INTEGRASI PAPUA – Pemikiran Tokoh Muslim Papua

Rabu, 2 Februari 2022 - 09:04 WIB

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Oleh: Ismail Asso, Ketua Umum Forum Komunikasi Muslim Pegunungan Tengah (FKMPT) Papua 

Guna refleksi untuk kita semua, saya mau kutip, Syafi’i Ma’arif, Mantan ketua Muhammadiyah, sejarawan pemikir, pada seminar oleh Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI). Dalam makalah judul :

“Kemerdekaan dan Masa Depan Indonesia Perspektif Islam”.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Syafi’i mendefinisikan penjajahan, mengutip Mostafa Rejai : ‘Nasionalism, East and West’ dari buku : ‘Ideologies and modern politics’, dalam Reo M Cristenson dkk, sbb

“Kita baru saja merayakan Ulang Tahun Proklamasi Kemerdekaan RI ke 50, setelah kita hidup dalam suasana penjajahan dan penindasan oleh berbagai kekuasaan asing dalam kurun waktu yang cukup lama. Sistem penjajahan adalah system eksploitatif dan destruktif. Rakyat terjajah diperlakukan sebagai sub-human, bukan sebagai manusia penuh. Alangkah keji dan kejamnya system serupa itu. Kolonialisme pada stadium ketiga; nasionalisme ekspansive. Pada stadium ini suatu bangsa melakukan aneksasi atau penaklukan terhadap negeri atau negeri-negeri lain. Imprealisme menampakkan berbagai bentuk: politik, ekonomi, dan cultural, dengan watak utamanya dominasi dan eksploitasi oleh suatu bangsa atas bangsa lain”.

Bagaimana dengan nasib bangsa yang berstatus Otsus (bebas) seperti Papua diujung Timur dan Aceh diujung Barat?

Kita hidup dalam alam Negara merdeka berdaulat penuh seperti Indonesia.

Bagaimana bangsa yang belum berdaulat penuh secara politik, ekonomi dan budaya seperti Papua dan Aceh?

Lebih lanjut Ma’arif angkat masalah substansial tentang identitas :

“Pada akhir abad ke-20 ini dominasi militer dan politik secara terangan-terangan hampir-hampir telah berlalu, sedangkan dominasi ekonomi dan cultural dari suatu bangsa terhadap bangsa lain masih kita rasakan. Khususnya imprealisme cultural, itu pasti akan menimbulkan proses brain-washing atas kebudayaan suatu bangsa yang tidak memiliki sendi-sendi jati diri yang tangguh. Padahal, bangsa yang benar-benar merdeka adalah bangsa yang berdaulat lahir batin, kedalam dan keluar. Indonesia secara militer dan politik telah merdeka 100%, sementara dibidang ekonomi dan budaya kita berada dalam tahap ujian yang cukup berat”.

Baca Juga :  Provinsi Baru Membuka Pintu besar Bagi Transmigrasi

Saya kutip agak panjang agar kita tidak sulit membayangkan kalau paparan Syafi’i diatas ada dalam alam nyata Papua sesungguhnya.

Malah lebih gawat dari paparan Ma’arif. Mengingat sepenuhnya secara politik, militer, ekonomi dan budaya belum berdaulat penuh.

Bagaimana Ma’arif bisa membayangkan jika dia tidak pernah menjadi orang Aceh atau Papua? Papua sesungguhnya sudah diambang kehancuran menuju proses genosida (kepunahan).

Soal Integrasi Dalam Perdebatan

Tahun 2009 terbit buku tipis kecil rangkuman wawancara tokoh tidak refresentatif Papua judul :

“Integrasi Sudah Selesai, Komentar Tokoh atas Papua Road Map”. Buku sederhana itu isinya lebih sebagai rekayasa kalau bukan pseudo kebenaran.

Tujuanya indoktrinasi dan brain washing karena buku “jelek” itu dibedah ditengah mahasiswa Papua diberbagai kota study seluruh Indonesia oleh penyunting.

Proyek brain washing itu agaknya disponsori (didanai) Pusat (Menkopolhukam RI?) dari dana khusus untuk -mengatasi penyakit ketakutan (paranoide) -menghambat gerakan Papua Merdeka.

