Pembauran karenanya menjadi tema penting pembahasan tulisan ini mau dimaksudkan, namun bagaimana format ideal pembauran agar lebih efektif adalah perhatian tulisan ini mau diangkat disini agar diperhatikan semua pihak.
Proses integrasi dalam hal ini yang paling penting adalah akulturasi-inkulturasi budaya Papua dan non Papua. Dewasa ini gejolak beda ideology politik antara elit Papua dan Jakarta berimplikasi langsung pada rakyat bawah. Dan itu melahirkan disharmonisasi pergaulan antar sesama warga sipil yang itu sesunguhnya kedua kelompok ini tidak diuntungkan oleh apa yang dinamakan didalam pembangunan nasional itu.
Jika hal ini dibiarkan tanpa ada usaha inovasi contrucsi pembauran maka akibatnya bisa konflik. Karena itu harus ada solusi dari sekarang cara merancang untuk mengatasinya. Mungkin proses akulturasi-inkulturasi social budaya Amerika dan Brazil contoh lain buat kita Papua kedepan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Jika tidak diatasi maka itu sama artinya kita menyimpan bom waktu dan sewaktu-waktu siap meledak kapan saja, jika itu diinginkan pihak tertentu, maka ledakannya sangat dasyat –konflik horizontal- bisa meluluhlantahkan sendi-sendi kebersamaan.
Dalam teori ilmu sosial (meminjam istilah, teori Hegel) gambaran ini sebagai gejala anti tesa. Tesis-nya adalah keadan pra kondisi, dimana orang Papua dulu masyarakatnya homogen dan monoton tanpa kehadiran pemerintah dengan segala kebijakan lain dan baru. Tapi kemudian runtuh, “kehadiran” menyebabkan semua kenyataan pra kondisi itu mulai goyah, tak dapat dipertahankan lagi seperti dulu.
Dalam kondisi demikian muncul mentaliltas complex inferiority dipihak korban pembangunan. Mereka yang dikalahkan dalam perubahan dan persaingan (kompetesi) seperti itu dikhawatirkan sebagai akibatnya menyebabkan gejala disorientasi, dislocation, devrivasion.
Tingal usaha kita sekarang memilih jalan mana, apakah jalan aman selamat atau membiarkan keadaan damai terjadi secara alami dengan tingkat resiko benturan dan konflik terus menerus tanpa usaha mengakhiri itu secara sengaja dalam internal warga Papua beragam etnis?
Disini berarti saya bicara soal urgensi bagaimana cara merecontruk social. Usaha itu adalah rekayasa soaial pembauran beragam etnis, suku dan bahasa dalam kesatuan warga Papua menuju hakekat pembauran (integrasi) kedua kelompok masyarakat terbedakan (distingtif) secara ideology politik untuk menjadikan mereka berbeda dalam satu kondisi ideal (sintesa). Dimana sintesa disitu dapat melahirkan integrasi (pembauran) sarat dengan nilai-nilai humanism, egalitarianism, liberalism dijunjung tingi sebagai penegakan nilai asasi HAM dan demokrasi.
Sarana untuk itu penegakan HAM dan demokrasi. Karena ini yang lebih bisa menjajinkan perbaikan hubungan semua perbedan alami itu. Namun factor sekunder usaha penegakan HAM dan demokrasi di Papua senantiasa lamban terjadi disatu pihak dan semangat gerakan papuanisasi dilain pihak,yang itu berarti dalam proses transisi dapat berubah wujud menjadi konflik horizontal.
Mentalitas warga Papua karenanya seringkali dalam situasi labil, kompleks devrivation, disorientasi, dislokasi akibatnya benturan peradaban cultural internal sesama warga sipil Papua. Hal ini dimaksudkan disini sesunguhnya tidak lain-tidak bukan pembauran antara etnis Papua asli dengan non Papua adalah urgen.
Dalam pengertian sempit bahwa integrasi NKRI telah berhasil diantaranya unsure-unsure integrasi itu bisa kita hayati, kalau tidak boleh bilang, kita nikmati saat ini, mulai dari kasus paling sederhana, makan nasi, menggunakan bahasa Indonesia, agama, kawin campur, mata uang rupiah, birokrasi, dsb adalah gejala adanya integrasi Papua kedalam NKRI.
