“MPR RI saat ini berbeda dengan MPR RI sebelum amandemen konstitusi. Di UUD 1945 yang lalu, MPR RI sebagai lembaga tertinggi negara, bisa mengeluarkan sejumlah TAP MPR guna mengatasi krisis konstitusi. Bahkan pada saat melantik Presiden dan Wakil Presiden saja, MPR RI tidak mengeluarkan TAP MPR tentang pelantikan, melainkan hanya mengeluarkan Berita Acara Pelantikan. Hal ini jugalah yang perlu dibahas dan didalami lebih lanjut, tentang penataan kewenangan kelembagaan sekaligus penataan sistem hukum dan peraturan perundang-undangan berdasarkan Pancasila sebagai sumber segala sumber hukum negara,” jelas Bamsoet.
Wakil Ketua Umum FKPPI sekaligus Kepala Badan Hubungan Penegakan Hukum, Pertahanan dan Keamanan KADIN Indonesia ini menerangkan, Prof. Yusril juga menyoroti tentang komposisi keanggotan MPR RI yang saat ini hanya terdiri dari anggota DPR RI dan anggota DPD RI. Tidak ada lagi Utusan Golongan yang bisa merepresentasikan kelompok masyarakat, seperti Suku Dani dan Suku Dayak. Akibatnya, tidak ada lembaga yang merepresentasikan seluruh kepentingan bangsa Indonesia.
“MPR RI juga telah menerima aspirasi serupa tentang pentingnya Utusan Golongan dalam komposisi keanggotan MPR RI. Sebagaimana disuarakan Pimpinan Pusat Muhammadiyah (PP Muhammadiyah), Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), Majelis Tinggi Agama Konghucu (MATAKIN), serta Perwakilan Umat Buddha Indonesia (Walubi). Menanggapi hal ini, MPR RI akan mengajak para pakar hukum tata negara serta para tokoh bangsa untuk berdiskusi lebih dalam tentang urgensi menghadirkan kembali Utusan Golongan, sehingga bisa merepresentasikan seluruh aspirasi dan kepentingan rakyat secara komprehensif,” pungkas Bamsoet. (*)
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Penulis | : Tim |
Editor | : Aisyah |
Sumber | : |
Halaman : 1 2