Oleh: Ismail Asso – (Ketua Yayasan Pondok Pesantren Al Hidayah Firdaus Asso Koya Koso Jayapura Papua)
Judul diatas menegasikan segala upaya penafsiran meng-asosiasi-kan Tanah Papua dengan segala macam atribut palsu, tafsiran berbagai kelompok agama dan pemerintah runtuh karena dibangun diatas argumentasi dasar yang keropos. Suatu kepalsuan cepat atau lambat selalu dan selamanya runtuh. Untuk membuktikan itu tulisan ini pendekatan filsafat hemeutik.
Papua Tanah Adat
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Papua Tanah Adat, sama dengan, ‘Papua Bukan Tanah Tak Bertuan’, redaksi judul tulisan ini, “Papua Tanah Tak Bertuhan”, dalam tanda petik, agar mengerti apa maksudnya silahkan baca sampai selesai.
Usaha apapun kelompok agama dan pemerintah bisa dan boleh karena itu selama ini Tanah Papua dianggap Tanah dengan berbagai derivasi idiom masing-masing. Perspective keyakinan mereka sebagai suatu kebenaran palsu.
Sejatinya sekalipun usaha itu boleh dan baik Tanah Papua bukan milik Agama tapi milik orang Papua atau Masyarakat Adat Papua. Hal ini sering diucapkan dalam bentuk pameo populer dikalangan Adat semua Suku Papua dalam berbagai kesempatan sbb:
“ Adat ada dulu baru Agama dan Pemerintah datang kemudian”.
Adat itu apa?
Menurut Jalaluddin Tunsam (seorang yang berkebangsaan Arab yang tinggal di Aceh dalam tulisannya pada tahun 1660). “Adat” berasal dari bahasa Arab عادات, bentuk jamak dari عادَة (adah), yang berarti “cara”, “kebiasaan”.
Di Indonesia, kata “adat” baru digunakan pada sekitar akhir abad 19. Sebelumnya kata ini hanya dikenal pada masyarakat Melayu setelah pertemuan budayanya dengan agama Islam pada sekitar abad 16-an. Kata ini antara lain dapat dibaca pada Undang-undang Negeri Melayu. (Wikipia).
Frasiologi dipinjam dari bahasa Arab bermakna “cara”, atau “kebiasaan” ini serapan dari kata Al-Adah (Arab), dipinjam kedalam bahasa Melayu oleh ulama Aceh abad ke-16, dibakukan kedalam bahasa Indonesiasi dikenal sebagai kata Adat.
Papua Tanah Adat
Kalimat “Papua Tanah Adat” terdiri dari tiga kata. Kata “Papua” berarti sebutan nama tempat, Wilayah, lokasi, ruang lingkup letak secara geografis.
Sedangkan kata “Tanah” berarti alam beserta isi kandungannya, dalam batas tertentu didalamnya ada air, tumbuhan, gunung dan sungai terkandung diatas dan didalam lahan tanah Adat.
Kata “Adat”, sesuai definisi diatas yakni “cara” atau “kebiasaan” orang Papua. Berarti Hukum Adat adalah konsep tata nilai, tata aturan masyarakat Adat Papua terhadap Tanah.
Papua Tanah Adat, dimaksud hukum adat (kebiasaan) dalam perjalanan hidup dan kehidupan orang Papua dalam tatanan nilai yang dihayati manusia dengan alam sekitarnya.
Orang Papua mengakui Tanah, sungai, gunung dan alam sekitar beserta segala kandungan isinya sebagai warisan leluhur yang kini diwariskan secara turun-temurun dengan batas-batasnya.
Dalam batas itu orang Papua menganggap Tanah tak lain sebagai diri- (manusia menyatu dengan alam) -dalam wujud lain, secara imanen. Tapi bukan panteisme, melainkan idioma personifikasi diri dengan alam.
Orang Papua menghubungkan diri dengan alam, memberi nama pada anak keturunan dengan alam sebagai simbol melekat dengan alam. Marga/fam orang Papua ada hubungannya dengan asal-usul Tanah Leluhur darimana mereka berasal-mula muncul kini ada.
Tanah Adat wujud lain dari diri. Disitu tatanan nilai dipatuhi; Tanah, Sungai, Gunung, mendengar manusia, diajak bicara dan menurut kehendak pemilik, orang Papua.
Tanah Adat diperlakukan setengah manusia, sebagai diri dalam wujud lain. Tanah Adat menjadi hak milik klen (marga) secara patrilineal.
Hukum Adat Budaya Papua tidak diwariskan kepada wanita. Seorang anak perempuan menikah melahirkan anak menurunkan marga suami.
Papua kenal konsep Tanah Keramat. Di Papua terdapat banyak Tanah Keramat (area yang tidak boleh dimasuki orang lain). Wanita tak dapat diwariskan Tanah Adat karena tidak membawa Marga / Fam.
