Oleh: Indra J Piliang (Pengurus Himpunan Mahasiswa Islam Cabang Depok 1995-1997)
1995. Saya memutuskan maju dalam Pemilihan Raya Calon Ketua Senat Mahasiswa Universitas Indonesia (SMUI). Dukungan terhadap saya datang dari kalangan ikhwan Fakultas Sastra UI, Teater Sastra UI, Kelompok Studi Mahasiswa UI, Surat Kabar Kampus Warta UI, hingga Majalah Suara Mahasiswa UI. Campaign Manager (CM) Tingkat Pusat saya bernama Rifky Mochtar, mahasiswa Jurusan Fisika FMIPA UI Angkatan 1991.
Nah, selain aktif dengan seabrek jabatan di organisasi intra kampus, Rifky juga menjabat Ketua Umum Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Depok. Bukan hanya Rifky, tetapi juga saya, Mohammad Qodari (Ketua Umum KSM UI), Indra Kusuma (Ketua Senat Mahasiswa Fakultas Hukum UI), Rudi Kurniawan (Metalurgi 91, pernah menjadi Ketua Umum Pemuda Panca Marga DKI Jakarta), Deddy Fezantino dan Rama Pratama (Fakultas Ekonomi UI), Madarremeng A. Panennungi (Ketua BPM FEUI) yang kemudian digantikan Kun Nurachadijat, Agung Pribadi (Formasi FSUI), dan lain-lain.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Pendek kata, saya berhadapan dengan (almarhum) Kamaruddin, ikhwan satu liqo dengan saya. Ikhwan versus Ikhwan, Salawat Badar versus Salawat Badar.
Hanya saja, perbedaan penerimaan berbeda-beda di kalangan aktivis. Kelompok In Depth yang dimotori Budi Arie Setiadi (Muni) yang semula hendak mendukung saya, ternyata memilih abstain. Muni bilang ke saya, “Ini ikhwan versus HMI”. Sedihnya, Pengurus Besar PB HMI sendiri ternyata tidak mendukung saya, diwakili oleh suara Ramdansyah dan Nurul Isnaeni: “Indra itu bukan HMI murni. Dia ikhwan fillah.” Saya nerasa tidak “dikhianati” oleh PB HMI yang waktu itu dipimpin oleh Anas Urbaningrum. Kehadiran Anas dalam Latihan Kader II HMI Cabang Depok dengan Ketua Organizing Committee Berly Martawardaya begitu mengesankan saya. Saya baru marah besar dan “menghitamkan” PB HMI, ketika keterpilihan Rifky Mochtar sebagai Ketua Badko HMI Jabar, dibekukan oleh PB HMI. Sampai tamat kuliah, saya pantang menginjakan kaki ke PB HMI.
Anas, sejak mahasiswa, sudah berhasil mendinginkan hati saya. Dan barangkali, ribuan aktivis mahasiswa lain yang berlatar belakang HMI. Datang dari Universitas Jember, Jawa Timur, Anas berhasil “menggulingkan” calon-calon Ketua Umum HMI lain yang lebih dekat dan lekat dengan kalangan senior yang berada dalam lingkaran kekuasaan: Jakarta Raya. Sekalipun tak banyak ikut cawe-cawe dengan segala urusan “politik” pemilihan Ketua Umum PB HMI itu, kami yang merasa lebih kental berada di ranah akademis dan profesional, tentu merasa lebih terwakili. Cengkok atau nada bicara Anas pun berbeda dengan kalangan HMI yang kami kenal yang berakar Partai Masyumi. Lidah Anas lebih medog dan bernuansa Nahdatul Ulama, ketimbang kami yang terasa sekali Islam perkotaannya.
