Oleh karena itu, LaNyalla mengaku tidak heran juga dengan pernyataan Menkopolhukam Mahfud MD bahwa Demokrasi di Indonesia sedang dalam kondisi tidak baik.
Demokrasi di Indonesia, khususnya Pemilihan Kepala Daerah langsung, dan juga Pemilihan Presiden langsung, menjadi sangat mahal. Dan hanya menghasilkan pemimpin yang tersandera oleh cukong atau bandar yang membiayai.
“Seperti kita ketahui presidential threshold atau ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden diatur dalam Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Pasal tersebut mewajibkan partai politik yang dapat mengajukan pasangan Capres dan Cawapres harus memiliki 20 persen kursi di DPR RI, atau 25 persen suara sah nasional. Juga diharuskan menggunakan basis suara dari Pemilu 5 tahun sebelumnya,” ucap dia.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Menurut LaNyalla, hampir semua akademisi atau pakar tata negara menyimpulkan pasal tersebut merugikan bangsa dan tidak derivative dari Pasal 6A Konstitusi kita.
“Pasal itu pun memaksa Koalisi yang besar, di sinilah terjadi proses pertemuan antara Oligarki Ekonomi dan Oligarki Politik untuk mengatur dan mendisain siapa pemimpin nasional yang akan mereka mintakan suara dari rakyat melalui Demokrasi Prosedural yang kita sebut sebagai Pilpres,” tuturnya.
“Oligarki Ekonomi akan menawarkan untuk membiayai semua proses itu. Mulai dari biaya membangun koalisi partai, hingga biaya pemenangan dalam proses Pilpres,” imbuh dia.
Oligarki ekonomi dan oligarki politik yang menyatu dan mendisain pemimpin nasional, lanjutnya, akan menyandera kekuasaan untuk berpihak kepada kepentingan mereka. Sehingga, oligarki ekonomi semakin membesar dan rakus menguras kekayaan negeri ini. Akibat kerakusan itu menimbulkan kemiskinan struktural yang dipicu oleh ketidakadilan yang melampaui batas.
“Jadi menurut saya, persoalan bangsa ini bukanlah soal pemerintah hari ini. Atau soal Presiden hari ini. Tetapi adanya kelompok yang menyandera kekuasaan untuk berpihak dan memihak kepentingan mereka. Dan peluang ini dipayungi dan dibuka oleh Pasal 222,” paparnya.
Sayangnya, meski Pasal tersebut telah digugat untuk dilakukan Judicial Review puluhan kali ke Mahkamah Konstitusi, tetapi semua gugatan tersebut ditolak oleh Mahkamah Konstitusi.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari DETIKIndonesia.co.id. Mari bergabung di Channel Telegram "DETIKIndonesia.co.id", caranya klik link https://t.me/detikindonesia, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.Penulis | : Tim |
Editor | : Fiqram |
Sumber | : Lanyalla Center |
Halaman : 1 2