“Kita masih menyaksikan bagaimana sejumlah daerah di Indonesia menghadapi permasalahan-permasalahan yang hampir sama. Mulai dari kemiskinan, ketimpangan antar wilayah, hingga sumber daya daerah yang terkuras tanpa rasa keadilan bagi daerah,” tegas LaNyalla.
Termasuk juga bencana akibat kebijakan yang tidak memperhatikan kebutuhan ekologi dan lingkungan.
Ini semua dilihat dan didengar sendiri sendiri oleh LaNyalla selama ia berkeliling Indonesia sejak dilantik menjadi Ketua DPD RI pada Oktober 2019.
“Rasa keadilan semakin terusik, ketika kita mengetahui ada segelintir orang yang menguasai dan menumpuk kekayaan dengan berlebihan, menguasai sektor usaha dari hulu sampai hilir. Sehingga bisa dikatakan bahwa Indonesia hari ini adalah negara bercirikan kapitalis liberal,” tutur dia.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Mengapa ini bisa terjadi? LaNyalla menilai karena konstitusi dan perundangan kita memberikan peluang untuk terjadinya hal itu. Terutama bila kita mencermati pasal demi pasal yang ada di Undang-Undang Dasar hasil Amandemen di tahun 1999 hingga 2002 silam.
“Di mana kita sadar atau tidak, dengan dalih efisiensi, sudah banyak cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak kita serahkan kepada mekanisme pasar. Padahal cita-cita para pendiri bangsa sama sekali bukan itu,” tegas LaNyalla.
Para pendiri bangsa kita sangat sadar dengan sejarah kolonialisme penjajah dan VOC. Sehingga mereka melahirkan sistem ekonomi yang dikelola dengan azas kekeluargaan atau kita kenal dengan sistem Ekonomi Pancasila.
Di mana dimaksudkan, kekayaan Sumber Daya Alam (SDA) negeri ini harus dikelola dengan prinsip kekeluargaan dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
“Negara harus hadir untuk
memastikan itu. Caranya dengan memisahkan dengan jelas antara koperasi atau usaha rakyat, BUMN dan swasta, namun tetap berada di dalam struktur bangunan ekonomi Indonesia,” papar dia.
Katanya, negara wajib hadir memberikan ruang koperasi kepada rakyat yang tidak punya akses modal dan teknologi.
“Sehingga rakyat berdaya secara ekonomi di daerah masing-masing. Mereka diberi hak mengorganisir dirinya sendiri untuk mendapatkan keadilan ekonomi. Negara menjaga dengan pasti agar BUMN dan swasta yang punya modal dan teknologi tidak masuk ke ruang itu,” beber LaNyalla.
Sebagai contoh, jika ada wilayah tambang yang bisa dikerjakan rakyat secara terorganisir melalui koperasi, maka BUMN dan swasta tidak boleh masuk. Dengan demikian akan menjadi lokasi pertambangan rakyat.
Begitu pula dengan sektor-sektor yang lain, apakah pertanian, peternakan atau perikanan dan perkebunan. Selama rakyat melalui koperasi mampu mengelola, negara harus menjamin.
“Bahkan negara harus membantu akses permodalan dan teknologi atau meminta BUMN sebagai bapak angkat. Inilah yang disebut dengan Ekonomi Gotong Royong atau Ekonomi Pancasila,” imbuhnya.
Itulah menurut LaNyalla cita-cita para pendiri bangsa yang telah melahirkan karya agung berupa Pancasila dan Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945
sebagai pedoman utama pembangunan negeri ini.
“Oleh karena itu, DPD RI akan memperjuangkan adanya koreksi atas sistem tata negara dan arah perjalanan bangsa ini melalui agenda amandemen konstitusi perubahan ke-5 yang kini tengah menjadi agenda MPR RI,” demikian LaNyalla.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari DETIKIndonesia.co.id. Mari bergabung di Channel Telegram "DETIKIndonesia.co.id", caranya klik link https://t.me/detikindonesia, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.Penulis | : Tim |
Editor | : Harris |
Sumber | : |
Halaman : 1 2