Ia menambahkan jika Bersamaan dengan melesatnya era digitalisasi yang mulai mengikis kesadaran rakyat atas wawasan kebangsaan dan batas-batas teritorial maka desentralisasi adalah upaya yang paling masuk akal yang bisa dilakukan negara, sebab jika kita hanya bersandar kepada jargon dogmatis semacam “NKRI harga mati” maka potensi kecolongan disintegrasi bangsa selalunya akan menghantui kita; terutama belakangan ini menjamur realitas-realitas baru dalam media sosial, yang mana tidak mengenal batas teritorial. Tukas Arvindo
Maka menurut Noviar bahwa satu-satunya yang mampu mengikat rakyat Indonesia dalam desentralisasi ke depan ialah adagium “Bhineka Tunggal Ika” yang dihayati dan diwujudkan dalam program-program serta regulasi-regulasi yang menyentuh rasa keadilan rakyat dari Aceh hingga Papua. Tak cukup dengan program dan regulasi, pendidikan Kebhinekaan juga harus gencar ditanamkan secara paradigmatik oleh negara kepada seluruh rakyat Indonesia.
Sambung Arvindo, tetapi semangat awal yang mulai memberikan harapan akan hadirnya Kebhinekaan itu runtuh ketika Negara pada akhirnya memilih nama “Nusantara” sebagai nama Ibu Kota baru tersebut. Secara semiotik saya menilai nama itu terlalu mewakili suku tertentu saja. Alih-alih menjadi ikon desentralisasi justru nama Ibu Kota Baru itu bias mayoritas-minoritas. Dan tanpa mengurangi rasa hormat kepada seluruh pihak yang berkerja keras dalam proyek ambisius itu saya menilai nama Ibu Kota baru itu masih terkesan Jawanisasi. Tutup Arvindo Noviar, Ketua Umum Partai Rakyat
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Penulis | : Tim |
Editor | : Harris |
Sumber | : |
Halaman : 1 2