Padahal, negara ini ada dan lahir karena adanya rakyat, bukan karena partai politik. Dan Partai politik baru masuk ke dalam sistem tata negara berdasarkan Maklumat Wakil Presiden Mohammad Hatta pada 3 November 1945.
“Inilah salah satu kecelakaan amandemen konstitusi 2002 silam,
yang memberi ruang terlalu besar kepada partai politik. Sehingga yang terjadi adalah hegemoni partai menjadi tirani baru, yang bekerja dengan pola zero sum game, di mana rakyat pada posisi yang kalah telak,” papar LaNyalla.
Oleh karenanya, di berbagai kesempatan LaNyalla selalu mengatakan jika demokrasi di Indonesia sejak amandemen telah berubah arti, karena bukan lagi; ‘dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat’, tetapi telah berubah menjadi; ‘dari rakyat, oleh partai,
dan untuk kekuasaan’.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Sementara DPD RI, sebagai peserta pemilu perseorangan, yang
merupakan representasi daerah, tidak memiliki kewenangan yang cukup
kuat dalam konstitusi.
“Sehingga praktis, unsur non-partisan atau kelompok non partai politik tidak memiliki ruang yang cukup di Senayan. Sangat berbeda dengan sistem yang dibentuk para pendiri bangsa kita, di mana di dalam MPR sebagai Lembaga Tertinggi, saat itu terdiri dari anggota DPR, utusan daerah, dan utusan golongan,” urai LaNyalla.
Itu pun masih ditambah Fraksi ABRI, yang terdiri dari TNI dan Polri. Sehingga kedaulatan rakyat bukan hanya dimandatkan kepada politisi saja, tetapi
juga digawangi oleh utusan daerah, golongan-golongan dan TNI.
Kemudian semua komponen itu, menyusun arah perjalanan bangsa
melalui GBHN. Mereka juga mengajukan dan kemudian memilih presiden dan wakil presiden sebagai mandataris MPR untuk
menjalankan GBHN yang telah disusun.
“Sehingga presiden menjadi mandataris rakyat, alias petugas rakyat, bukan petugas partai. Ini sistem asli perwakilan dan permusyawaratan yang dibentuk oleh pemikiran luhur para pendiri bangsa kita. Sistem yang sesuai dengan watak dan DNA asli bangsa Indonesia,” tutur LaNyalla.
Namun, kata LaNyalla, kemudian kita memutuskan menjadi bangsa lain. Menjadi bangsa-bangsa barat, yang menggunakan demokrasi pemilihan langsung sebagai demokrasi prosedural.
“Menang-menangan angka. Dan rakyat adalah angka-angka itu. Dan rakyat hanya memiliki ruang evaluasi 5
tahun sekali melalui pemilu.
Nah, celakanya ruang evaluasi rakyat itu akan ditunda juga oleh partai politik,” demikian LaNyalla.
Penulis | : Tim |
Editor | : Harris |
Sumber | : |
Halaman : 1 2