Manakala kampus UI pindah ke Depok, akar tunjang HMI memang tak dalam. Butuh waktu, tenaga, dan beragam bentuk upaya bagi HMI guna mendapatkan kader. Hampir semua mengalami, apalagi saya yang merasa tak cocok dengan organisasi ekstra kampus manapun. Akan tetapi, pengalaman itu ternyata kolektif. Kalau boleh berterus terang, nama-nama yang saya sebut tadi, lebih dibentuk dalam pergaulan dan perkawanan di tubuh Kelompok Studi Mahasiswa UI Eka Prasetya. KSM UI memiliki hari krida di Pusgiwa UI, punya program Latihan Dasar Kader, Public Relation, presentasi makalah, hingga riset-riset jarak dekat dan – terutama – jarak jauh. Walau Rifky, Rudi, Inkus, dan saya berasal dari Angkatan 91, justru tak berasa berat dipimpin oleh Mohammad Qodari yang angkatan 1993, pun Desmawati pada masa reformasi.
Sikap itu tak terlepas dari keberadaan senior kami di KSM UI, yakni Chandra M Hamzah, Nadia Madjid, Kholid Novianto dan Didik Pradjoko. Mereka HMI, tetapi mereka adalah simbol dari kalangan mahasiswa yang tak sekadar sibuk dengan buku, biji karet, dan Pusgiwa UI yang bak kuburan. Penelitian yang digelar KSM UI di daerah-daerah pelosok, berhasil membuat jarak yang pas atas peranan apa yang kami lakukan, sekalipun nanti masuk organisasi ekstra kampus yang “ideologis” seperti HMI. Pihak yang bisa “menguliti” sosok-sosok hebat dan tangguh seperti Fahmi Idris dan Ekky Syahruddin dari Angkatan 1966, tentu junior-junior mereka yang ada di HMI juga.
Anas, dalam perjalanan hidup setelah tidak lagi menjabat sebagai Ketua Umum PB HMI, juga berhasil menjaga jarak yang tepat kepada seluruh penjuru dan tarikan politik jangka pendek. Anas terlibat dalam penyusunan paket undang-undang politik yang baru, lalu menjadi komisioner Komisi Pemilihan Umum. Ketika kasus korupsi menyasar apa yang saya tulis waktu itu sebagai “kaum cendekiawan” Indonesia, Anas sama sekali tak terlibat. Mulyana W Kusumah, Nazaruddin Syamsuddin dan Daan Dimara adalah sejumlah nama yang digelandang Komisi Pemberantasan Korupsi. Sikap saya waktu itu begitu sinis kepada kinerja KPK, walau seringkali datang dan ikut dalam pembahasan sejumlah kerangka aturan baru.
Dalam sebuah kesempatan diskusi yang diadakan Blora Center yang diampu oleh Yon Hotman almarhum, Anas menjadi tandem pembicara dengan saya. Saat itu, saya ajukan argumen betapa Anas sudah sangat matang masuk partai politik, yakni Partai Demokrat. Bersama Jusuf Rizal, saya hadir di Bali memantau dari dekat Kongres Partai Demokrat. Aktivitas saya selain menulis artikel dan kolom di koran-koran nasional, pun jadi peneliti, banyak menyusun, membentuk, melatih, dan melantik sejumlah organisasi, termasuk Lumbung Informasi Rakyat. Kedekatan Blora Center dengan Partai Demokrat, terkhusus dengan Menteri Sekretaris Negara sudah pernah dikatakan almarhum Munir kepada saya. Adagium “Jadilah ikan di laut, sekalipun air laut asin, ikan tidak ikutan asin,” menampar banyak wajah aktivis.
Tidak kurang dari Jeffrie Geovanie yang menyarankan saya bergabung dengan Partai Demokrat. Begitupun Anas, langsung menawarkan nomor urut satu di daerah pemilihan manapun. Itu setelah Anas terpilih jadi Ketua Umum Partai Demokrat. Saya menyempatkan diri hadir dalam acara kampanye yang dihelat kubu Anas, hingga Anas terpilih. Saya tetap merasa sebagai seorang peserta Latihan Kader Tingkat Madya. Memang, selama beberapa tahun, kehadiran saya sebagai pembicara atau pemberi materi dalam latihan kader HMI di seluruh Indonesia tercatat nomor dua terbanyak setelah Anas. Bahkan, sekretaris pribadi saya terpilih menjadi Ketua Umum KOHATI dalam Kongres HMI di Makassar. Mau pesertanya Cuma 5 atau 6 orang di pelosok yang jauh, baik di Sumatera, Kalimantan, hingga Maluku Utara, saya sempatkan hadir.
