Istilah intelektual tentu kemudian berkembang dimensi dan muatannya. Kadang menimbulkan padanannya, seperti inteligensia. Hal yang menonjol kemudan adalah kompetensi keilmuannya, meski aspek intelektual generiknya tergerus.
Dengan demikian misi prophetis akademisi hendaknya menjadi intelektual dalam makna generiknya dan penjabaran aktualnya. Meskipun kita sadari bersama itu tidak mudah. Menjadi peneliti (reseacher) bukan hanya pelaku riset, tetapi mampu menginternalisai jiwa riset yaitu teliti, mendalam, objektif, argumentatif dan kebaruan (novelty) dan kejujuran (honesty). Baru kemudian menjadi bagian dari masyarakat dan perubahan. Bukan elitis atau menara gading, yang teralienasi dari masyarakat. Engagement dengan masyarakat dilakukan secara lebih cair, kreatif, inovatif dan solutif.
Dari keseluruhan gambaran di atas, maka jika kita bicara intelektual medioker kriterianya akan semakin tegas. Semua negasi dari tiga ranah pengabdian menjadi karakter dari intelektual atau akademisi medioker. Secara intelektual, akademisi medioker tidak cukup kapasitas keilmuan (low intelectual capacity). Kemudian tidak memiliki tanggung jawab terhadap kebenaran, meskipun sebenarnya mereka tahu tentang hal tersebut. Rendahnya kompetensi keilmuannya terjadi karena berbagai faktor. Diantaranya adalah titik kemapanan keilmuan, merasa sudah cukup puas dengan pengetahuan yang ada. Lemahnya etos kreatifitas dan inovasi, sebagai akibat pragmatisme dalam bidang akademik. Kemudian faktor iklim akademik yang tidak mendukung kompetisi diantara para akademisi.
Kemudian, tidak memiliki tanggung jawab terhadap kebenaran dan keadilan di kalangan akademisi dikarenakan banyak hal. Bisa jadi karena fragmentasi dalam pandangan dunianya sebagai seorang intelektual. Sehingga pandangan dunianya tidak lagi utuh (holistik). Kemudian faktor kooptasi yang kuat oleh kekuasaan, sehingga mematikan “keberanian” akademisi untuk kritis terhadap kebijakan publik. Faktor berikutnya boleh jadi ada upaya sistematis mengkerdilkan fungsi kritis dan fungsi kontrol dunia kampus, dengan berbagai kebijakan yang “memasung” kebebasan akademik.
Ciri intelektual medioker berikutnya adalah berkenaan dengan darma penelitian. Secara formal Intelektual medioker tidak memproduksi hasil-hasil riset secara aktif, apalagi riset-riset yang bermutu. Secara filosofis tidak memiliki jiwa riset (research soul) seperti teliti dalam mengkaji sesuatu, objektif dalam memberikan penilaian (bukan berdasarkan kepentingan dan pesanan), mendalam dalam mengali informasi dan pengetahuan (bukan pengetahuan yang peripheral), berusaha mengeksplorasi kebaruan dalam pengetahuan (novelty), membangun pandangan berdasarkan argumentasi yang kokoh serta menjunjung tinggi kejujuran akademik (honesty).
Kita bisa membayangkan jika para intelektual tidak memiliki karya penelitian dan juga “miskin” jiwa riset dalam fungsi keintelektualannya. Maka peluang untuk lahir intelektual reaktif, emosial, berpikiran picik, partial dan boleh jadi lahir juga para penghianat intelektual (untuk tidak menyebutkan pelacuran intelektual). Pada gilirannya berambisi memperebutkan jabatan, bukan lagi sibuk meningkatkan kualitas diri dan lembaga.
Terakhir terkait dengan pengabdian kepada masyarakat, intelektual medioker adalah sebaliknya tidak memiliki engagement dengan masyarakat, sehingga keberadaannya tidak memiliki arti bagi masyarakat. Bahkan lebih parah lagi, jika intelektual lebih dekat dengan elit yang memberikan manfaat praktis bagi dirinya. Maka wajar, kampus akan teralienasi dan sekaligus tercerabut dari akar masyarakatnya.
Demikian kiranya ilustrasi dari intelektual medioker yang lahir dari rahim perguruan tinggi. Dalam politik para medioker melahirkan politisi dan pemimpin yang gagal, maka medioler di kampus akan melahirkan intelektual atau akademisi gagal.
Tentu saja, jika semakin banyak lahir intelektual medioker di kampus, maka lamban laun akan berimbas kepada reputasi, kewibawaan dan otoritas serta harapan terhadap dunia kampus. Kampus-kampus diisi para intelektual medioker, dipastikan kampus akan lambat berkembang, karena akan dibebani oleh mengurus manusianya, ketimbang kerjanya.
Tulisan ini tidak memberikan solusi, karena solusi terbaik adalah kesadaran pada setiap diri kita. Semoga kita bukan bagian dari intelektual medioker.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari DETIKIndonesia.co.id. Mari bergabung di Channel Telegram "DETIKIndonesia.co.id", caranya klik link https://t.me/detikindonesia, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.
Penulis | : Eka Hendry Ar |
Editor | : Harris |
Sumber | : |
Halaman : 1 2