Oleh: Eka Hendry Ar
Penulis Adalah: Dosen IAIN Pontianak
Istilah medioker (mediocre) lebih sering kita dengar dalam pembincangan politik mutakhir. Terkait dengan bermunculan elit-elit politik dan kekuasaan yang dinilai biasa-biasa saja. Tidak ada terobosan dan inovasi, tidak ada visi yang jelas, alias pemimpin gagal atau elit politik gagal.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Dalam konteks politik, pemimpin medioker lahir dari rahim politik pragmatisme yang “ada uang ada suara, ada uang dapat perahu”. Mekanisme seleksi partai akan “tumpul” kalau sudah dihadapkan dengan “kapital” yang gemuk. Demikian juga publik, para konstituen jamak juga yang berprilaku sama pragmatis, “wani piro”. Alih-alih hendak menghasilkan pemilu yang lebih baik, malah melahirkan para medioker. Ini semua terjadi akibat sikap pragmatis, sehingga fungsi saringan oleh Parpol dan masyarakat tidak berjalan sebagaimana mestinya. Seperti yang di katakan oleh Steven Levitsky dan Daniel Ziblat dalam bukunya How Democracy Die.
Di samping itu, para politikus medioker juga bisa lahir dari proses politik yang tidak mementingkan pikiran, gagasan dan dialektika. Karena politik direduksi sebagai alat mendapatkan kekuasaan semata. Sehingga pikiran dan dialektika dianggap hal yang tidak penting. Dianggap berdialektika secara konseptual sebagai OMDO (omong doang) atau NATO (no action talk only).
Medioker juga bisa lahir dari medan politik yang berpandangan bahwa jabatan dan kedudukan semata “pekerjaan”, bukan pengabdian. Kultur yang terbangun reward lebih utama dari obligation (kewajiban). Sepanjang gaji dan tunjangan lancar, no problem. Mau bermanfaat atau tidak, ngak ambil pusing. Wajar jika kemudian masyarakat merasa tidak pernah diwakili oleh elitnya.
Bagaimana sekiranya medioker terjadi di kalangan intelektual atau para akademisi kampus, apa itu mungkin terjadi?. Intelektual yang tidak punya gagasan, karya, inovasi atau tidak punya visi dan misi akademis yang jelas, apa patut disebut intelektual gagal?
Tentu, antara ranah politik dan akademik terdapat banyak perbedaan. Sehingga tidak mudah pula kita mensejajarkan antara keduanya, meskipun hanya sekedar istilah. Ada adagium yang cukup populer, “bagi seorang politikus, bohong itu boleh, asal jangan salah. Sebaliknya, seorang akademisi atau intelektual boleh salah, yang penting tidak bohong”. Adagium ini menjadi semacam batas etis (ethic border) antara kedua dunia ini. Sekaligus juga menjadi semacam code of conduct dan kultur yang dipegang dan dilakoni para penghuninya.
Dalam dunia kampus, para akademisi memiliki setidak tiga ranah pengabdian.(darma) , sebagai intelektual, sebagai peneliti sekaligus juga sebagai pengabdi bagi masyarakat. Istilah intelektual memang bukan monopoli dunia kampus. Karena tidak sedikit intelektual yang tidak hidup dalam habitat kampus. Kemudian juga tidak semua akademisi adalah intelektual, terutama jika dilihat dalam persfektif generik intelektual itu sendiri. Seperti tergambar dalam kasus Alfred Dreyfus di Prancis (1896) dan pembelaan novelis Emile Zola.
Singkatnya Dreyfus dituduh sebagai spionase Jerman oleh militer Prancis. Sehingga Dreyfus dihukum. Namun kemudian muncul Emile Zola menulis propaganda membela Dreyfus dengan berbagai argumentasi, bahwa kasus Dreyfus penuh rekayasa militer Prancis. Emile Zola kemudian ditangkap dan di hukum atas tuduhan mencemarkan nama baik militer. Namun kemudian, tidak sedikit publik yang berada di belakang Zola, sehingga kemudian berhasil menumbangkan rezim yg berkuasa.
Apa yang ditulis Zola kemudian melahirkan manifeste des intellectuels (manifesto para intelektual). Bahwa, intelektual bukanlah konotasi buruk (seperti persepsi para pendukung anti Dreyfus), melainkan sebuah predikat yang mulia. Mulia karena berbuat demi kebenaran, demi masyarakat, meskipun harus menjadi tumbal arogansi kekuasaan.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari DETIKIndonesia.co.id. Mari bergabung di Channel Telegram "DETIKIndonesia.co.id", caranya klik link https://t.me/detikindonesia, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.Penulis | : Eka Hendry Ar |
Editor | : Harris |
Sumber | : |
Halaman : 1 2 Selanjutnya