Bagi saya, jauh lebih terhormat masuk Partai Golkar yang dipenuhi oleh banyak tokoh. Ketika 200-an aktivis melepas “kepergian” saya dari seorang pengamat menjadi seorang politisi di Universitas Paramadina, Anas tidak sempat datang. Anies Baswedan, Effendi Ghozali, Andrinof Chaniago, Chandra M Hamzah dan Nurul Arifin antara lain yang memberikan sambutan. Bagi saya, sekalipun Partai Golkar bagian dari pemerintah, tetap ada “jarak” yang dijaga. Kolektivitas dalam tubuh Partai Golkar yang membuat saya merasa lebih cocok untuk belajar, selain tentunya senioritas. Partai Demokrat, bagi saya, adalah simbol istana. Sebagai penulis yang aktif melakukan kritik, tentu tak elok saya bergabung.
Salah seorang politisi yang sempat saya sodorkan kepada Anas adalah Nova Riyanti Yusuf. Anas senang becanda dengan saya, termasuk soal Noriyu. Tetapi toh kemudian Noriyu berhasil duduk sebagai legislator dan melakukan pekerjaan yang paling dirindukan seorang legislator: menubuhkan ilmu yang dipelajari dalam bentuk undang-undang. Saya termasuk bangga dengan kiprah Noriyu terkait dengan Undang-Undang Kesehatan Jiwa.
Setelah saya hanya meraih suara 26.599 dan kalah dari Nudirman Munir, saya terus aktif di dalam tubuh Partai Golkar. Dipercaya sebagai Ketua Balitbang DPP Partai Golkar, saya tentu gemar melakukan pekerjaan di daerah-daerah. Berbulan-bulan saya berada di Kalimantan dan Sumatera, terutama menjadi Juru Kampanye Nasional Partai Golkar. Dari kejauhan, saya melihat Anas melakukan pekerjaan sulit, terutama terkait dengan kasus Bank Century. Sebagai Ketua Fraksi Partai Demokrat, Anas langsung berada pada titik episentrum gempa politik yang bisa berbuah pada apapun, termasuk impeachment terhadap Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Lalu, muncullah petaka itu, kasus hukum yang melilit Anas. Saya berusaha hadir sedekat mungkin dengan dirinya. Hanya saja, saya sedang melakukan pengembaraan yang lain, yakni melawan keputusan Partai Golkar yang tak mencalonkan saya atau kader Partai Golkar sebagai Calon Walikota Pariaman. Padahal, Partai Golkar mampu maju sendirian. Saya katakan kepada Ketua Umum Partai Golkar, Bang Aburizal Bakrie, bahwa saya bisa melakukan gugatan hukum. Bagi saya, keputusan hanya menempatkan kader Partai Golkar sebagai Calon Wakil Walikota adalah pelanggaran terhadap Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Partai Golkar. Atas restu Bang Ical, saya akhirnya maju lewat jalur independen. Kalau ada kader lain, sudah pasti dipecat.
Anas datang, setelah lama berpuasa berbicara, setelah ditetapkan sebagai tersangka, ke Kota Pariaman. Anas berpidato de depan sekitar 4.000 orang massa kampanye puncak saya. Pidato terbaik yang pernah saya dengan dari Anas. Sangat bergelora. Anas mampu membuat massa histeria. Ribuan orang itu akhirnya menangis, ketika saya melantunkan lagu “Suci Dalam Debu.” Kampanye yang saya hadirkan di Kota Pariaman tercatat sebagai kampanye paling legendaris, ditulis dalam sejumlah skripsi, tesis, dan disertasi. Dan Anas sebagai “hidangan” penutup yang tak disangka publik. Sejumlah intel kepolisian, terlihat menyusup di tengah massa. Saya membisikan, setelah itu Anas sudah pasti ditangkap dan ditahan.
