Belum lagi jika kita lihat dari sisi Partai Politik sendiri. Setiap partai politik pasti bertujuan mengusung kadernya untuk menjadi calon pemimpin bangsa. Karena memang itulah hakikat lahirnya partai politik. Untuk mengusung kadernya sebagai pemimpin nasional. Faktanya, dengan adanya Presidential Threshold partai politik yang memperoleh kursi kecil di DPR atau di bawah 20 persen, pasti tidak berdaya di hadapan partai politik besar, terkait keputusan tentang calon yang akan diusung. Pilihannya hanya satu: Merapat atau bergabung.
Sehingga yang ada adalah kita hanya akan menyaksikan partaipartai besar yang berkoalisi untuk mengusung calon. Dan bila perlu hanya ada dua calon yang head to head. Atau dua pasang calon, yang sudah didisain siapa yang akan menang, dengan menciptakan lawan calon yang lemah. Atau kalau perlu lawan kotak kosong. Seperti terjadi di beberapa Pilkada. Apakah ini yang diinginkan rakyat? Silakan dijawab dengan jujur.
Lalu atas pertanyaan ketiga, apakah Presidential Threshold dimaksudkan untuk memperkuat sistem Presidensiil dan demokrasi atau justru sebaliknya, memperlemah. Kalau didalilkan untuk memperkuat sistem presidensiil, agar presiden terpilih memiliki dukungan yang kuat di parlemen, justru secara teori dan praktek, malah membuat mekanisme check and balances menjadi lemah. Karena partai politik besar dan gabungan partai politik menjadi pendukung presiden terpilih.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Akibatnya yang terjadi adalah bagi-bagi kekuasaan dan Partai Politik melalui Fraksi di DPR menjadi legitimator kebijakan pemerintah. Termasuk secepat kilat menyetujui apapun kebijakan pemerintah. Termasuk terhadap PERPPU atau Calon-Calon Pejabat Negara yang dikehendaki pemerintah. Sehingga tidak heran, bila sejumlah lembaga internasional menyatakan bahwa indeks demokrasi di Indonesia mengalami kemunduran.
Jadi kalau ditimbang dari sisi manfaat dan mudarat-nya, Presidential Thresholod ini penuh dengan mudarat. Karena Ambang Batas pencalonan presiden itu juga menyumbang polarisasi yang tajam di masyarakat, akibat minimnya jumlah calon, terutama dalam dua kali Pilpres, dimana kita hanya dihadapkan dengan 2 pasang calon saja.
Hal itu diperparah dengan semangat antar kelompok untuk selalu melakukan Anti-Thesa atas output pesan yang dihasilkan. Apakah itu dalam bentuk kalimat verbal, maupun simbol dan aksi. Ditambah lagi dengan pola komunikasi elit politik yang juga mengedepankan kegaduhan. Sehingga semakin lengkap pembelahan yang terjadi di masyarakat.
Hingga puncaknya, anak bangsa ini secara tidak sadarmembenturkan Vis-à-vis Pancasila dengan Agama. Hanya karena semangat melakukan apapun yang bersifat Anti-Thesa, untuk menjelaskan identitas dan posisi. Padahal tidak satupun tesis yang bisa menjelaskan pertentangan antara Pancasila dengan Agama apapun,
termasuk Islam.
Dan kita sebagai bangsa disuguhi kegaduhan nasional yang panjang. Disuguhi pertunjukkan drama kolosal yang sangat tidak bermutu. Dimana sesama anak bangsa saling melakukan persekusi. Saling melaporkan ke ranah hukum. Seolah tidak ada lagi ruang dialog dan tukar pikiran. Dan semakin menjadi lebih parah, ketika ruang-ruang dialog yang ada juga semakin dibatasi dan dipersekusi. Baik secara frontal oleh pressure group,
maupun dibatasi secara resmi oleh institusi negara.
Kita menyaksikan sweeping bendera, sweeping kaos, sweeping forum diskusi, pembubaran forum pertemuan dan lain sebagainya, yang sama sekali tidak mencerminkan kehidupan di negara demokrasi. Tetapi lebih kepada tradisi bar-bar. Inilah dampak buruk dari penerapan Ambang Batas Pencalonan Presiden, atau dalam kasus tertentu juga terjadi di ajang pemilihan kepala daerah. Dimana rakyat dihadapkan hanya kepada dua pilihan.
Saya memahami bahwa berkongsi dalam politik adalah sesuatu yang wajar. Namun menjadi sesuatu yang jahat, ketika kongsi itu dilakukan dengan mendisain agar hanya ada dua pasang kandidat Capres-Cawapres, yang berlawanan dan akibatnya memecah bangsa, atau sebaliknya seolah-olah berlawanan, tapi sudah didesain siapa yang bakal menang.
Oleh karena itu, saya keliling menyampaikan hal ini kepada semua elemen masyarakat. Baik di perguruan tinggi maupun di entitas-entitas civil society lainnya. Saya memantik kesadaran publik. Bahwa Indonesia adalah negara yang besar. Karena negara ini lahir dari sejerah peradaban yang unggul di era kerajaan dan kesultanan nusantara.
Jangan biarkan negara ini tercabik-cabik hanya karena ambisi kekuasaan untuk menumpuk kekayaan, dan menguasai sebesarbesarnya kekayaan alam negeri ini. Sementara rakyat yang masih bergelimang dengan kemiskinan hanya kita butuhkan suaranya dalam Pemilu dan Pilpres. Marilah kita berpikir sebagai layaknya Negarawan Sejati, dengan memahami dan merasakan suasana kebatinan para pendiri bangsa ini dalam melahirkan negara yang kita cintai ini.
Kami di DPD RI berpendapat, bahwa Wacana Amandemen Konstitusi perubahan ke-5 yang kini tengah bergulir, Harus menjadi Momentum untuk melakukan Koreksi atas Sistem Tata Negara sekaligus Arah Perjalanan Bangsa ini.
Kita juga harus berani melakukan koreksi atas Sistem Ekonomi Negara ini. DPD RI akan sekuat tenaga memperjuangkan hal itu. Tentu DPD RI akan mendapatkan dorongan energi, bila seluruh elemen masyarakat Indonesia menjadikan Agenda Amandemen Konstitusi sebagai Momentum yang sama. Yaitu Momentum untuk melakukan Koreksi atas Arah Perjalanan Bangsa.
OLEH: AA LaNyalla Mahmud Mattalitti, Ketua Dewan Perwakilan Daerah Repuplik Indonesia
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari DETIKIndonesia.co.id. Mari bergabung di Channel Telegram "DETIKIndonesia.co.id", caranya klik link https://t.me/detikindonesia, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.Penulis | : AA LaNyalla Mahmud Mattalitti |
Editor | : Muliansyah |
Sumber | : LMC |
Halaman : 1 2