Redaksi isi buku dikemas sedemikian rupa sesuai keinginan bukan kebenaran sebenarnya pikiran tokoh diwawancarai, malah bagian-bagian tertentu inti isi dari buku itu disesuaikan sesui tujuan dan hasrat penyunting.

Karena begitu kebenaran fakta wajib dibuang, yang itu sebenarnya inti dari pikiran tokoh Papua yang diwawancarai sebagai nara sumber oleh penyunting.

Buku tipis sederhana disunting Agus Edy Santoso, diterbitkan Pusat Study Nusantara itu wawancara tokoh dipilih, difilter agar steril, kalau ada sengaja dipotong dan dibuang agar lebih sesuai dengan keinginan kelanggengan kolonialisme.

Akhirnya buku itu lebih sebagai rasa ketakutan atas temuan ilmiah melalui penelitian LIPI judul : “Road Map Papua”, Muridan dkk (LIPI, 2008) yang merekomendasikan Pemerintah Pusat agar perlu dilakukan dialog pelurusan sejarah integrasi Papua kedalam NKRI.

Baca Juga :  Tentang 6 Provinsi Di Papua, Ada Papua Nugini Paling Timur

Sebagai anti tesis pembohongan public pihak anti HAM dan demokrasi oleh kaki tangan kolonialisme melalui kampanye buku itu dilawan Pendeta Socrates Yoman dengan menulis buku tandingan sebagai countre balance ditulis Socrates dengan judul: “Integrasi Belum Selesai”.

Buku ini membantah seluruh isi buku diatas sekaligus membeberkan fakta baru yang itu lama dan sering disembunyikan penguasa atau mau disembunyikan penyunting buku “Integrasi Sudah Selesai” tanpa bisa terbantah lagi.

Hal itu semakin membuka mata kita semua, kedok kebohongan inteligen Negara, sekaligus membantah seluruh isi buku manipulasi secara intelektual tapi kurang intelektual itu. Buku tandingan anti tesis judul : “Integrasi Papua Belum Selesai” diterbitkan selang beberapa waktu kemudian.

Karya intellectual anak koteka yang biasa buat kuping merah penguasa atas semua manipulasi ketidakadilan dan kebohongan itu dilakukannya semata-mata hanya, sebagaimana pengakuannya sendiri, selama ini diketahui umum, dia sebagai hamba Tuhan bicara lugas dan itu semata hanya menyampaikan, “suara Umat/Gereja”.

Tandingan judul buku Socrates itu meruntuhkan manipulasi fakta oleh penguasa. Pendeta Socrates secara tidak langsung mendukung Dialog Nasional yang digagas rekan se-‘koteka’-nya, Neles Tebay, sebagai sintesa, dari buku anti tesis Muridan dkk dari LIPI yang merekomendasikan pentingnya dialog Papua-Jakarta.

Buku Tebay elaborasi rekomendasi LIPI dan dia mengemukakan gagasanya dalam bentuk buku tipis. Pertarungan intellectual demikian menjadi ramai dan babak baru perjuangan mewarnai sepanjang 10 tahun terakhir sejak tahun 2000 sampai kedepan ini.

Pembohongan public dan rekayasa politik demikian hanya sanggup bertahan beberapa waktu untuk selanjutnya system politik seperti itu runtuh dan hancur karena ketinggalan zaman. Praktek pemerintahan Negara seperti itu hanya menungu waktu hancur jadi beberapa negara karena dunia kedepan kontruksi pikiran orang lebih ditentukan oleh kesadaran kesamaan budaya dan agama bukan lagi nasionalisme ideaologi totaliter tertutup.

Baca Juga :  Ingin Rangkul Kubu 01 dan 03, Gibran: Itu Kalau Mau Ya

Hal itu terbukti negara Adidaya, Uni Soviet, atas penguasaannya bangsa Eropa Timur, pada akhirnya ideology totaliter pada akhirnya runtuh hancur berkeping-keping tersisa hanya Rusia.