Tapi kekhawatiran saya tak terbukti. Anas hadir di Kota Pariaman pada 29 Agustus 2013. Anas baru ditahan pada 10 Januari 2014. Berhubung dapat sanksi Partai Golkar, saya tidak dicalonkan pada tingkat pemilihan legislatif manapun. Tapi, saya tetap setia dan bersemangat berkeliling kemanapun, berkampanye. Saya yakin, efek elektoral pencalonan saya di Kota Pariaman yang meraih posisi suara terbanyak ketiga dari tujuh pasang calon akan hadir setelah itu. Sekaligus, saya berhasil membuktikan bahwa calon bukan kader yang diusung Partai Golkar kalah. Hasil Pemilu 2014 pun menunjukkan bahwa Partai Golkar menang di Kota Pariaman dan Kabupaten Padang Pariaman, ketika secara nasional, termasuk di Sumatera Barat, terpuruk. Bisa dikatakan sejak mulai mencari KTP di Kota Pariaman hingga Pemilu 2014, saya sama sekali tak berhenti. Pantang bagi saya berdiam diri.
Setiap kali berada di Jakarta, saya hadir dalam sidang-sidang Anas. Kadang, membawakan buku. Setelah incrach, saya juga sempat berkunjung ke Penjara Suka Miskin, Bandung, dua kali. Sempat berfoto di dalam, namun tak pernah saya publikasikan, guna menghormati aturan penjara. Setiap kali bertemu, Anas tak pernah berubah, setiap kali saya bertemu dengannya. Seorang guru, sahabat, dan bisa jadi saudara yang sangat dekat dengan saya. Ketika saya terkena kasus penyalahgunaan narkotika di kampung halaman sejak muda, Mangga Besar, Anas menulis kalimat yang sangat menitikkan airmata.
Terdapat sejumlah sahabat yang tetap setia menunggu Anas, ketika Anas dipenjara. Satu saya kenal sejak lama, tahun 1993, yakni Andi Soebijakto. Saat menjadi delegasi Senat Mahasiswa Universitas Indonesia bersama Ketua Harian SMUI Bagus Hendraning dan Ketua Bidang Olahraha Ferry Irawan, Andi Soebijkato adalah Ketua Senat Mahasiswa Universitas Brawijaya. Koperasi Mahasiswa Unibraw adalah juara nasional antar kampus. Saya banyak belajar juga, soalnya juga dipercaya menjadi pengawas Koperasi Mahasiswa di Fakultas Sastra UI. Selain Andi dan Bagus, hadir juga Elan Satriawan, Ketua Senat Mahasiswa Universitas Gajah Mada, Ikhwan Situmeang dari IKIP Malang, dan sejumlah kampus lain. Dalam kesempatan berikut, saya kembali hadir di Universitas Brawijaya dalam kapasitas sebagai Sekretaris Jenderal Ikatan Himpunan Mahasiswa Sejarah Indonesia (1995-1997). Terdapat pertemuan antara Ikatan Organisasi Mahasiswa Sejenis (IOMS) di Unibraw, seperti Ikatan Mahasiswa Hukum Indonesia, Ikatan Mahasiswa Perikanan, dan ISMEI. Kami menandatangani sejumlah dokumen kerjasama.
Bisa dikatakan, sejak saat itu, saya berhubungan dengan Andi, Ikhwan, dan aktivis senat mahasiswa perguruan tingi lain. Kebiasaan saya, berkirim surat. Nah, ketika nama-nama itu hadir dalam pentas aksi mahasiswa seperti aksi 1998, saya langsung tahu bahwa Kusfiardi ternyata belum lulus dan menjadi Ketua Senat Mahasiswa Universitas Islam Yogyakarta, begitu juga Ketua Senat Mahasiswa Universitas Sam Ratulangie. Kebiasaan saya mengumpulkan para aktivis berlanjut ketika bekerja di Centre for Strategic and International Studies (CSIS) dan Yayasan Harkat Bangsa. Tentu saja, saya terus mengikuti jejak langkah kawan-kawan aktivis mahasiswa.
