Membangun Diskursus Rasional Demokrasi

Minggu, 24 September 2023 - 09:36 WIB

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Oleh: Nasarudin Sili Luli – Direktur Eksekutif NSL Consultant Political Strategic Campaingn

Kekuatan argumen yang bersandar pada rasionalitas merupakan roh bagi demokrasi, kata filosof kenamaan asal Jerman, Jürgen Habermas. Prinsip dasarnya, kata Habermas, kekuasaan dalam sistem demokrasi mendapatkan legitimasi ketika semua keputusan yang diambil lolos uji dalam diskursus publik sehingga dapat diterima secara intersubjektif oleh semua warga negara.

Hal tersebut mengandaikan adanya warga negara yang rasional, cerdas, dan argumentatif dalam menguji dan memperbincangkan keputusan-keputusan pemerintah. Jadi dalam praksis demokrasi, terjadinya diskursus (adu argumentasi yang sehat dan objektif) dan tersedianya warga negara yang rasional dalam melahirkan diskursus merupakan prasyarat bagi operasionalisasi tatanan demokrasi yang sehat.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Lalu, ruang publik adalah tempat semua kebijakan diuji oleh warga negara, dalam arti pasif. Dalam arti aktif, warga negara dengan kekuatan rasio/nalar dan argumentasi, juga bisa menyodorkan opini dan program kepada pemerintah melalui saluran demokrasi yang tersedia.

Nah, ketika rasionalitas lebih mengemuka di saat institusi-institusi bekerja dengan baik, maka pertentangan opini di tengah masyarakat semestinya berjalan dinamis, penuh warna dan menggairahkan. Perdebatan yang sehat akan melahirkan gagasan brilian untuk kepentingan umum dan kesejahteraan rakyat.

Diskursus

Kebenaran ujaran agama bahwa perbedaan itu rahmat, akan kita temui dalam diskursus rasional semacam ini. Dengan kata lain, rasionalitas sejatinya adalah anak kandung demokrasi. Demokrasi berjalan sehat ketika terjadi persaingan ide dan program, yang berbasis pada kekuatan argumentasi nan rasional-logis, tentu dalam upaya mewujudkan cita-cita demokrasi, yaitu demi kesejahteraaan rakyat seluas-luasnya.

Demokrasi bisa menjadi nihil jika tanpa rasionalitas. Rasionalitas pun sulit berkembang dalam dunia politik tanpa demokrasi. Demokrasi tanpa rasionalitas akan terjerumus kepada diktatoriat dan fasisme. Dalam pemerintahan diktator yang berlaku adalah kekuasaan yang absolut, memaksa, dan menindas.

Baca Juga :  Miras Menghancurkan Masa Depan OAP

Tak ada tempat bagi suara yang dimaksudkan untuk mengkritisi pemerintah. Dalam fasisme yang dituntut adalah kepatuhan. Ide dan argumentasi tak dibutuhkan. Rakyat boleh berpendapat kalau diminta, tapi ide tersebut tidak boleh dilempar ke publik kecuali sudah disetujui oleh pihak yang berkuasa.

Lantas apa yang terjadi belakangan ini di sini? Mengapa begitu gaduh ruang publik kita tanpa ada satu pun penengah yang berdiri untuk mencerahkan? Mengapa yang berlangsung saat ini justru menyeruak emosi-emosi yang dibalut dengan rasionalitas? Pertempuran hasrat primordial yang dibalut dengan argumentasi kebebasan berekspresi menyeruak. Identitas-identitas promordial dipertanyakan, sehingga memunculkan peluang bagi aksi-aksi pengedepanan identitas-identitas tersebut.

Rasionalitas

Di sisi lain, rasionalitas dalam kancah politik yang berkedok hasrat “haus kuasa” mendorong lahirnya sebuah istilah populer dalam perbendaharaan kamus politik, yaitu Post-Truth, kata yang beberapa tahun belakangan tenar di pelataran literasi media. Di era post-truth, tulis cendekiawan Ekuador, Francisco Rosales (2017), apa yang tampaknya benar, menjadi lebih penting daripada kebenaran itu sendiri.

