Oleh: Eka Hendry Ar
Penulis Adalah: Dosen IAIN Pontianak
Kembali pemerintah mengekspos daftar para ustads yang dikategorikan radikal. Setelah beberapa waktu lalu, BNPT menyebutkan ada beberapa Pondok Pesantren yang terpapar terorisme. Meskipun kemudian bnpt menyampaikan permohonan maaf. Pertanyaan yang muncul di benak penulis apa urgensi merelease informasi ini ke publik?. Kemudian kriteria apa yang digunakan untuk menilai si A radikal, Si B moderat? Persfektif siapa dan apa yang dijadikan referensi dalam menentukan kriteria tersebut?.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Pertanyaan-pertanyaan ini barangkali juga mengelayuti banyak pihak. Ada yang berani mengkritisi, tapi lebih banyak memilih “membangkang” secara diam. Penulis bukan termasuk yang “berani”, tapi hanya sekedar membawa wacana ini ke tengah “meja hidangan” ilmu pengetahuan, untuk dibedah dan dikritisi. Dengan maksud untuk mendapatkan sebuah pencerahan pemahaman akan isu radikalisme tersebut.
Terdapat banyak pengertian tentang radikal, baik dalam literatur barat maupun di dunia Islam sendiri. Kemudian juga terdapat banyak padanan dari istilah radikal secara akademik seperti revivalis, hard movement, militant, fundamentalis, konserevatif maupun Islamis. Masing-masing istilah kadang digunakan secara tumpang tindih satu sama lain, dengan makna yang kurang lebih sama. Namun juga bisa menunjukkan aksentuasi yang berbeda satu sama lain.
Secara geneologis, kategori dari istilah-istilah di atas masuk di antara gerakan Islam revivalis (meminjam istilah Charles Kurzman). Charles Kurzman membagi ada tiga model gerakan keagamaan dalam Islam. Ketiganya merupakan anti thesis antara satu dengan lainnya. Taksonomi yang di buat oleh Kurzman yaitu customary Islam, revivalis Islam dan liberal Islam. Customary Islam merupakan model beragama dengan berbagai praktek tradisi. Dalam kacamata Islam revivalis, tradisi Islam yang di praktekkan banyak yang tidak sesuai dengan ajaran Islam (yang otentik). Oleh karenanya gerakan revivalis lahir guna “membersihkan” praktek berislam yang dianggap tercemar (obscured) tersebut. Lambat laun, pikiran kelompok Islam revivalis dianggap terlalu tertutup (ekslusif) dan monolotik, yang dianggap tidak dapat berdialektika dengan kemajuan zaman. Maka kemudian lahirlah model Islam liberal. Islam Liberal adalah model pemikiran Islam dengan paradigma inklusif, dialogis, pluralistis, serta lebih terbuka dengan Barat, baik dalam hal iptek maupun ekonomi dan politik.
Disamping taksonomi ala Kurzman, tentu masih banyak lagi pendapat para ahli seperti Fazlur Rahman, Lutfi Asyaukani dlsb. Kesemua pendapat tersebut hendak memetakan pola gerakan keagamaan, khususnya Islam (baik konteks lokal maupun Internasional). Kemudian masing-masing pengelompokan ini berdasarkan persfektif yang berbeda. Ada yang berdasarkan praktek keagamaan, ada yang melihat dari dialektika gerakan pembaharuan Islam, dan ada pula yang berdasarkan orientasi politik dengan kekuasaan.
Namun yang menjadi catatan dari beragam taksonomi tersebut mengidentifikasi pluralitas wajah internal ummat Islam. Apakah semua taksonomi ini mewakili semua wajah, tentu juga tidak. Bahkan, semakin umum taksonomi dibuat, kemungkinan untuk tidak mendapatkan gambaran yang utuh menjadi sulit diwujudkan. Seperti contoh, 2 tokoh yang dikategorikan ke dalam satu taksonomi kadang pasti masih dapat dibedakan semisal isu utama pemikirannya, mode of communication -nya, atau medan perjuangannya. Seperti Nurcholis Madjid dengan Abdurrahman Wahid yang oleh Greg Barton masuk dalam kategori Neo-modernis.
