Oleh: Lukman Malanuang (founder Institute Energi Pertambangan dan Industri Strategis)
Novelty (kebaruan) disertasi Menteri Bahlil Lahadalia pada intinya ingin mengakhiri kutukan sumberdaya alam (resources curse) pada hilirisasi pertambangan nikel yang saat ini sedang gencar dilakukan pemerintah Indonesia dengan membangun peta jalan, langkah-langkah dan tahapan yg tegas agar terbangun ekosistem hilirisasi dan industrialiasi yang berkeadilan dan berkelanjutan di masa depan.
Sebagaimana diketahui bahwa sumberdaya mineral sifatnya tidak terbarukan (unrenewable resources) artinya SDA mineral tidak punya kemampuan melakukan regenerasi secara biologis seperti pertanian, peternakan dan perikanan. Karena sifatnya yg tidak terbarukan harus dicari jalan agar pembangunan daerah yang kaya SDA mineral tidak menjadi kota atau kabupaten hantu (ghost town) manakala cadangan dan sumberdaya SDA mineral suatu saat habis.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Disertasi Menteri Bahlil mengupas tuntas mengapa pertumbuhan ekonomi daerah penghasil atau daerah pengolah hilirisasi produk domestik regional bruto (PDRB)nya tinggi namun kemiskinan, pengangguran, ketimpangan, gizi buruk, stunting, pendidikan, kesehatan dan kerusakan lingkungan terjadi secara massif. Inilah yang disebut oleh Ricard Auty sebagai fenomena kutukan sumberdaya alam. Sumberdaya alam tidak menjadi berkah justru kutukan – sejatinya tidak ada SDA yang terkutuk – problem mendasarnya ditata kelola yang buruk. Bagaimana mengakhiri atau berkelit dari kutukan itu. Inilah yang menjadi agenda terpenting bagi Indonesia yang memilih jalan hilirisasi dan industrialiasasi mineral dengan target pertumbuhan 8 persen pada pemerintahan Prabowo – Gibran untuk membawa Indonesia keluar dari middle income trap menuju Indonesia Emas 2045.
PDRB Sulawesi Tengah dan Maluku Utara yang menjadi wilayah penelitian Menteri Bahlil memang tinggi namun nilai tambah input output barang dan jasa dalam pembentukan PDRD sangat minim menggunakan sumberdaya lokal setempat sebagai akibatnya terjadi kebocoran regional (regional leakeges) yang tinggi didaerah tersebut. Inilah yang menjadi penyebab tingginya kemiskinan, ketimpangan dan problem sosial lainnya. Dampak berikutnya akibat beragam (multiplier effect) hilirisasi pertambangan di daerah tersebut tidak signifikan menggerakkan ekonomi lokal. UU 3/2020 tentang Minerba secara tegas mengamanatkan mengutamakan tenaga kerja setempat, mengikutsertakan pengusaha lokal, mengutamakan barang dan jasa lokal dan melakukan program pemberdayaan masyarakat secara efektif dan tepat sasaran mengimplementasikan data desa presisi secara by name, by address dan by koordinat.
Dari sisi dana bagi hasil (DBH) SDA mineral bagi daerah pengolah hilirisasi mineral dalam disertasi Menteri Bahlil menawarkan pembagian 45 persen untuk daerah pengolah/penghasil dan 55 persen untuk pusat. Sementara pengaturan DBH SDA mineral bagi daerah pengolah hilirisasi mineral dalam UU No. 1 tahun 2022 tentang hubungan keuangan pusat dan daerah (HKPD) hanya 8 (delapan) persen. Tentu jika pengaturan DBH 45 (empat puluh lima) persen untuk daerah pengolah akan memperbesar kapasitas fiskal daerah dalam APBDnya. Pengaturan DBH sebesar 45 (empat puluh lima) persen sejalan dengan ketentuan pasal 122 dan 123 dalam UU No. 1/200 tentang HKPD. Kapasitas fiskal yang besar dari DBH dalam APBD tentu harus dibackup dengan regulasi yang kuat. Saat ini pendapatan negara bukan pajak (PNBP) sektor minerba sebesar 80 (delapan puluh) persen untuk daerah, ditambah lagi daerah mendapat pembagian dari keuntungan bersih perusahaan.
Kapasitas fiskal yang besar seharusnya diperuntukkan untuk mengawal agenda transformasi hilirisasi untuk meningkatkan pendidikan, kesehatan, membangkitkan sektor terbarukan seperti pertanian, perternakan dan perikanan dll serta infrastruktur straregis yang dibutuhkan daerah seperti infrastruktur transportasi (jalan, pelabuhan laut dan udara), infrastruktur listrik, infrastruktur pertanian (bendungan dan irigasi), infrastruktur digital dsbnya.
Informan kunci dalam disertasi Menteri Bahlil bukan lagi pentahelix (lima unsur pemangku kepentingan) yakni akademisi, pelaku usaha, pemerintah, LSM dan media namun sudah multihelix (keterlibatan seluruh pemangku kepentingan). Keterlibatan LSM nasional seperti Jatam misalnya akan justru sangat konstruktif untuk memberi masukan yang produktif dan solutif bagi terwujudnya hilirisasi pertambangan berkeadilan dan berkelanjutan.
Untuk itu kami menghimbau kepada Bapak Bahlil Lahadalia (Menteri Energi Sumberdaya Mineral RI) untuk mempercepat terbentuknya SATGAS hilirisasi dan industrialisasi mineral berkeadilan dan berkelanjutan utk mengorkestrasi upaya memperbaiki tata kelola hiliriasasi dan industrialisasi pertambangan berkeadilan dan berkelanjutan. SATGAS ini mengantisipasi kutukan sumberdaya alam di Indonesia dan dapat menjadi model bagi dunia bahwa hilirisasi dan industrialisasi SDA mineral dapat dikelola secara berkelanjutan jika suatu saat SDA mineral habis namun pembangunan dan ekonomi daerah tetap tumbuh karena SDM dan sektor2 diluar tambang telah bertransformasi dan tumbuh sebagai penggantinya. Dengan demikian pemerintah daerah dan masyarakat tidak perlu khawatir dan waswas dengan agenda hilirisasi dan industrialiasi mineral yang menjadi agenda prioritas pemerintah saat ini. Terimakasih
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari DETIKIndonesia.co.id. Mari bergabung di Channel Telegram "DETIKIndonesia.co.id", caranya klik link https://t.me/detikindonesia, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.Penulis | : LUKMAN MALANUANG |
Editor | : FIQRAM |
Sumber | : |