DETIKINDONESIA.CO.ID – Saat berhadapan dengan ratusan siswa SMAN 1 Bajawa, Kabupaten Ngada, Gubernur Nusa Tenggara Timur, Emanuel Melkiades Laka Lena tidak berbicara tentang peringkat atau nilai ujian nasional. Ia justru mengangkat isu soal cangkul, bibit tanaman, laut, dan dapur sekolah.
“Mulai tahun depan, anak-anak tidak hanya belajar di ruang kelas. Mereka akan diterjunkan langsung ke sawah, mengurus ternak, hingga melaut. Inilah masa depan kita,” ujar Gubernur Melki Laka Lena, Kamis (10/4/2025).
Kunjungan ini bukan sekadar formalitas. Gubernur Melki datang membawa agenda besar: merevolusi total kurikulum pendidikan SMA di seluruh wilayah NTT. Gagasannya cukup sederhana namun transformatif—menggeser peran generasi muda dari hanya sebagai konsumen pendidikan menjadi produsen pangan.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Transformasi dari Kawasan Tertinggal
Sebagai salah satu provinsi dengan tingkat kemiskinan tertinggi ketiga di Indonesia menurut BPS (20,35% per Maret 2024), NTT mengandalkan sektor pertanian yang menyerap hampir 49% tenaga kerja, namun dengan produktivitas yang masih rendah. Sayangnya, sistem pendidikan saat ini belum menjawab tantangan tersebut—banyak lulusan SMA lebih memilih merantau ketimbang kembali ke kebun.
“Sekolah selama ini hanya mencetak calon pengangguran. Lulus tapi tidak punya keterampilan praktis,” kata Melki. “Makanya kita ubah: dari teori ke praktik.”
Kurikulum Praktis: Belajar dari Tanah Sendiri
Kebijakan baru ini akan diuji coba di Kabupaten Ngada, dengan 20 SMA/SMK dan lebih dari 9.000 siswa. Dalam skema ini, mata pelajaran seperti IPA dan IPS akan dikolaborasikan dengan praktik langsung di bidang pertanian, peternakan, dan perikanan. Dinas terkait akan dilibatkan dalam penyusunan kurikulum.
Gubernur Melki menekankan bahwa program ini bukan sekadar simbolis. Ia merujuk pada sekolah-sekolah percontohan yang telah berkontribusi dalam menyuplai bahan pangan untuk Program Makan Bergizi Gratis (MBG). “Siswa-siswa yang ikut program ini bisa dapat penghasilan antara Rp500 ribu sampai Rp1 juta per bulan dari hasil panen kebun,” jelasnya.
Petani Lebih Dibutuhkan daripada Seleb Sosial Media
Ia juga menyinggung tren generasi muda yang terobsesi menjadi konten kreator. “Jangan mimpi semua bisa jadi YouTuber. Itu cuma segelintir. Tapi jadi petani, peternak, nelayan? Itu peluang yang bisa diraih semua orang dan dibutuhkan setiap hari,” ujarnya.
Melki juga menyoroti ketidaksesuaian antara output pendidikan dan realitas ekonomi lokal. Data menunjukkan 68% rumah tangga di NTT masih bergantung pada sektor informal, khususnya pertanian dan hasil laut.
Optimisme di Tengah Kritik
Meski mendapat kritik karena dinilai terburu-buru dan minim partisipasi publik, Gubernur Melki tetap teguh. “Saya tidak menunggu semua orang setuju. Anak-anak ini perlu arah, bukan sekadar selembar ijazah,” tegasnya.
Ia berharap pendekatan ini dapat mengubah siswa menjadi penggerak ekonomi lokal, dengan sasaran menjadikan mereka sebagai produsen pangan bagi sekolah dan pasar regional. Pemerintah menargetkan seluruh kabupaten/kota di NTT akan menerapkan model ini pada tahun 2026.
“NTT harus menjadi contoh bagaimana pendidikan bisa terintegrasi dengan potensi tanah, laut, dan masa depan,” tandasnya.
Dukungan dari Kadis Pendidikan dan Kebudayaan
Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi NTT, Ambrosius Kodo, yang selalu mendampingi Gubernur Melki dalam kunjungan kerja, menyatakan bahwa gagasan besar ini akan segera ditindaklanjuti. “Kami akan segera membentuk tim kerja untuk mengimplementasikan ide ini dan menyusun kurikulum berbasis potensi daerah,” ungkapnya.
Ia menambahkan, Dinas Pendidikan juga telah menjalin kerja sama dengan TNI untuk melibatkan siswa di kebun jagung, serta dengan Polri untuk kegiatan pertanian padi.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari DETIKIndonesia.co.id. Mari bergabung di Channel Telegram "DETIKIndonesia.co.id", caranya klik link https://t.me/detikindonesia, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.Penulis | : TIM |
Editor | : BIM |
Sumber | : EKORANTT |