LaNyalla bersyukur beberapa persoalan yang dihadapi daerah dan stakeholder di daerah mampu diselesaikannya. Hanya saja, kewenangan yang terbatas itu membuat DPD RI tak bisa mengeksekusi langsung persoalan yang ada di masyarakat. Kasus Surat Ijo di Surabaya misalnya. Meski semua kementerian telah setuju, namun masih terkendala persetujuan Presiden Jokowi.
“Saya terus mengupayakan karena Surat Ijo ini hanya menunggu persetujuan Presiden saja. Presiden di mana-mana bagi sertifikat tanah. Surat Ijo ini sudah bersertifikat, tinggal dibagikan saja kepada masyarakat,” ungkapnya.
Menurut LaNyalla, salah satu kendala yang dihadapi DPD RI adalah imbas dari kecelakaan konstitusi sejak amandemen 1999 hingga 2002. Karena sejak saat itu, LaNyalla menyebut Indonesia melakukan perubahan besar-besaran terhadap sistem ketatanegaraan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Amandemen yang pada awalnya dimaksudkan untuk melakukan penyempurnaan atas Undang-Undang Dasar 1945 naskah asli, ternyata berubah menjadi pembongkaran total atas konstitusi yang dihasilkan para pendiri bangsa tersebut.
“Padahal, perubahan konstitusi seharusnya dilakukan dengan Adendum, sehingga tetap berada dalam koridor struktur bangunan konstitusi tersebut. Meskipun dilakukan amandemen, konstitusi kita tetap nyambung dengan Pancasila dan teks Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945,” jelasnya.
Faktanya, kata LaNyalla, konstitusi kita saat ini sudah tidak nyambung lagi dengan Pancasila dan teks Pembukaan UUD 1945. Sejak amandemen saat itu hingga hari ini, entitas civil society non-partisan terpinggirkan. Semua simpul penentu perjalanan bangsa ini direduksi hanya di tangan partai politik. Inilah yang kemudian menghasilkan pola the winner takes all. Partai-partai besar menjadi tirani mayoritas untuk mengendalikan semua keputusan melalui voting di parlemen.
“Mereka juga bersepakat membuat Undang-Undang yang memberi ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold,” akuny.
Padahal, ia melanjutkan, dalam pasal 6A UUD 1945 ambang batas pencalonan Presiden 20 persen sama sekali tak diatur. Hal itu diatur dalam pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Artinya, ambang batas pencalonan Presiden melanggar konstitusi.
“Itu sebabnya DPD RI secara kelembagaan mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi, karena memang melanggar konstitusi kita. Seharusnya tidak ada ambang batas pencalonan Presiden, sehingga semua partai politik peserta pemilu dapat mengajukan calon Presiden. Juga, dibuka kesempatan untuk masyarakat non-partisan untuk mencalonkan Presiden,” tambahnya.
Oleh karenanya, dalam menata bangsa ini ke depan LaNyalla memulainya dengan meluruskan niat yakni murni untuk memperbaiki negara ini. “Kedua, harus konsisten dan tidak terlibat dengan oligarki ekonomi. Ketiga, harus berani menyampaikan apa yang benar itu benar. Apa yang haq itu haq. Harus
berani keluar dari mainstream oligarki ekonomi. Rakyat harus diberi tahu apa yang sebenarnya terjadi,” tutupnya.
Penulis | : Tim |
Editor | : Michael |
Sumber | : LaNyalla Center |
Halaman : 1 2