“Kami makan apa kalau harga TBS segitu. Belum biaya panen, ongkos, juga pupuk dan biaya lain,” katanya.
Harga yang anjlok tersebut, kata Sitorus, akibat pemerintah menggantinya dengan berbagai peraturan yang memperberat beban pelaku pasar, memperlambat dan mempersulit pasar.
“Rantai pasar bukannya pulih tetapi malah lumpuhnya semakin panjang dan semakin berdampak luas pada pasar global industri sawit,” ucap dia.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
“Kami para petani terpaksa harus jual rugi justru di saat harga global sedang membaik,” imbuh dia.
Karena itu, JPSN menuntut agar dilakukan normalisasi rantai pasar dengan mencabut DMO-DPO, FO dan pungutan ekspor (PE), menurunkan pajak ekspor atau bea keluar (BK), bubarkan BPDPKS atau huluisasi pungutan BPDPKS berbasis produksi HGU, mandatorikan PTPN sawit untuk penyedia minyak goreng murah dan biodiesel murah.
“Kami juga menuntut penghentian subsidi minyak goreng dan biodiesel dari petani sawit. Kemudian juga perlu diterbitkan peraturan tata cara penghitungan harga TBS petani yang lebih berkeadilan dan berlaku umum untuk seluruh petani sawit tanpa terkecuali, sebagai acuan bagi seluruh petani sawit dan pabrik kelapa sawit,” tutur Sitorus.
Ketua DPD RI, AA LaNyalla Mahmud Mattalitti, akan memperjuangkan aspirasi tersebut. LaNyalla mengarahkan permasalahan tersebut untuk ditindaklanjuti oleh Komite II yang mengurusi bidang perkebunan.
“Saya sepakat bahwa untuk melindungi petani sawit secara keseluruhan, memang seharusnya Pemerintah menerbitkan peraturan yang berlaku umum bagi semua petani dan perusahaan,” tegasnya.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari DETIKIndonesia.co.id. Mari bergabung di Channel Telegram "DETIKIndonesia.co.id", caranya klik link https://t.me/detikindonesia, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.Penulis | : Tim |
Editor | : Fiqram |
Sumber | : Lanyalla Center |
Halaman : 1 2