***
Tulisan ini hendak mengurai stigma monolitik terhadap pola keagamaan terutama yang masuk dalam kategori revivalis. Bagaimanapun sebuah pola keberagamaan dalam Islam cukup shopisticated, oleh karenanya tidak bisa disimplifikasi dalam kategori yang umum dan kasar.
Taksonomi revivalis pada dasarnya adalah gerakan yang menekankan romantisme sejarah dan identitas sebagai upaya purifikasi dari berbagai kegagalan dan dekadensi yang terjadi dalam satu kondisi. Dalam konteks Islam, argumentasinya dibangum di atas “anggapan” ketercemaran Islam yang mengakibatkan Islam terdegradasi dalam berbagai momentum. Islam tertinggal jauh dari ummat lainya dalam berbagai hal (seperti politik, ekonomi dan sains tekhnologi) sebagai akibat Islam sudah kehilangan keotentikan atau keaslian sebagaimana yang diajar generasi terdahulu (salafus sholeh).
Namun kemudian wajah revivalis ini tidak sama dalam sejarahnya. Manifestasi dari gerakan revivalis dalam Islam seperti gerakan wahabi, Salafi, atau dengan terma revivalis klasik, neo-revivalis. Dalam situasi dan konteks tertentu, ada gerakan revivalis yang bertransformasi dari purifikasi (fundamentalis) menjadi radikal hingga terorisme. Namun, perlu digaris bawahi, apakah proses transformasi berjalan linear dan otomatis. Tentu saja tidak, karena transformasi ke kutup yang ekstrim membutuhkan banyak sekali variabel lain, tidak semata pandangan agama.
Jhon Esposito dalam bukunya the future of Islam, menyatakan pandangan revivalis biasanya muncul dalam keadaan yang terpuruk atau rasa terkalahkan, sehingga orang mulai berani bertanya dan mengkritisi diri sendiri. Bahwa ada etos atau elan vital yang hilang atau terdegradasi dalam budaya dan pandangan dunia masyarakatnya. Sehingga memantik romantisme bahwa perlu kembali atau menghidupkan kembali etos yang hilang itu. Ronald Reagan Presiden Amerika menyatakan setelah Amerika mengalami berbagai krisis, maka Regend memainkan retorika revivalis bahwa kita warga Amerika sudah meninggalkan nilai-nilai keamerikaan. Maka perlu merevitalisi etos dan nilai-nilai tersebut.
Bangsa-bangsa Arab (Mesir, Suriah dan Yordania) pasca kalah dalam perang 6 hari melawan Israel (1967) juga menggunakan retorika revivalis. Mengapa dunia Islam bisa dikalahkan oleh negara Israel yang secara geografis kecil dan bahkan dikepung negara-negara Arab?. Jawaban atas pertanyaan tersebut kembali kepada kesimpulan ada nilai atau etos kearaban yang tergerus pada bangsa-bangsa Arab itu sendiri.
Artinya kesadaran revivalis bukanlah suatu hal yang buruk dan kontraproduktif, melainkan suatu yang rasional dan lumrah. Problem akan muncul manakala, dimulai batasan-batasan yang rigit dan eksklusif seperti merasa diri paling benar, men-takfir pihak yang berbeda dan tidak sepaham, memonopoli tafsir kebenaran, dan mengklaim sistem politik di luar sistem yang dianut sebagai tatanan yang sesat dan thoghut, dan memaksakan kehendak ideologisnya kemudian melakukan aksi atas kepercayaan tersebut.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari DETIKIndonesia.co.id. Mari bergabung di Channel Telegram "DETIKIndonesia.co.id", caranya klik link https://t.me/detikindonesia, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.Penulis | : Eka Hendry Ar |
Editor | : Harris |
Sumber | : |
Halaman : 1 2 Selanjutnya