“Tetapi amandemen dengan membongkar total arah dan wajah bangsa adalah kecelakaan. Jika dibandingkan dengan amandemen yang dilakukan di Amerika Serikat dan India, maka Amandemen di Indonesia adalah paling brutal dan masif,” tegas LaNyalla.
Konstitusi asli Amerika Serikat terdiri dari 4.500 kata. Lalu dilakukan
Amandemen 27 kali yang hanya menambah 2.500 kata. Konstitusi India terdiri lebih dari 117.000 kata, dilakukan amandemen 104 kali, hanya menambah 30.000 kata.
“UUD 1945 asli sekitar 1.500 kata, dilakukan amandemen empat tahap menjadi 4.500 kata, yang secara substansi juga berbeda dengan
aslinya. Artinya, terjadi perubahan besar-besaran dan tidak dilakukan dengan cara adendum,” beber LaNyalla.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Hasilnya, sejak saat itu partai politik menjadi penentu tunggal arah perjalanan bangsa ini. Partai politik menjadi satu-satunya instrumen untuk mengusung calon pemimpin bangsa ini. Dan hanya partai politik melalui fraksi di DPR RI yang memutuskan Undang-Undang yang
mengikat seluruh warga negara untuk tunduk dan patuh.
“Sebaliknya, DPD RI sebagai wakil dari daerah, wakil dari golongan-golongan, wakil dari entitas-entitas civil society yang non-partisan tidak memiliki ruang dalam menentukan wajah dan arah perjalanan bangsa ini,” ulasnya.
Faktanya, sejak amandemen saat itu hingga hari ini, entitas civil society non-partisan terpinggirkan. Semua simpul penentu perjalanan bangsa ini direduksi hanya di tangan partai politik tanpa second opinion dan tanpa reserve.
“Inilah yang kemudian menghasilkan pola the winner takes all. Partai-partai besar menjadi tirani mayoritas untuk mengendalikan semua keputusan melalui voting di parlemen,” urai LaNyalla.
Dikatakannya, produk hukum, apapun itu, termasuk konstitusi atau Undang-Undang, sesuai sifatnya, “Lex Semper Dabit Remedium”, artinya bahwa hukum harus selalu memberi obat. Bukan sebaliknya, memberi penyakit atau persoalan.
“Kita semua tahu, ada beberapa Undang-Undang yang lahir atas pesanan sponsor. Apakah sponsor pemberi pinjaman dari luar negeri atau sponsor oligarki yang menguasai kekayaan sumber daya alam,” ungkap LaNyalla.
Menurutnya, kita juga sering mendengar kritik keras tersebut dari para akademisi dan pengamat. Tetapi tetap saja Undang-Undang tersebut lahir, meskipun ada yang berujung dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi, tetapi tidak sedikit yang terus berlaku.
Bahkan, ada juga yang dikatakan oleh Mahkamah Konstitusi sebagai open legal policy. Artinya tetap sah, karena merupakan wewenang pembentuk Undang-Undang.
Singkatnya, hal ini menunjukkan kepada kita adanya kepentingan kelompok tertentu yang diakomodasi oleh pembentuk Undang-Undang.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari DETIKIndonesia.co.id. Mari bergabung di Channel Telegram "DETIKIndonesia.co.id", caranya klik link https://t.me/detikindonesia, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.Penulis | : Tim |
Editor | : Harris |
Sumber | : |
Halaman : 1 2