DETIKINDONESIA.CO.ID, JAYAPURA – Salah satu tokoh di wilayah Walesi, Jayawijaya, Papua Pegunungan, Ustadz Ismail Also menyarankan soal penyelesaian sengketa pembangunan kantor Gubernur Papua Pegunungan di kasawan Distrik Walesi harus secara adat.
Ismail yang berasal dari Suku Asolole itu menjelaskan, bila berbicara soal tanah pembangunan kantor pusat pemerintahan Papua Pegunungan itu, membuat orang-orang sibuk dengan motivasinya, bukan berdasarkan hukum adat Lembah Balim.
Padahal, kehidupan sejarah orang Wita Waya, khususnya masyarakat asli Kabupaten Jayawijaya di Walesi hidupnya berkaitan erat dengan tanah.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Bahkan, sejarah mencatat bahwa untuk memperoleh tanah di wilayah yang akan dibangun kantor Gubernur Papua Pegunungan, terjadi perang antar suku masyarakat di Walesi yang memakan korban.
“Jadi untuk menyelesaikan persoalan tanah pembangunan kantor Gubernur Papua Pegunungan ini harus dibicarakan sesuai tata cara adat masyarakat setempat,” ungkap Ismail kepada Tribun Papua.com melaui pesan Whatsapp, Jumat (13/10/2023).
Menurut Ismail, perolehan wilayah kekuasaan dan tanah, khususnya tanah keramat atau perlintasan leluhur, disimbolkan dengan batas sungai, gunung, batu dan pohon yang bertumbuh di sana.
Sedangkan perolehan perluasan wilayah dilakukan lewat perang suku, karena menurut Asso, khusus tanah hibah ke negara lokasi di Ilyoagec Ima Walesi, tak lepas dari dua hal penting.
“Siapa pemilik tanah paling bawah sebagai tanah keramat perlintasan, nenek tanah siapa di situ sebagai pemilik sah sesungguhnya,” terangnya.
“Jadi marga apa, honai mana, masuk dalam konfederasi perang suku di dalam suku apa, ini yang pertama,” sambung dia.
Dijelaskan Ismail berdasarkan Tugi Mugu, secara umum wilayah Walesi luas dan didiami lima suku.
Kelima suku itu saling mendukung dalam berperang mempertahankan wilayah dan merebut di dalamnya.
“Di situ ada tanah, lahan kebun dan kini mau dijadikan sebagai lokasi pembangunan kantor Gubernur Papua Pegunungan,” jelasnya.
Persoalan sengketa lahan menjadi panjang, maka itu perlu diberikan stimulus sebagai pintu masuk untuk mengkaji kembali tatanan hukum adat lembah.
“Perlu saya memberikan catatan ini sebagai dasar pijakan yaitu lima kepala suku Walesi wajib meletakkan dasar persoalan pada budaya hukum adat yang sesungguhnya”.
“Jadi siapa yang bicara apa, yang diberi mandat wilayah adat dengan wilayah itu sebagai batas wilayah perang,” imbuh Ismail.
Kata Ismail, seperti Tugi Mugi ada di mana, siapa yang berhak bicara, dan lima kepala suku Walesi harus duduk bersama menuntasan persoalan tersebut.
“Istilah Tugi Mugu, O Honai Ki Werek,” jelasnya.
Kepada Kepala Suku Wilayah Yohanes Yelipele, Ismail juga meminta agar ia berbicara atas dasar adat ‘Wenj Oak Owa sa ane usak meke’.
Hal ini perlu diselesaikan, karena terkair mengapa Wapres Ma’ruf mendadak ke Wamena meletakan batu pertama pembangunan kantor tersebut.
“Ini harus tuntas karena selain menghindarkan kita dari bahaya hukum adat bagi anak cucu,” pungkas Ismail.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari DETIKIndonesia.co.id. Mari bergabung di Channel Telegram "DETIKIndonesia.co.id", caranya klik link https://t.me/detikindonesia, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.Penulis | : TIM |
Editor | : Yuli |
Sumber | : TRIBUN-PAPUA.COM |