Padahal yang harus diajak dialog untuk berkompromi bukan Pemda dan juga bukan dengan kelompok separatis buatan TNI/POLRI tapi seharusnya dengan TPN/OPM. Sebab yang bertikai secara militer di Papua dengan TNI/POLRI bukan dengan Pemda atau PDP dan DAP dan LSM sejenisnya. Tapi anehnya selama ini perundingan elit Papua-Jakarta tidak pernah melibatkan kelompok ini.
Karena itu wajar akibatnya kalau kemudian konflik tertus-menerus. Terbukti Otsus yang mulanya diduga meredam potensi konflik separatis, nyatanya terbantahkan oleh aksi-aksi separatisme puncaknya, pemalangan lapangan terbang di Mamberamo raya, pembunuhan misterius di kota Wamena, pembakaran Kampus Uncen, penyerangan Pos Militer di Punjak Jaya, penyerangan rumah Bupati Tolikara, penyerangan Polsek Abepura, penyerangan kampong Slayer Abe Pantai dll.
Eskalasi separatisme Papua dengan aksi-aksi sporadis TPN/OPM menunjukkan separatisme disana tidak pernah bisa padam, sekalipun dengan banyak uang mengalir dari pusat. Otsus Papua yang berarti banyak uang dikucurkan pemerintah pusat tidak menghalangi perjuangan Papua merdeka rakyat Papua untuk berdaulat penuh, malah anasir-nasir separatisme tetap muncul ada.
Otsus Papua demikian sama halnya dengan Aceh diterima dengan syarat oleh PDP. Otsus Papua katanya sebagai hasil kompromi dan itu dianggap oleh kedua kelompok bertikai sebagai jalan tengah dari kebuntuan. Ternyata dugaan itu terbantahkan sendiri oleh banyak fakta sepanjang Otsus berjalan terutama tahun 2008-2009 ini dimana-mana muncul aksi-aksi separatis di sejumlah lokasi wilayah Papua sebagaimana disebut diatas.
Mengapa itu bisa terjadi? Bukankah dengan Otsus orang Papua sudah menerimanya? Harus diingat bahwa Jakarta tidak pernah berkompromi dengan TPN/OPM tapi dengan PDP (Presidium Dewan Papua). Akibatnya sudah pasti konflik tiada henti-hentinya sebagaimana yang terjadi di Aceh. OPM buatan militer dilibatkan dalam penyelesaian persoalan Papua bukan dengan TPN/OPM sesungguhnya. Sampai saat ini letupan-letupan kontak senjata kedua bela pihak terus terjadi di era Otsus tanpa sanggup dihentikan oleh siapapun.
Otsus Bukan Solusi; Otsus bagi TPN/OPM di rimba raya Papua bukan solusi. Serah terima Otsus Papua bukan dengan TPN/OPM sebagai gerakan resmi separatisme. Hanya PDP menerima dengan syarat, tapi kalangan intelektual juga tidak menerima Otsus. Mereka meminta dialog antara Jakarta-Papua dimediasi pihak lain sebagai penengah. Tapi keinginan dialog ditolak Jakarta. Sebaliknya pemerintah berkompromi dengan TPN/OPM buatan militer, walau kelompok kompromistis itu, juga punya potensi menjadi TPN/OPM “benaran”, jika keinginan berkuasa tidak diperoleh.
Oleh sebab itu wajar akibatnya anasir-anasir separatisme belum pernah benar-benar padam. Konflik Aceh dengan melibatkan kelompok GAM sungguhan akhirnya letupan kontak senjata kini tak terdengar lagi. Bentrokan antara TNI/POLRI versus GAM dalam soal sama ujung Barat Indonesia itu bisa dikatakan aman damai. Bahkan Gubernur NAD saat ini adalah Irwandi Yusuf, mantan Panglima GAM.
Otsus Papua dianggap meredam anasir separatisme kenyataan Otsus hanya menimalisir, apalagi sama sekali bukan solusi final sebagai diduga banyak orang. Sebab sejauh ini dan itu tetap, jika penyelesaian konflik TNI/POLRI versus TPN/OPM tidak pernah melibatkan kelompok separatis sesungguhnya. Selama hanya kelompok pro Jakarta, padahal banyak tokoh intelektual Papua eksis mempertahankan idealisme mereka di kampus-kampus. Bagi mereka penyelesaian kasus Papua solusinya adalah pelurusan sejarah, penegakan hukum, Ham dan demokrasi, baru benar ada perundingan perjanjian perdamaian menuju “Papua Zona Damai”. Kalau tidak, bicara soal ‘perundingan’ elit Papua dan pusat, hanya omong kosong.
Kecuali hanya menimalisir anasir-anasir separatisme potensial kaum intelektual dan OPM kota buatan militer Indonesia , bagi TPN/OPM dalam garis perjuangannya jelas, kemerdekaan dan kedaulatan penuh wilayah Papua dari aneksasi Indonesia. Maka selama tuntutan mereka belum dipenuhi Indonesia sepanjang itu jalan itu yang akan mereka ditempuh. TPN/OPM tetap bersama rakyat Papua.
Karena itu wajar perundingan elit Papua-Jakarta tanpa melibatkan mereka (TPN/OPM) dan tanpa kesadaran dialog sepanjang pelanggaran Ham, keadilan ekonomi, tidak ditegakkan maka selama itu pula perjuangan kemerdekaan tetap eksis. Bagi mereka selain dialog antara Papua-Jakarta yang di mediasi pihak internasional belum dipenuhi pusat, sepanjang itu pula TPN/OPM, mahsiswa dan rakyat Papua selalu menyuarakan dan akan meneriakkan yel-yel perjuangan dengan mengangkat issu-issu relevant. Genosida! Jawanisasi! Islamisasi! Pelanggaran HAM! Demokrasi! Dan seterusanya
Ustadz Ismail Asso, Ustadz Ismail Asso, Ketua Umum Forum Komunikasi Muslim Pegunungan Tengah (FKMPT) Papua
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari DETIKIndonesia.co.id. Mari bergabung di Channel Telegram "DETIKIndonesia.co.id", caranya klik link https://t.me/detikindonesia, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.Penulis | : Delvi |
Editor | : Airlangga |
Sumber | : |
Halaman : 1 2