Oleh : Ahmad Matdoan – Caleg DPRD Kota Tual Tahun 2024 asal Partai Demokrat
Hari-hari terakhir ini bertepatan dengan jadwal pendaftaran bakal calon anggota legislatif di KPU, para bakal calon anggota legislatif “dihantui” dengan adanya permohonan Judicial Review “JR” Pasal 168 ayat 2 UU 7/2017 tentang Pemilihan Umum di Mahkamah Konstitusi “MK”.
Untuk lebih jelasnya berikut kutipan bunyi Pasal 168 ayat 2 UU 7/2017 tentang Pemilu yang saat ini diuji di MK, yaitu ; “Pemilu untuk memilih anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota dilaksanakan dengan sistem proporsional terbuka”
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Permohonan JR tersebut teregister dengan Nomor : 114/PUU-XX/2022, diajukan oleh Demas Brian Wicaksono dkk, mereka para pemohon pada intinya meminta agar Mahkamah menyatakan frasa “terbuka” pada Pasal 168 ayat (2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum dibatalkan karena bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “sistem proporsional tertutup”.
Jika dibaca dengan seksama alasan yang dikemukakan para pemohon pada intinya beleid yang mengatur sistem pemilu dilaksanakan secara terbuka dalam praktiknya selama ini telah melemahkan pelembagaan sistem kepartaian dan menimbulkan berbagai persoalan yang tidak mudah dihadapi oleh partai politik.
Diantara masalah yang muncul adalah hadirnya caleg pragmatis yang mengkebiri sistem pemilu secara terbuka dengan modal finasial yang kuat dan popularitas yang di masyarakat, caleg pragmatis ini bukan kader ideologis partai, tidak mengikuti jenjang pendidikan partai, tidak memiliki pengalaman dalam mengelola organisasi politik, tidak memiliki rekam jejak baik dalam organisasi masyarakat, tidak paham tentang arah dan tujuan partai politik, akibatnya ketika terpilih menjadi anggota legislatif seolah-olah tidak mewakili organisasi partai politik akan tetapi mewakili dirinya sendiri.
Penulis tidak sependapat dengan alasan yang dikemukakan para permohonan JR, sebab pertama ; belum dapat dibuktikan secara akademik korelasi antara pemberlakukan sistem pemilu proposional terbuka dengan melemahnya kelembagaan partai politik dengan sekelumit permasalahannya, apakah memang benar terjadi degradasi kelembagaan partai politik diakibatkan oleh sistem pemilu proposional terbuka? kedua ; jika terjadi degradasi kelembagaan partai politik mestinya yang dilakukan pembenahan adalah institusi partai politik itu sendiri, yaitu perubahan UU Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik bukan UU Pemilu, ketiga ; semua persoalan yang dijadikan alasan permohonan JR merupakan persoalan internal partai politik bukan karena alasan lemahnya sistem pemilu proposional terbuka, sehingga tidak tepat yang dilakukan perubahan adalah UU Pemilu dengan tujuan agar menyesuaikan dengan keadaan dan kondisi partai politik yang sedang sakit, mestinya partai politik lah yang berubah dan menyesuaikan diri dengan sistem pemilu yang berlaku saat ini, hal ini sama saja dengan diagnosisnya sakit kepala tetapi obat yang dikasih adalah sakit gigi, tentunya tidak nyambung alias tidak mengobati dan keempat ; tidak benar sistem pemilu secara tertutup lebih baik dari sistem secara terbuka, komperasi demikian adalah tidak tepat dan merupakan logika yang sesat, pada prinsipnya dalam sistem apa pun terdapat kelemahan dan kelebihannya masing-masing, secara jujur jika kita buat matriks perbandingan antara sistem pemilu terbuka dan tertutup, maka sistem pemilu terbuka lah yang lebih akomadatif dan terdapat banyak kebaikan terkandung didalamnya, karena sistem terbuka mendekati dengan substansi ruh demokrasi itu sendiri, yaitu kedaulatan berada ditangan rakyat, maka rakyatlah yang berhak menentukan sendiri siapa saja anggota legislatif yang mewakili suara mereka.
KECENDRUNGAN HAKIM MK
Kekuatiran calon anggota legislatif ini disebabkan karena, perjuangan mereka menjadi anggota legislatif menjadi lebih panjang, semula mereka hanya berjuang di masyarakat untuk mendapatkan suara terbanyak, kini ditambah lagi dengan perjuangan mendapatkan nomor urut di partai politik, sebab sebanyak apa pun suara yang didapatkan tetapi tidak mendapatkan nomor buncit, maka itu sia-sia saja.