Ada sedikit tafsir simbol tanah dan wanita sebagai lambang kesuburan ada hubungannya manusia keluar dari goa (mungkin juga) rahim wanita. Maka ditafsirkan “Tanah Adat” tak bukan “Mama” yang menjadikan dari tiada menjadi ada.
Tanah Adat dalam religi Suku Dani Lembah Baliem erat terkait dengan manusia awal “Wagelogowak”.
Manusia awal moyang suatu klen memiliki riwayat dengan alam, gunung, dalam batas-batas tegas kepemilikannya itu selalu disimbolkan dengan pemotongan daun telingga seekor hewan (babi) sebagai symbol (tanda) persembahan untuk Tanah, Gunung, Sungai semua tujuan ditujukan/ dipersembahkan.
Bukan Tanah Agama
Papua bukanlah Tanah Agama tapi Tanah Adat. Tanah ada pemilik yakni orang Papua, kepemilikan dalam batas-batas, dalam tatanan nilai sebagai hukum Adat.
Tanah Papua milik orang Papua dengan kompleksitas pemaknaan difinisi tanah sebagaimana dijelaskan secara singkat diatas.
Karena itu BPN menerbitkan sertifikat Tanah setelah Surat Pelepasan Adat barulah boleh mendirikan tempat Ibadah demikian pemerintah mendirikan bangunan apapun.
UUD 45, Pasal 34:” Bumi dan Air beserta kandungan Alamnya dikuasai Negara untuk kepentingan dan kesejahteraan seluruh Rakyat Indonesia”. Dalam prakteknya di Papua negara wajib miliki Surat Surat Pelesan Tanah Adat.
Jargon Pembenaran
Selama ini jargon pemimpin sering menyesatkan masyarakat. Mereka boleh menganggap begitu sesuai kamampuan interpretasi “terbatas”, memahami teks kitab suci secara parsialisme.
Jargon itu terlanjur diterima audiance sebagai pembenaran (bukan kebenaran) secara keliru. Asumsi keliru itu sesungguhnya bertentangan dengan sosiologis dan antropologi Papua.
Menafikan hak kelangsungan hidup tentram masyarakat Adat “bikin onar (ribut) model begini” biasanya bukan orang Papua melainkan datang dari luar.
Sebenarnya mereka tidak punya hak atas Tanah Papua tapi mereka bawa “buku”, persis, Yulius Nyerere, dari Tanzania, pemikir dan konseptor benua Afrika menyindir:
“Dulu mereka hanya punya Injil, kami punya Tanah, kini mereka punya Tanah, kami hanya Punya Injil”.
Orang Afrika digiring masuk perangkap penjajah tapi tak sadar Tanah dikuasai dan rakya di-nina-bobo-kan dengan janji manis keselamatan sesudah kematian.
Adat Agama dan Pemerintah
Belakangan ini muncul jargon ditelinga kita “Papua Tanah Injil”, “Papua Serambi Madinah”, “Papua Tanah Damai”, “Papua Tanah Ini-itu”.
Perhatikan!
Bahwa keseluruhan jargon itu baru setelah ada Otsus yang sebelumnya tidak dikenal malah asing dalam Adat Budaya orang Papua Asli.
Ketika Papua terus-menerus menagalami nasib “dari pangkuan ke pangkuan”. Disini pernah hadir orang asing dari luar. Mereka itu kini sudah diusir pergi oleh Indonesia sebagai penjajah.
Tapi melalui lisan dan pikiran keluar dari bibir anak-anak Papua yang berhasil dididik kembali “hadir” menjajah alam pikiran dengan jargon Papua ini dan itu.
Sesungguhnya jorgon semacam itu tujuannya baik tapi tidak dikenal dalam tradisi Adat Budaya Papua dan itu bukan berasal dari Papua sehingga asing malah aneh.
Padahal Pameo Papua: “Adat Ada dulu baru Agama dan Pemerintah ‘ko datang dari belakang’ cari orang Papua”.
Ini mengandaikan kita bahwa Adat diatas segala dari hal baru yang ditemukan seperti Agama dan Pemerintahan kolonial. Karena itu agama tak boleh menjajah Papua.
Ini berarti bukan hal baru mau memaksa menguasai Tanah Adat Papua dengan berbagai label asing dan aneh. Oleh sebab itu segala perbedaan diselesaikan melalui Adat. Adat Papua sendiri netral. Bebas nilai.
Pertanyaan saya benarkah “Papua Tanah Damai”? Saya skeptis. Tiap hari orang Asli Papua mati dibunuh beragam mudus operandi.
Benarkah “Papua Tanah Injil”? Muncul pertanyaan lagi. Apakah Yesus dan Muhammad Orang Papua?
