempat, ada beberapa anggota jemaat yang mengundurkan diri dari gereja sebelumnya dan melakukan suatu perkumpulan yang
kemudian mendirikan gedung gereja yang lain dari yang sebelumnya.
Situasi ini bukan hanya di kalangan jemaat. Namun ada juga di kalangan pimpinan
denominasi, yang pada akhirnya banyak denominasi gereja terpecah belah. Namun ini bukan soal suku.
Gereja suku ini terkadang menjadi tempat paling banyak gosip. Tempat saling membongkar aib saudara atau keluarga. Dengan demikian gereja suku di daerah perkotaan memiliki potensi untuk bubar. Dan menciptakan gedung gereja baru sebagai pelampiasan emosi.
Pada akhir banyak gedung-gedung gereja bisa menjadi sarang tikus dan kecoak. Jika ini terjadi,maka masa depan dan pendirian gereja akan goyang. Nasib gereja Tuhan di tanah Papua akan sama seperti yang terjadi pada beberapa Negaradi benua eropa dan
amerika.
Jika situasi gereja tuhan terus seperti ini, maka pintu penginjilan akan terus tertutup dalam gereja suku.
III. Gereja Suku dan seremonial Denominasi Gereja. Mimbar gereja bukan tempat mencari perhatian.
Di setiap pertemuan ibadah gereja suku, tentu semua orang akan berlombah untuk menjadi yang terbaik. Melakukan yang terbaik. Dan semua yang terbaik. Sisi lain tempat peribadatan sebagai tempat pertemuan di akhir minggu. Tempat pelampiasan emosi dengan menunjukkan karya dan atau saling memuji. Dalam setiap program Gereja suku banyak program seremonial dengan mengedepankan fisik. Buka firman Allah. Sehingga hal Rohani tidak bisa terbuka.
Dalam gereja kesukuan selalu melihat hal-hal lahiria sebagai hal penting dalam setiap acara gerejawi. Dekorasi, makanan, fashion show, pembangunan gedung gereja dan lain
sebagainya menjadi sangat utama disbanding kesiapan hati. Pada akhirnya banyak banyak hal yang tidak bisa dikerjakan atau salah dikerjakan dan berakhir pada kekecewaan serta saling menjatuhkan sesama anggota jemaat gereja suku. Gereja suku biasanya kental dengan politik. Baik itu Politk sejarah keluarga, politik ideologi dan politik praktis. Mimbar gereja dan tatanan gereja sering diintervensi oleh gereja suku mayoritas sambil menyusutkan minoritas. Tanpa melihat kebutuhan rohani secara menyeluru.
Gereja suku juga selalu penuh dengan masalah sehingga banyak program yang terbengkalai. Akibatnya gedung gereja sunyi. Hampir tidak ada kegiatan dalam seminggu, kecuali ibadah hari minggu.
Dengan gaya hidup dan peribadatan yang demikian, sangat kecil kemungkinan untuk Berbicara tentang penginjilan.
Gereja suku di perkotaan; Adakah berita keselamatan untuk orang pribumi?
IV. Pintu penginjilan harus dibuka lebar untuk orang Pribumi.
Membuka pintu penginjilan bukan dengan makanan. Bukan dengan minuman. Bukan dengan memberikan jabatan dalam jemaat atau dunia sekuler. Bukan dengan memberi uang. Bukan dengan iming-iming harta, jabatan atau wanita. Bukan dengan khotbah di atas mimbar.
Pergi ke tempat mereka. Duduk dengan mereka. Dengarkan mereka. Mengatakan yang benar kepada mereka. Bantu mereka ketika mereka sakittanpa mengharapkan apapun dari mereka. Memberi mereka tempat yang layak tanpa mengharapkan apapun dari mereka, beri mereka makan tanpa mengharapkan apapun dari mereka, beri mereka pakaian tanpa mengharapkan apapun dari mereka. Berbicara tentang hak mereka yang sedang dirampas tanpa mengharapkan apapun dari mereka.
Bersuara atas perampasan tanah adat mereka. Berbicara tentang hutan adat mereka yang dideforestasi. Bersuara atas ketidakadilan yang mereka hadapi. Lakukan semua itu tanpa mengharapkan apapun dari mereka. Mereka akan melihat sesuatu dalam diri anda. Mereka tidak akan pandang anda sebagai gereja suku. Mereka akan bertanya kepada anda tentang siapa Tuhanmu.
Biarkan mereka melihat Tuhan Yesus Kristus dalam diri anda. Buka GIDI. Bukan Baptis. Bukan Kingmi dan lainnya. Tetapi Yesus Kristus.
V. Denominasi Gereja tidak memiliki teladan. Ikuti teladan Tuhan Yesus Kristus.
Semua denominasi gereja di muka bumi meneladani Yesus Kristus. Tidak ada denominasi yang memiliki teladan sendiri selain teladan yang diberikan Tuhan Yesus Kristus bagi umat manusia.
Tiga perintah paling spektakuler yang pernah ada dimuka bumi adalah pertama; Kasihilah
Tuhan Allahmu dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap Kekuatanmu dan dengan segenap akal budimu. Kedua; kasihilah sesame manusia seperti dirimu sendiri. Ketiga; kasihilah musuhmu.
Posisi Tuhan Yesus Kristus jelas. Dia berpihak pada kaum lemah, miskin, janda, perampok, Pembunuh, nelayan, petani dan lainnya. Dia tidak berpihak pada kaum bangsawan, atau
orang kaya, atau pasukan keamanan.
Yesus Kristus memberi teladan bagi manusia. Dia membongkar kedok suku, ras, bahasa, status, jabatan dan lainnya atas nama kemanusiaan. Yesus melihat kebutuhan. Bukan keinginan.
VI. Refleksi Penutup
Dari uraian panjang tulisan ini. Ada beberapa pertanyaan yang muncul dalam benak saya yaitu:
1. Mengapa gereja suku disahkan/dilegalkan dan dipelihara oleh pimpinan Gereja walau Tidak ada kemajuan penginjilan kepada orang-orang pribumi setempat?
2. Mengapa gereja berdekatan dan dibangun atas kesukuan namus pertumpahan darah terus terjadi?
3. Mengapa banyak gereja suku lebih suka membangun gedung Gereja dibanding mambangun gereja manusia?
Penulis | : Yefta Lengka |
Editor | : LUKAS |
Sumber | : |