Tapi sedikit akan disinggung integrasi Amerika Serikat sebelum kembali kedalam negeri dalam arti kebangsaan seperti apa yang dinamakan kini dalam kerangka kebangsaan NKRI.
Adalah cita-cita seorang Pendeta Protestan dan itu terjadi diera tahun 1950-an diabad 20 lalu, tempatnya di benua Amerika, Martin Luther Jr, seorang Pendeta intelektual pejuang HAM dan demokrasi negeri Paman Sam itu punya impian yang konsepnya dikenal dengan integrasi.
Dalam pidato yang dihadiri ribuan orang, dihadapan mereka, dia menyatakan impian integrasinya itu katanya: “Saya impikan suatu saat kelak warga Amerika duduk bersama (dia maksudkan disitu maksudnya integrasi; antara pendatang keturunan Afro-Amerika, bangsa negro, keturunan Afrika-bekas budak dengan pendatang Anglo Xason dari Eropa Utara, Inggris, bekas Tuan mereka), dapat hidup sama rata sebagai satu warga Amerika”.
Dan akhirnya perjuangan mewujudkan impian itu terbukti berhasil 50 tahun kemudian impian itu benar-benar terwujud dengan pembauran antara warga imigran Eropa dan Afrika kini menyatu dalam Amerika Serikat yang super power itu.
Integrasi yang diimpikan pejuang HAM dan Demokrasi Amerika, seorang Pendeta berkulit hitam itu berhasil walaupun impian itu lebih sebagai perwujudan perjuangan Malcom X daripada gerakan intelektual Martin Luther Jr.
Bisa dikatakan begitu karena Obama ayahya Husein Barak Obama seorang Muslim duta PBB asal Kenya lebih sebagai impian perjuangan Malcom X (seorang pemimpin Islam Kulit Hitam Amerika era tahun 50-an) daripada Marthin Luther Jr. Karena Malcom X juga pejuang HAM dan Demokrasi sezaman dengan Pendeta Martin Luther. Pastinya Presiden Amerika kini keturunan Islam asal Afro Amerika.
Integrasi Papua Sudah Final?
Integrasi dalam arti sempit bahwa ke Indonesian orang Papua sangatlah tipis utamanya jika prose situ dilihat dari sisi integrasi militer dan politik terutama cultural.
Dengan demikian nasionalisme orang Papua dalam NKRI dalam proses transisi seringkali terlihat sangat masih longgar. Namun kita harus jujur akui fakta disini bahwa realitas hari ini kita hidup dalam alam integrasi Papua kedalam Indonesia sudah final. Hal itu terutama status teritory wilyah Papua sebagai bagian dari NKRI sudah diakui final oleh PBB.
Walaupun Papua sebagai bagian dari NKRI tanpa henti senantiasa terus akan dipersoalkan orang Papua. Integrasi dalam arti militer-politik Papua Barat sudah final sebagai bagian tak terpisahkan dari Indonesia. Walaupun banyak masalah namun integrasi secara sosio-cultural masih berat.
Status politik Papua dengan demikian sudah tidak ada masalah berarti lagi walaupun masih ada gangguan tak berarti tapi diatasi pemerintah, karena hanya segelintir orang yang merasa tidak puas. Tapi batang tubuh dan sendi-sendi kebangsan NKRI tetap utuh dari Sabang sampai Merauke.
Memang secara sporadic disana-sini masih ada ganguan, letupan-letupan ketidakpuasan orang Papua tapi tetap saja bisa diatasi pemerintah pusat dengan berbagai kebijakan politik pendekatan pembangunan, kucuran dana Otsus besar melalui media pemerintah namun bahasa penyederhanaan statemen oknum pejabat seperti itu menunjukan ada fakta lain dibalik eufemisme seperti itu berusaha mau disembunyikan.
Socrates Sofyan Yoman (Integrasi Papua Belum Selesai, 2010) menjadi fakta pula bahwa integrasi Papua secara politik-militer yang sudah final itu dan tidak sah menurut sebaliknya seperti itu, saat ini, dan itu tidak ditunjang dan dianggap sudah terintegrasi sempurna terutama dari sudut integrasi cultural dan ekonomi rakyat Papua belum menikmati sebagai dirinya dalam pembangunan Indonesia disana selalu saja ada problem, kita hendaknya tidak boleh menyerhanakan begitu saja.