Andi Soebijakto ternyata ikut menjadi pengurus Partai Demokrat, lalu mundur bersamaan dengan status tersangka Anas. Andi juga menjadi pengurus organisasi kemasyarakatan yang didirikan oleh kawan-kawan Anas, begitupun saya. Ketika Anas menjalankan tapabratanya, Andi saya lihat juga menjadi sosok yang dikenal suka didatangi para junior di rumahnya. Tak mungkin hanya sekadar hubungan antara orang Malang dan orang Jember, atasu sesama Jawa Timur, kalau melihat kesetiaan yang ditunjukkan Andi. Saya sendiri tak tahu persis, apakah Andi anggota HMI atau bukan. Yang jelas, dia tokoh mahasiswa intra kampus. Unibraw adalah kampus terbesar di Jawa Timur.
Satu contoh lagi, Marzul Veri, aktivis mahasiswa Universitas Andalas, Padang, Sumatera Barat. Saya baru kenal tokoh ini, setelah Uda MV menjadi Ketua DPD KNPI Sumatera Barat, Ketua KPU Sumatera Barat, dan makin dekat ketika menjadi Ketua Tim Pemenangan Jusuf Kalla – Wiranto dalam Pemilihan Presiden 2009. Ternyata, MV tak begitu baik berhubungan dengan kader-kader HMI asal Sumbar yang menjadi Ring 1 saya, seperti Revi Masta Dasta dan Romeo Pernando. Tidak tahu saya, apa masalahnya. Dan saya juga tidak mau tahu. Yang jelas, hubungan saya sangat baik dengan MV, termasuk dan terutama yang berkaitan dengan masalah-masalah di Sumbar.
MV juga setia bersama Anas. MV setahu saya, bahkan memilih berpuasa tawaran jabatan ini itu, sehingga lebih sering bertemu postingnya lagi duduk di lapau atau kedai diskusi yang mana. Entah buluh perindu apa yang sudah ditanam Anas di dalam diri MV, sehingga sosok yang sempat dianggap rada keras dan bahkan angkuh ini, bertahun-tahun terlihat seperti kuda-kuda asal luar negeri yang diternakkan dan dipelihara di kampung masa kecil saya, Aie Angek. Kalau hanya untuk mendapatkan tempat dalam organisasi nasional manapun, modal MV lebih dari cukup. Tetapi ia seakan tak punya minat.
Dua nama itu hanya contoh. Ada ribuan yang lain yang bukan sekadar nama orang biasa, tetapi sudah merintis jalur aktivis sejak usia belia. Nama-nama yang bisa jadi sudah menjadi legenda di area mereka masing-masing. Tanpa Anas pun, mereka adalah sesuatu. Mereka bisa muncul kapan saja, menjadi kuda hitam dalam pergumulan apapun, baik di ranah politik, ilmu pengetahuan, bisnis, hingga pemerintahan. Kuda-kuda hitam yang jiga berkumpul serempak, bakal membuat langitpun menjadi hitam pekat.
Anas? Adalah kuda putih yang hadir di antara kerumunan kuda-kuda hitam itu. Kuda yang sangat hebat di dedaunan sabana yang menghijau. Mereka setia menunggu satu sosok yang sudah dicuci seluruh perkara dunianya dengan hukuman penjara, biar makin menyala dalam legam geliat masing-masing. Anas tidak mengancam siapa-siapa, justru orang-orang yang setia menunggu bertahun-tahun di luar penjara Suka Miskin, sambil menahan diri, adalah ancaman yang sebenarnya. Dan akan kemana keseluruhan energi itu? Bulan Ramadhan sudah membuka tabir itu. Ahlan wa sahlan. Mohon Maaf Lahir dan Batin.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari DETIKIndonesia.co.id. Mari bergabung di Channel Telegram "DETIKIndonesia.co.id", caranya klik link https://t.me/detikindonesia, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.Penulis | : Indra Jaya Piliang |
Editor | : Mufiik |
Sumber | : |