Kebenaran yang dimaksud di sini adalah sesuatu yang bersumber pada rasio, fakta, dan objektivitas. Sementara di era post truth, “benar” adalah kategorisasi yang berdasarkan pada keyakinan diri, emosi. Tolok ukurnya adalah “kebenaran saya”, tidak perlu melalui tahapan uji publik dan diskursus. Akhirnya, fakta objektif kurang berpengaruh terhadap opini publik daripada seruan terhadap emosi dan kepercayaan. Dalam situasi politik yang bersumber pada “kebenaran saya”, maka sesuatu yang bertentangan dengan “kebenaran saya” boleh dibasmi dengan cara apapun termasuk dengan cara menyebarkan kebencian, persekusi, dan hoaks.

Itulah awal mula dari lahirnya barbarisme dalam politik, sumber bagi kekacauan sosial. Dan, ketika kondisi “kebenaran saya” tersebut dimanfaatkan oleh politisi demagogis, tokoh populisme (baik yang berada di kekuasaan maupun dalam masyarakat), maka yang akan terlihat adalah realitas sosial politik yang sangat dekonstruktif bagi kenyamanan sosial-kemasyarakatan. Oleh karena itu, iklim demokrasi yang memberi ruang pada pertukaran gagasan yang sehat, terbuka, dan akuntabel, akan memungkinkan terjadinya demokrasi berbasis kecerdasan publik yang matang dan berkualitas.

Baca Juga :  Keberadaan, Kejuangan, dan Kebangkitan Kalimantan Selatan (Kalsel) Membangun dan Memajukan Indonesia Raya

Kualitas kecerdasan publik sangat dipengaruhi oleh sejauh mana setiap warga mengerahkan segenap potensi kognitifnya dalam mengambil keputusan (decision making process). Sebagaimana ditulis oleh filsuf Amerika Serikat John Dewey bahwa yang terpenting dalam sebuah rezim demokrasi bukanlah hasil akhir sebuah keputusan, melainkan proses terjadinya dialektika pertukaran gagasan yang mengantarkan pada pilihan warga yang sudah teruji.

Inilah sebenarnya inti persoalan demokrasi kita. Demokrasi di negeri kita nampaknya baru sebatas demokrasi mayoritarian, bukan demokrasi yang mencerminkan kecerdasan publik dalam pengertian yang sesungguhnya. Dalam konstruksi demokrasi semacam ini, pilihan warga sering kali ditentukan oleh hal-hal lain di luar aspek rasionalitas, seperti perasaan suka atau tidak suka, favoritisme, dan primordialisme.

Dalam demokrasi berbasis kecerdasan publik, kualitas pilihan ditentukan oleh ketundukan rasional-kognitif warga pada hal-hal yang bekerja di atas prinsip kemasukakalan (commonsensicality). Pendek kata, hal penting yang perlu diperhatikan oleh masing-masing kontestan dalam setiap laga demokratis, baik pemilihan presiden (pilpres) atau pemilihan kepala daerah (pilkada), misalnya, kompetisi adalah tentang bagaimana menundukkan kognisi warga pemilih melalui sebuah skema terstruktur dan terukur tentang Indonesia atau daerah yang lebih baik ke depan berdasar atas kalkulasi-kalkulasi rasional alias tentang berbagai sudut pandang yang mengupas berbagai persoalan yang membelit bangsa ini beserta tawaran solusinya. Skema semacam ini menjadi penting di tengah absennya peta jalan menuju Indonesia atau menuju daerah yang sejahtera dalam perspektif yang lebih realistisis, terukur, dan dapat dicapai (achievable), bukan sekadar janji-janji retoris yang lazim dijual para juru kampanye (Jurkam) pemilu.

Baca Juga :  Sang Insan Cita, Ichsan Firdaus, Selamat Jalan

Nah, jalan demokrasi deliberatif semacam inilah sebenarnya yang harus diambil oleh DPR saat ingin memutuskan apakah sistem pemilu kita akan tetap menggunakan proporsional terbuka atau mengubahnya menjadi proporsional tertutup. Indonesia telah melalui pemilihan langsung dengan sistem proporsional terbuka beberapa kali.

Pemilih sudah mulai terbiasa dengan calon-calon anggota legislatif yang langsung mereka pilih. Pun terbiasa menghukum mereka yang gagal menjalankan fungsinya sebagai wakil rakyat. Lalu diusulkan untuk diubah menjadi gaya Orde Baru. Rasanya jika itu yang dipilih akan menjadi sebuah kemunduran besar.

