Menilai Ulang Stigma Monolitik Atas Pola Keberagaman

Rabu, 23 Maret 2022 - 07:57 WIB

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Jika itupun terjadi,  wajah revivalis tetap tidak monolitik.  Keragaman akan tetap mewarnai setiap wujud gerakan revivalis. Seperti gerakan salafi,  faktanya wajah salafi tidak monolotik.  Setidaknya ada wajah salafi murni,  salafi haraki dan salafi jihadis.  Ada juga dengan istilah salafi reformis (salafi haraki),  salafi rejeksionis (salafi murni) dan salafi jihadis. (Lihat Eka Hendry Ar, “Salafi Islam and The Antithesis of The Outsider (Study of Da’wah Movement, Politics and Potential Conflict of Salafi Islam in Pontianak City).

Salafi murni atau rejeksionis lebih fokus pada dakwah untuk memurnikan ajaran Islam.  Salafi ini menolak berpolitik,  dan menganjurkan ketaatan pada pemimpin.  Kemudian salafi haraki atau reformis adalah salafi yang aktif dalam kegiatan politik kenegaraan selain agenda pemurnian Islam.Sedangkan salafi jihadis menekankan pada upaya untuk membangun solidaritas umat Islam dalam menghadapi penindasan di berbagai dunia Islam, seperti Palestina, irak,  Filipina, Khasmir, Myanmar dan termasuk Indonesia. Kelompok jihadis menggunakan perlawanan senjata dalam mencapai tujuannya.  Kelompok ini yang kemudian disebut Barat sebagai kelompok teroris.

***

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Uraian di atas menerangkan bahwa dalam satu nomeklatur salafi saja,  kita mendapatkan beragam wajah,  bukan wajah tunggal yang mengeras. Namun sangat cair dan dinamis,  bahkan boleh jadi akan tampil wajah-wajah berbeda.

Kemudian yang penting untuk kita mengerti lebih lanjut, latar belakang apa yang menyebabkan transformasi berbagai wajah tersebut.  Esposito dan Karen Armstrong diataranya yang lebih impresif dalam memberikan penilaian.  Hingga pada lahirnya kelompok jihadis dalam Islam.  Fenomena gerakan jihadis tidak lepas dari konstelasi politik yang terjadi di Timur Tengah dan negara-negara Islam lainnya vis a vis dengan Barat (Eropa dan Amerika).  Keberadaan kelompok jihadis ada dalam relasi sebab akibat,  aksi reaksi.  Kehadirannya tidak muncul sendiri, akan tetapi diberanakkan oleh satu prakondisi tertentu. Prakondisi itu adalah hegemoni pendudukan Barat terhadap Timur Tengah.

Baca Juga :  Ingatan 30 September, “PKI No dan Komunis Yes”

Untuk menerangkan secara lebih komprehensif tentu akan banyak variabel yang dapat dijabarkan dari prakondisi tersebut.  Sebut saja misalnya dukungan Barat terhadap rezim otoriter di Timur Tengah, kemudian fondasi beragama yang juga turut andil, serta yang paling krusial double standard Barat terhadap dunia Islam yang dinilai tidak adil.   Menurut Esposito orang-orang seperti Ayatullah Khomenei,  Sayyid Qutjb,  Osama bin Laden,  Ayman Al-Zawahiri, Abdullah Al-Azzam adalah mereka yang lahir dari prakondisi tersebut.  Fenomena ini melahirkan thesis bahwa,  sepanjang masih terjadi ketidak adilan, penindasan dan penjajahan di dunia Islam,  maka mesin jihadis akan terus memproduksi Osama-osama lainnya.

Demikian juga kiranya jika kita hendak menilai radikalisme, entah sebagai cara pandang maupun sebagai aksi.  Akar radikal dalam Islam tentu sangat panjang,  jika kita runut sejarah.   Namun yang mesti kita pertegas,  radikal tidak sama dengan terorisme,  karena radikal bisa jadi baru sebatas pandangan, prinsip kepercayaan.  Sedangkan teroris adalah mereka yang memilih jalan kekerasan untuk mencapai tujuannya.

Baca Juga :  Visi Ekonomi dan Pembangunan Sang Presiden NKRI

Radikal bisa menjadi sikap politik, bisa menjadi metode berpikir (seperti dalam filsafat),  atau bisa juga dalam konteks kepercayaan yang radikal.  Jadi tidak melulu identik dengan  sikap beragama.  Dalam bidang-bidang tersebut radikal tidak bermakna negatif,  bahkan ada beberapa buku non Islam yang menggunakan judul keimanan yang radikal. Kata radikal dalam buku tersebut bermakna positif yaitu keberimanan yang kokoh,  yang kuat mengakar.  Namun tidak demikian halnya jika dikaitkan dengan Islam,  maka maknanya mengalami pejoratif.