Nah menariknya dalam pemeriksaan perkara di MK, kecendrungan Hakim MK pada perubahan sistem lebih menguat, hal itu terlihat pada pertanyaan yang disampaikan oleh Prof. Saldi Isra, “kalua sistem campuran, bagaimana penerapannya dalam sistem politik kita? Pertanyaan itu diontarkan ke Ahli, kemudian Prof. Saldi soal waktu penerapan yang tepat, apakah pemilu tahun 2024 atau kah Tahun 2029, “kalua harus mengubah kira-kira kapan yang paling masuk akal?” demikian pertanyaan lanjutan Prof Saldi kepada Ahli.
Selain itu pertanyaan dilontarkan juga oleh Hakim MK Prof. Arif Hidayat “apakah juga sistem ini, sistem terbuka kompatibel affirmative action?” lebih lanjut Prof. Arif Hidayat mensimulasikan sistem pemilu campuran, yaitu “”Dengan sistem terbuka, itu kan terjun bebas yang memilih langsung rakyat, sehingga affirmative action yang mulai disusun berdasarkan Undang-Undang Parpol ke pengurusannya, sampai ke pencalonan yang afirmatif itu, terjun bebas dilakukan pemilihan secara langsung oleh rakyat. Akhirnya, rakyat memilih bukan yang sesuai dengan afirmatif itu. Calon perempuan tidak masuk ke DPR, DPRD, DPRD provinsi dan kabupaten/kota karena terjun bebas,”
Dari pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan Hakim MK ini dapat disimpulkan keyakinan Hakim akan sistem pemilu yang tepat diterapkan di Indonesia saat ini adalah sistem capuran, sebab keyakinan Hakim akan antara sistem terbukan atau tertutup memiliki kekurangan dan kelebihan masing-masing, sehingga keinginan mengawinkan kedua sistem terbuka dan tertutup adalah solusi yang tepat.
MENURUNYA PARTISIPASI PEMILIH JIKA SISTEM TERTUP MURNI DIBERLAKUKAN
Banyak caleg berkeinginan mengundurkan diri dan tidak mengikuti pencalonan jika sistem Pemilu tertup murni diberlakukan, terutama caleg yang mendapatkan nomor urut di bawah, sebab menurut mereka perjuangan mereka akan sia-sia saja karena yang akan terpilih adalah nomor urut buncit.
Jika hal ini yang terjadi, sangat mungkin minat masyarakat untuk datang ke TPS akan menurun dan berdampak pada menurunnya partisipasi pemilih.
Hal ini perlu menjadi perhatian MK membaca perkembangan psikologi caleg dan pemilih saat ini sebagai faktor non hukum dalam pengambilan putusan permohonan JR Pasal 168 ayat 2 UU 7/2017 yang saat ini berproses di MK.
SISTEM CAMPURAN PALING IDEAL
Sebenarnya selama ini sistem pemilu yang kita laksanakan adalah sistem campuran, sebagaimana diatur dalam Pasal 168 ayat 2 dan 3 UU 7/2017, lengkapnya Pasal 168 ayat 2 ; “Pemilu untuk memilih anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota dilaksanakan dengan sistem proporsional terbuka” dan ayat 3 ; “Pemilu untuk memilih anggota DPD dilaksanakan dengan sistem distrik berwakil banyak”
Konstruksi Pasal 168 ayat 1 dan 2 di atas mengakomodir dua sistem pemilu untuk dua rezim pemilu, yaitu sistem proposional terbuka untuk rezim pemilu DPR, DPRD Provinsi dan Kabupaten/Kota dan sistem pemilu distrik berwakil suara terbanyak untuk rezim pemilu anggota DPD.
Jadi bukan hal yang baru kaloborasi sistem pemilu di Indonesia ini, karena memang selama ini sudah diterakan.
Begitu pun hal yang sama dapat diterapkan pada rezim pemilu DPR, DPRD Provinsi dan Kabupaten/Kota pada Tahun 2024, sistem pemilu campuran (kaloborasi) tertutup dan terbuka, sistem tertutup untuk mengakomodir affirmatif action kuota 30% perempuan dari jumlah anggota DPR, DPRD Provinsi dan Kabupaten/Kota dan sistem terbuka untuk untuk quota kursi 70% diperbutkan secara bebas baik caleg laki-laki maupun perempuan.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari DETIKIndonesia.co.id. Mari bergabung di Channel Telegram "DETIKIndonesia.co.id", caranya klik link https://t.me/detikindonesia, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.Penulis | : Ahmad Matdoan |
Editor | : Mufik |
Sumber | : |