Samuel P Huntington, ‘Benturan Peradaban’ (class of civilization, 1995) yang bukunya banyak mendapat sorotan kritikan karena prediksi pasca runtuhnya Uni Soviet, musuh baru yang paling mungkin patut diwaspadai Amerika selanjutnya adalah ideologi Islam.

Mengapa Osama bin Laden dan Al-Qoidah tujuan utama politik Amerika menjadi prioritas harus dihancurkan? Jawabannya ideology Islam paling mungkin muncul pesaing pasca Komunisme Uni Soviet.

Dari paparan ini patut diperhatikan salah satu negara diambang perpecahan menjadi beberapa Negara kata Huntinton dalam thesisnya itu adalah Indonesia.

Seperti Soviet, ideologi Negara Kesatuan seperti Indonesia akhirnya diperkirakan bakal bubar membentuk pemerintahan sendiri melalui pemilu secara demokratis sebagaimana negara-negara bekas Uni Soviet.

Urgensi Integrasi Internal

Dalam judul ini saya mau vocuskan pembahasan soal integrasi dalam arti luas, yakni pembauran dan pergaulan antar sesama warga Papua secara internal (kedalam) dulu sebelum kembali untuk memasuki pembahasan eksternal ke yang lain.

Karenanya tema pembahasan kita kali ini terkait erat dengan pentingnya integrasi internal warga pribumi Papua (orang Papua asli?) dengan “Amber”, urban (orang Papua pendatang?) yang senantiasa belum selesai- yang kini ada dalam persimpangan jalan.

Hal itu terutama dalam menghadapi isu-isu keadilan, kebenaran dan kemanusian. Selama ini didapati kenyataan ada gap cultural dalam beradaptasi secara emotional kedua cultur antar sesama warga masyarakat Papua pribumi dan urban.

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari DETIKIndonesia.co.id. Mari bergabung di Channel Telegram "DETIKIndonesia.co.id", caranya klik link https://t.me/detikindonesia, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.

Penulis : Ismail Asso
Editor : Muliansyah
Sumber :

Berita Terkait

Gerindra Sentil PDIP Soal PPN 12 Persen: Seperti Lempar Batu Sembunyi Tangan
Konflik Politik dan Resolusi
Hadiri Puncak Perayaan HUT Partai Golkar, Bamsoet Apresiasi Presiden Prabowo Dukung Perubahan Sistem Demokrasi Langsung di Indonesia
JAMAN 08 Desak Presiden RI Pecat Menpora Dito
Supplier Lid Cup Plastik WirausahaGroup: Pilihan Bisnis yang Cerdas
Jusuf Kalla Terpilih Secara Aklamasi Sebagai Ketua PMI 2024-2029
Anis Matta Kembali Terpilih Sebagai Ketua Umum Partai Gelora 2024-2029
Amien Rais Umumkan Sikap Partai Ummat: Dukung Pemerintahan Prabowo

Berita Terkait

Kamis, 21 November 2024 - 13:20 WIB

Catatan Politik Senayan; Prioritaskan Program dengan Berpijak Pada Aspirasi Publik

Rabu, 20 November 2024 - 15:49 WIB

Politik di Spice Islands

Jumat, 15 November 2024 - 21:27 WIB

Transmigrasi Bukan Solusi Kesejahteraan Bagi Penduduk Orang Asli Papua

Minggu, 10 November 2024 - 12:57 WIB

Implementasi Disertasi Menteri Bahlil: Pembentukan SATGAS Hilirisasi Berkeadilan dan Berkelanjutan Mendesak Dipercepat

Selasa, 5 November 2024 - 16:12 WIB

Rancu Produk Hukum Pelantikan Presiden & Wakil Presiden

Minggu, 27 Oktober 2024 - 20:20 WIB

Kerek Lamok dan Wunuk Kerek

Minggu, 27 Oktober 2024 - 20:13 WIB

Perempuan Lani dan Cawat Tali

Sabtu, 26 Oktober 2024 - 15:14 WIB

Sahabatku, Sukiman Yang Syahid Dalam Mencari Nafkah

Berita Terbaru

Daerah

Soal Kasus Korupsi Bank BPRS, Kejari Halsel Di Demo 

Minggu, 22 Des 2024 - 12:54 WIB