Dalam soal ini Papua senantiasa dililit persoalan kompleks tanpa sanggup diatasi oleh kedua kelompok berbeda ideology yang bertikai (baca- isme Papua-NKRI) karena alasan pertama, bagi NKRI, Papua secara de jure PBB dan itu didukung Amerika integrasi sudah sah.
Papua diakui internasional sebagai bagian tak terpisahkan dari NKRI, sejak Mei 1963 melalui PEPERA. Walaupun melalui hasil “curang” karena tanpa mekanisme one man one vote, bangsa Papua Barat telah terintegrasi sampai dengan detik ini hingga entah nanti sampai kapan, hanya Tuhan saja yang tahu. Yang pasti realitas fakta Papua hari ini integrasi sudah selesai sekaligus belum selesai.
Integrasi versi sudah selesai karena secara de jure PBB memang demikian. Belum selesai karena secara de vacto PEPERA tanpa mekanisme one man one vote selain fakta bahwa Papua bagi orang Papua tidak mau berintegrasi dengan NKRI (jika bisa jajak pendapat sekarang seluruh rakyat Papua memilih memisahkan diri dari NKRI).
Indonesia mengakui Papua sebagai bagian tidak terpisahkan dari dirinya. Justificasi ide ini, oleh Soekarno agaknya diambil sebagai dasar filosofi pembenaran invasi berdasarkan sumpah Palapa masa kejayaan kerajaan Hindu-India di Jawa pada masa silam.
Walaupun dalam kitab kuno huruf palapa itu yang disebut Pulau kecil dekat Fak-Fak (Onim) yang tidak termasuk keseluruhan Wilayah Papua-Papua Barat sesunguhnya.
Kedua, bagi kontra, Papua diintergrasikan secara “terpaksa” kalau bukan “dipaksa” (perspektif orang Papua) kedalam wilayah NKRI melalui Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) tahun 1963 yang disaksikan UNTEA, dianggap tidak sah karena tanpa mekanisme one man one vote.
Countre balance, anti tesa dari tesis integrasi Papua sudah selesai, tidak ada masalah, berarti karena hal itu didukung dan diakui internasional melalui pemerintahan resmi mereka terutama negara-negara besar dunia seperti Amerika, Inggris, Australia dan sekutu lainnya.
Karena memang hal itu terlihat dari dan dinyatakan mereka kita saksikan bersama melalui stateman mereka dimedia publice bahwa status Papua sudah final dan tidak perlu dipersoalkan lagi sebagai bagian dari NKRI.
Anti tesis dari asumsi integrasi Papua sudah final dan telah selesai kedalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) senantiasa masalah politik keabsahan legitimasi secara politik dan militer, bisa dikatakan hampir tidak ada masalah karena secara de jure di PBB telah selesai final bagi Indonesia dan itu didukung dan diakui internasional.
Secara sepihak rakyat Papua menganggap tidak absah karena alasan utama mereka tanpa melalui mekanisme one vote one man tahun 1963 secara de vacto dan secara de jure PBB resmi tahun 1969 sesudah PT Freeport Mc Moren sudah beroperasi di Tembagapura Timika.
Implikasi paradox senantiasa dirundung berbagai pergolakan social-politik dan ekonomi seakan tanpa pernah usai untuk menyatakan Proses integrasi antara Papua non Papua adalah suatu masalah penting tapi tanpa ada solusi significant senantiasa dari kedua bela pihak berlainan ideology harus dipikirkan ulang disini.
Oleh: Ismail Asso
Penulis Adalah: Ketua Umum Forum Komunikasi Muslim Pegunungan Tengah (FKMPT) Papua
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari DETIKIndonesia.co.id. Mari bergabung di Channel Telegram "DETIKIndonesia.co.id", caranya klik link https://t.me/detikindonesia, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.Penulis | : Ismail Asso |
Editor | : Muliansyah |
Sumber | : |
Halaman : 1 2