Oleh karenanya Radikal harus dibaca ulang dalam kerangka besar konfigurasi gerakan keislaman yang multi wajah,  bukan monolitik.  Kemudian term radikal juga harus terlebih dahulu dinetralisir dari hegemoni kuasa simbolik dari kekuasaan.  Karena Negara atau kekuasaan sangat kuasa (powerfull)  dalam membangun sistem tanda atau predikat atau istilah Noam Choamsky sebagai “American ideological system”, terhadap pihak yang “berlawanan”. Dalam kondisi seperti ini,  yang ditakutkan kekuasaan tidak bebas kepentingan, termasuk kepentingan terhadap oposisi.   Jika fenomena ini terjadi,  maka sudah selayaknya kita perlu mengkritisi, agar tidak terjadi kesema-menaan dalam kehidupan berdemokrasi kita.  Mengingat kekuasaan biasanya cenderung  membentuk tafsir  monolitik sebagai kebijakan agar tidak menimbulkan ambiguitas.  Namun dunia akademis cenderung menampil lebih banyak alternatif dalam memberikan penilaian.

***

Kembali kepada taksonomi revivalis di atas,  tampak bahwa term radikal merupakan salah satu wajah revivalis.  Jika salafi bisa tampil dalam banyak wajah yang bahkan kontradiktif,  maka radikal juga bisa demikian. Radikal dalam memegang prinsip kepercayaan, radikal dalam visi politik maupun radikal yang menjurus kepada hardline movement.

Baca Juga :  Sedikit Tentang Budaya Lapago Lembah Baliem Jayawijaya Papua

Menampilkan multi wajah radikal tidak dimaksudkan untuk mengaburkan pengertian, akan tetapi dalam rangka memberikan penilaian yang adil.  Sekaligus juga sebagai prinsip kehati-hatian dan prinsip kekritisan agar tidak terjadi kesemana-memaan. Terlebih lagi di era demokrasi saat ini.

Hal penting yang harus terurai dengan baik adalah faktor-faktor yang mendorong lahir sikap dan pandangan radikal, dan faktor yang dapat menstimulasi transformasi sebuah paham menjadi tindak kekerasan. Jawaban atas kedua pertanyaan di atas akan sangat membantu upaya deradikalisasi.  Sebagaimana sudah dijelaskan di atas, faktor yang paling kuat mendorong lahirnya para jihadis adalah rasa terhina,  direndahkan,  dirampas kedaulatan,  hingga menanggung derita di tanah sendiri akibat tirani kekuasaan, oligarki baik dalam negeri maupun luar negeri.   Ketidak adilan yang dipertontonkan telanjang akan menjadi amunisi bagi suburnya kelompok jihadis.

Sebagai penutup dari tulisan ringan ini,  bahwa penting bagi kita melacak hulu dari segala masalah kekerasan atas nama agama.  Kita harus bisa menari di pusaran dilema antara pasar bebas paham keagamaan dan tanggung jawab mengembangkan iklim beragama yang damai,  sebagai konsekwensi Indonesia memilih demokrasi.  Wa Allah a’lam.

 

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari DETIKIndonesia.co.id. Mari bergabung di Channel Telegram "DETIKIndonesia.co.id", caranya klik link https://t.me/detikindonesia, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.

Penulis : Eka Hendry Ar
Editor : Harris
Sumber :

Berita Terkait

Pemuda Gereja Diharapkan Membudayakan Baca Buku
Makna Natal & Cinta yang Tulus Senator Nelson Wenda Bagi Anak-Anak Terpingirkan
Jadilah Garam dan Terang
Forum Rakyat Indonesia Unggul: Refleksi Akhir Tahun 2024, Mengurai Benang Kusut Problematika & Meraih Masa Depan Indonesia Unggul 2045
Peran Pemerintah sebagai Solusi atas Konflik di Kabupaten Lani Jaya
Bahtera Penjual Angin: Humor Gus Dur Mencubit HMI
Mengapa Yesus Lahir di Dunia
Politik dan Natal di Tanah Papua

Berita Terkait

Rabu, 15 Januari 2025 - 15:45 WIB

Gugum Ridho Putra Terpilih Sebagai Ketua Umum PBB periode 2025–2030

Rabu, 15 Januari 2025 - 15:33 WIB

PKS Evaluasi Makan Bergizi Gratis: Soal Variasi Menu, Rasa hingga Takaran Gizi

Selasa, 14 Januari 2025 - 17:13 WIB

Kadin Indonesia Gelar Rapat Pengurus Harian, Ini yang Dibahas

Selasa, 14 Januari 2025 - 17:09 WIB

Anggota DPR Dukung Pemerintah Atur Pembatasan Penggunaan Media Sosial Bagi Anak-Anak

Selasa, 14 Januari 2025 - 16:05 WIB

KPK Belum Tahan Hasto Usai Jalani Pemeriksaan, Ini Alasannya

Selasa, 14 Januari 2025 - 07:54 WIB

Afriansyah Noor Janji Rangkul Semua Pihak Jika Terpilih Sebagai Ketum PBB

Selasa, 14 Januari 2025 - 07:43 WIB

Afriansyah Noor Siap Maju Sebagai Calon Ketua Umum PBB

Selasa, 14 Januari 2025 - 07:36 WIB

Muktamar VI PBB: Yusril Beri Sinyal Dukung Figur Muda Jadi Ketum PBB

Berita Terbaru

Sepi Wanimbo - Ketua DPD - PPDI PPP

Teraju

Pemuda Gereja Diharapkan Membudayakan Baca Buku

Rabu, 15 Jan 2025 - 11:19 WIB