Tetapi bila sejak awal yang bisa dan yang memenuhi syarat untuk mendaftar hanya satu pasang calon, akibat pasangan tersebut didiukung oleh gabungan partai politik yang mencapai angka 76 persen suara sah, sehingga dengan ambang batas 25 suara sah, maka tidak ada lagi pasangan yang bisa didaftarkan, di sini masalah tata negara muncul.
“Ini menunjukkan bahwa Pasal 222 selain melanggar konstitusi, juga berpotensi menimbulkan persoalan yang tidak mampu dijawab oleh UU Pemilu. Karena UU Pemilu sama sekali tidak mengantisipasi potensi tersebut,” tukasnya.
Karena sangat mungkin terjadi pasangan calon didukung oleh gabungan partai politik yang mencapai jumlah kursi DPR di atas 80 persen atau di atas 75 persen suara sah secara nasional. Sehingga yang tersisa tidak mencapai 20 persen kursi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
“Begitu pendaftar hanya satu pasang dari awal, maka sesuai UU Pemilu Pasal 229 ayat 2 huruf (a) dan (b), maka KPU akan menolak pendaftaran pasangan tersebut. Artinya apa? Artinya macet. Karena tidak bisa dilawankan dengan kotak kosong. Yang bisa dilawankan kotak kosong apabila salah satu dari dua pasangan calon berhalangan tetap di tengah jalan,” jelasnya.
Ditambahakan LaNyalla, situasi tersebut, dapat menjadi dalil untuk melakukan penundaan Pemilu. Modusnya dengan kesepakatan dan kongsi antar-partai politik atau gabungan partai politik sehingga hanya bisa terbentuk satu pasang Capres dan Cawapres sejak awal. Sehingga ditolak oleh KPU. Dan kemudian stuck, macet dan lumpuh.
Pasal 222 tidak mengantisipasi apabila dalam Pemilihan Legislatif pada tahun 2024 nanti terdapat partai politik yang meraup atau memperoleh suara sebesar 75,01 persen suara sah secara nasional.
Seperti pernah terjadi pada Pemilu tahun 1997, di mana Golongan Karya saat itu memperoleh suara nasional sebesar 74,51 persen. Sedangkan Partai Persatuan Pembangunan memperoleh suara 22,43 persen dan Partai Demokrasi Indonesia memperoleh 3,06 persen suara.
“Lantas, bagaimana dengan Pilpres Tahun 2029 mendatang, di mana dengan menggunakan basis suara perolehan Pemilu Legislatif tahun 2024, yang mana hanya ada satu partai politik saja yang dapat mencalonkan pasangan Capres dan Cawapres?” tanyanya.
Menurut LaNyalla, sangat jelas produk hukum tersebut membahayakan kelangsungan kehidupan berbangsa dan bernegara serta ketatanegaran dengan memberi dan membuka kesempatan untuk menimbulkan persoalan Tata Negara yang sangat serius.
Berangkat dari hal tersebut, lanjutnya, dapat disimpulkan bahwa Pasal 222 UU 7/2017 yang berisi tentang Ambang Batas Pemilihan Presiden adalah pasal yang bukan saja bertentangan dengan konstitusi, tetapi dapat berpotensi merusak dan menimbulkan kekacauan tata negara bangsa ini. Dan dapat mengancam tujuan serta cita-cita nasional seperti termaktub dalam Pembukaan UUD 1945.
“Sehingga bukan saja bertentangan dengan konstitusi, tetapi juga bertentangan dengan Pancasila sebagai falsafah dan ideologi negara. Sehingga, Pasal 222 tersebut dapat saya sebut sebagai pasal yang membuka peluang untuk melakukan tindakan subversif tehadap negara ini,” tegas dia.
LaNyalla juga menyinggung pendapat dua hakim MK yang menyatakan dissenting opinion (pendapat berbeda) yang pada prinsipnya mendukung penghapusan Ambang Batas atau Presidential Threshold dalam UU Pemilu.
Dikatakan LaNyalla, apa yang dikatakan Saldi Isra dan Suhartoyo bahwa dengan logika sistem pemerintahan, mempertahankan Ambang Batas dalam proses pengisian jabatan presiden, jelas memaksakan sebagian logika sistem parlementer ke dalam sistem presidensial.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari DETIKIndonesia.co.id. Mari bergabung di Channel Telegram "DETIKIndonesia.co.id", caranya klik link https://t.me/detikindonesia, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.
Penulis | : Tim |
Editor | : Harris |
Sumber | : |
Halaman : 1 2