Jika itupun terjadi, wajah revivalis tetap tidak monolitik. Keragaman akan tetap mewarnai setiap wujud gerakan revivalis. Seperti gerakan salafi, faktanya wajah salafi tidak monolotik. Setidaknya ada wajah salafi murni, salafi haraki dan salafi jihadis. Ada juga dengan istilah salafi reformis (salafi haraki), salafi rejeksionis (salafi murni) dan salafi jihadis. (Lihat Eka Hendry Ar, “Salafi Islam and The Antithesis of The Outsider (Study of Da’wah Movement, Politics and Potential Conflict of Salafi Islam in Pontianak City).
Salafi murni atau rejeksionis lebih fokus pada dakwah untuk memurnikan ajaran Islam. Salafi ini menolak berpolitik, dan menganjurkan ketaatan pada pemimpin. Kemudian salafi haraki atau reformis adalah salafi yang aktif dalam kegiatan politik kenegaraan selain agenda pemurnian Islam.Sedangkan salafi jihadis menekankan pada upaya untuk membangun solidaritas umat Islam dalam menghadapi penindasan di berbagai dunia Islam, seperti Palestina, irak, Filipina, Khasmir, Myanmar dan termasuk Indonesia. Kelompok jihadis menggunakan perlawanan senjata dalam mencapai tujuannya. Kelompok ini yang kemudian disebut Barat sebagai kelompok teroris.
***
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Uraian di atas menerangkan bahwa dalam satu nomeklatur salafi saja, kita mendapatkan beragam wajah, bukan wajah tunggal yang mengeras. Namun sangat cair dan dinamis, bahkan boleh jadi akan tampil wajah-wajah berbeda.
Kemudian yang penting untuk kita mengerti lebih lanjut, latar belakang apa yang menyebabkan transformasi berbagai wajah tersebut. Esposito dan Karen Armstrong diataranya yang lebih impresif dalam memberikan penilaian. Hingga pada lahirnya kelompok jihadis dalam Islam. Fenomena gerakan jihadis tidak lepas dari konstelasi politik yang terjadi di Timur Tengah dan negara-negara Islam lainnya vis a vis dengan Barat (Eropa dan Amerika). Keberadaan kelompok jihadis ada dalam relasi sebab akibat, aksi reaksi. Kehadirannya tidak muncul sendiri, akan tetapi diberanakkan oleh satu prakondisi tertentu. Prakondisi itu adalah hegemoni pendudukan Barat terhadap Timur Tengah.
Untuk menerangkan secara lebih komprehensif tentu akan banyak variabel yang dapat dijabarkan dari prakondisi tersebut. Sebut saja misalnya dukungan Barat terhadap rezim otoriter di Timur Tengah, kemudian fondasi beragama yang juga turut andil, serta yang paling krusial double standard Barat terhadap dunia Islam yang dinilai tidak adil. Menurut Esposito orang-orang seperti Ayatullah Khomenei, Sayyid Qutjb, Osama bin Laden, Ayman Al-Zawahiri, Abdullah Al-Azzam adalah mereka yang lahir dari prakondisi tersebut. Fenomena ini melahirkan thesis bahwa, sepanjang masih terjadi ketidak adilan, penindasan dan penjajahan di dunia Islam, maka mesin jihadis akan terus memproduksi Osama-osama lainnya.
Demikian juga kiranya jika kita hendak menilai radikalisme, entah sebagai cara pandang maupun sebagai aksi. Akar radikal dalam Islam tentu sangat panjang, jika kita runut sejarah. Namun yang mesti kita pertegas, radikal tidak sama dengan terorisme, karena radikal bisa jadi baru sebatas pandangan, prinsip kepercayaan. Sedangkan teroris adalah mereka yang memilih jalan kekerasan untuk mencapai tujuannya.
Radikal bisa menjadi sikap politik, bisa menjadi metode berpikir (seperti dalam filsafat), atau bisa juga dalam konteks kepercayaan yang radikal. Jadi tidak melulu identik dengan sikap beragama. Dalam bidang-bidang tersebut radikal tidak bermakna negatif, bahkan ada beberapa buku non Islam yang menggunakan judul keimanan yang radikal. Kata radikal dalam buku tersebut bermakna positif yaitu keberimanan yang kokoh, yang kuat mengakar. Namun tidak demikian halnya jika dikaitkan dengan Islam, maka maknanya mengalami pejoratif.
Oleh karenanya Radikal harus dibaca ulang dalam kerangka besar konfigurasi gerakan keislaman yang multi wajah, bukan monolitik. Kemudian term radikal juga harus terlebih dahulu dinetralisir dari hegemoni kuasa simbolik dari kekuasaan. Karena Negara atau kekuasaan sangat kuasa (powerfull) dalam membangun sistem tanda atau predikat atau istilah Noam Choamsky sebagai “American ideological system”, terhadap pihak yang “berlawanan”. Dalam kondisi seperti ini, yang ditakutkan kekuasaan tidak bebas kepentingan, termasuk kepentingan terhadap oposisi. Jika fenomena ini terjadi, maka sudah selayaknya kita perlu mengkritisi, agar tidak terjadi kesema-menaan dalam kehidupan berdemokrasi kita. Mengingat kekuasaan biasanya cenderung membentuk tafsir monolitik sebagai kebijakan agar tidak menimbulkan ambiguitas. Namun dunia akademis cenderung menampil lebih banyak alternatif dalam memberikan penilaian.
***
Kembali kepada taksonomi revivalis di atas, tampak bahwa term radikal merupakan salah satu wajah revivalis. Jika salafi bisa tampil dalam banyak wajah yang bahkan kontradiktif, maka radikal juga bisa demikian. Radikal dalam memegang prinsip kepercayaan, radikal dalam visi politik maupun radikal yang menjurus kepada hardline movement.
Menampilkan multi wajah radikal tidak dimaksudkan untuk mengaburkan pengertian, akan tetapi dalam rangka memberikan penilaian yang adil. Sekaligus juga sebagai prinsip kehati-hatian dan prinsip kekritisan agar tidak terjadi kesemana-memaan. Terlebih lagi di era demokrasi saat ini.
Hal penting yang harus terurai dengan baik adalah faktor-faktor yang mendorong lahir sikap dan pandangan radikal, dan faktor yang dapat menstimulasi transformasi sebuah paham menjadi tindak kekerasan. Jawaban atas kedua pertanyaan di atas akan sangat membantu upaya deradikalisasi. Sebagaimana sudah dijelaskan di atas, faktor yang paling kuat mendorong lahirnya para jihadis adalah rasa terhina, direndahkan, dirampas kedaulatan, hingga menanggung derita di tanah sendiri akibat tirani kekuasaan, oligarki baik dalam negeri maupun luar negeri. Ketidak adilan yang dipertontonkan telanjang akan menjadi amunisi bagi suburnya kelompok jihadis.
Sebagai penutup dari tulisan ringan ini, bahwa penting bagi kita melacak hulu dari segala masalah kekerasan atas nama agama. Kita harus bisa menari di pusaran dilema antara pasar bebas paham keagamaan dan tanggung jawab mengembangkan iklim beragama yang damai, sebagai konsekwensi Indonesia memilih demokrasi. Wa Allah a’lam.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari DETIKIndonesia.co.id. Mari bergabung di Channel Telegram "DETIKIndonesia.co.id", caranya klik link https://t.me/detikindonesia, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.
Penulis | : Eka Hendry Ar |
Editor | : Harris |
Sumber | : |
Halaman : 1 2