Publik harus diajak bicara. Diskusi harus dibuka selebar-lebarnya tentang adanya rencana perubahan tersebut. Karena persoalan sistem pemilu ini tidak saja terkait dengan urusan teknis soal kekuasaan partai dalam menentukan caleg, tapi juga soal melebarnya peluang untuk terjadinya kemunduran demokrasi di masa depan. Karena itu, jalan demokrasi deliberatif harus diambil agar para pembuat kebijakan tidak menyesal di kemudian hari karena telah meninggalkan rakyat dalam sebuah kebijakan yang sangat penting. DPR harus melibatkan sebanyak-banyaknya para pihak yang terkait dengan kepentingan perubahan sistem pemilu ini, agar sistem pemilu yang dipakai nanti benar-benar legitimate di mata semua pihak. Selain itu, Indonesia harus bisa membuktikan kepada semua negara di Asia bahwa demokrasi Indonesia tidak mengalami kemunduran dan sangat layak dijadikan kiblat demokrasi di Asia.

Seperti kata mantan presiden Amerika Serikat ke- 39 yang sampai hari ini masih hidup, Jimmy Carter bahwa “The best way to enhance freedom in other lands is to demonstrate here that our democratic system is worthy of emulation.”. Semoga kalimat bernas sang penerima Nobel Perdamaian pada tahun 2002 itu menjadi nyata di negeri ini. Semoga !

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari DETIKIndonesia.co.id. Mari bergabung di Channel Telegram "DETIKIndonesia.co.id", caranya klik link https://t.me/detikindonesia, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.

Penulis : TIM
Editor : MUFIK
Sumber :

Berita Terkait

Catatan Politik Senayan; Prioritaskan Program dengan Berpijak Pada Aspirasi Publik
Politik di Spice Islands
Transmigrasi Bukan Solusi Kesejahteraan Bagi Penduduk Orang Asli Papua
Implementasi Disertasi Menteri Bahlil: Pembentukan SATGAS Hilirisasi Berkeadilan dan Berkelanjutan Mendesak Dipercepat
Rancu Produk Hukum Pelantikan Presiden & Wakil Presiden
Kerek Lamok dan Wunuk Kerek
Perempuan Lani dan Cawat Tali
Sahabatku, Sukiman Yang Syahid Dalam Mencari Nafkah

Berita Terkait

Kamis, 21 November 2024 - 15:53 WIB

Libatkan Seluruh Panwaslu, Bawaslu Halsel Gelar Bimtek Tingkatkan Pengawasan Jelang Pungut Hitung

Rabu, 20 November 2024 - 13:42 WIB

Bawaslu Halsel: Gelar Deklarasi Tolak Politik Uang, Hoax, Dan Politisasi Sara

Senin, 18 November 2024 - 21:21 WIB

Pernyataan Mukmina Terkait Jalan Lingkar kayoa, Hanya Mencari Ketenaran 

Senin, 18 November 2024 - 18:46 WIB

Tim SMP Negeri 6 Depok Juara JA Spark the Dream Social Challenge 2024 di Asia Pasifik

Senin, 18 November 2024 - 13:35 WIB

Udi Sebut: Soal Pertanyaan Rahmi Husain Adalah Bentuk Kekecewaan, Karna Kalah di Pileg Kemrin 

Sabtu, 16 November 2024 - 20:32 WIB

Jenderal (HOR) Agus Andrianto Diganjar Gelar Kehormatan, DMI Sebut Dedikasinya Tak Tertandingi

Sabtu, 16 November 2024 - 14:00 WIB

Dalam Rangka menyambut HUT ke-60 Partai Golkar, DPD Partai Golkar Jakarta Timur Gelar Senam Massal 

Sabtu, 16 November 2024 - 10:03 WIB

Semangat Hari Pahlawan, Relawan SEJAJAR Resmi Usung RIDO untuk Jakarta

Berita Terbaru

Nasional

Setyo Budiyanto Terpilih Sebagai Ketua KPK 2024-2029

Kamis, 21 Nov 2024 - 15:08 WIB