Kalau iya dari Papua mana? Marga apa? Marga Yelipele dari Welesi atau Marga Bauw dari Fak-Fak ataukah Marga Wetipo dari Hitigima?
Apakah Yesus dan Muhammad berasal dari salah satu tujuh Suku Papua, Mee Pago, La Pago, Animha, Bomeray, Sairery ataukah Tabi?
Kalau bukan jangan bikin ribut di Papua soal agama. Agama apapun tak berhak cliem diri paling berhak atas Tanah Papua.
Ingat! Semua agama pendatang baru, tak berhak pakai atribut atas Tanah Papua.
Mengingat sejarahnya Islam sudah ada 200 tahun lebih dulu, ketika Otto dan Geisler dari Jerman ke Papua setelah selama 9 bulan tinggal di Batavia (Jakarta) diiringi kuli panggul asal Dayak Kalimantan (Benny Giay, 1997).
Kesultanan Tidore klaim diri penguasa atas Tanah Papua (kala itu) mengizinkan Otto dan Geizler masuk ke Papua bagian Utara, tepatnya di Pulau Mansinam, Tanggal 5 April 1855.
Karena di Selatan Wilayah Papua ratusan tahun Islam sudah ada di Raja Ampat, Bintuni, Fak-Fak dan Kaimana (Toni Wanggai, Rekontruksi sejarah Islam Papua).
Maka dalam sejarahnya di Fak-Fak, Bintuni dan Kaimana Muslim dan penganut agama Katolik hidup berdampingan, akur dan berhubungan baik dengan Islam berlangsung sampai saat ini.
Mengingat Islam memberi tempat Saudara baru yang dibawa Belanda yakni agama Katolik melalui guru-guru asal Key.
Mengapa di Jawa Madura atau umumnya Indonesia bagian Barat beda dengan kita Papua?
Agama Islam di Ternate dan Aceh itu sejak Abad ke 13 sudah berdiri kerjaan Islam Pasai di Aceh, Demak di Jawa dan Kesultanan Tidore Maluku Utara dalam rentang sejarah panjang.
Islam masuk ke Papua sudah ratusan tahun dan bukti artefak dapat ditemukan misal Al Qu’an tulisan tangan masih ada di Fak-Fak sampai hari ini (Toni Wanggai, 2011).
Kalau agama Kristen baru mendirikan Tugu diperjuangkan Velix Wanggai (Staf Khusus Presiden SBY), anak seorang Haji Alm. Sofyan Wangai (Mujahid Islam Papua). Makna simbolik tugu pengingat di Mansinam, tahun 1855 setelah ratusan tahun Islam ada di Bintuni, Raja Ampat, Fak-Fak.
Sedangkan Kristen di Papua pedalaman dibantu bebaskan zaman Presiden Soeharto Missionaris pakai pesawat MAF, CAmA, AMA, berlomba baru selesaikan tugas missionaris baru selasai akhir 1980-an. Artinya Papua menjadi pemeluk agama Kriaten baru (muallaf).
Ukemarik Asso di Hetigima sebagai Kepala Suku Besar Lembah Baliem merima utusan Missionaris tahun 1957. Jadi Kekristenan Papua itu relatif baru. Terutama wilayah padat penduduk di pegunungan. Orang Papua awalnya menolak habis-habisan kehadiran agama Kristen.
Missionaris punya trategi bangun Balai Pengobatan dan Sekolah. Inilah untuk selanjutnya menggiring anak-anak Papua masuk kedalam agama mereka.
Karena itu sampai hari ini tua-tua Adat di Wilayah pedalaman Pegunungan Papua masih menghayati nilai lama leluhur sekalipun ada klaim wilayah ini sebagai wilayah basis pelayanan misi agama tertentu. Tapi nilai penghayatan orang pedalaman kepada agama kurang.
Agama bagi mereka semacam prestise, “biar nama naik”, berorientasi duniawi bukan menghayati benar-benar agama sebagai jalan selamat mereka sesudah kematian.
Hal ini berbeda di Indonesia bagian barat. Mereka menerima Agama dalam rentang waktu yang cukup panjang-lama, sehingga budaya dan Adat mereka sudah terjadi semcama sinkretisme, bercampur baur antara agama dan budaya lokal.
Wajar kalau kemudian apalagi penolakan mereka terhadap Gereja karena Kekristenan identik dengan Belanda dan Belanda sendiri penjajah Indonesia selama 350 tahun mereka sangat diperlakukan tidak manusiawi.
Tan Haar, zaman kolonial Belanda berkuasa pernah berdebat dengan Snouck Hurgronje, soal pelaksanaan hukum adat perkawinan, perbedaan Aceh dan Jawa Madura, soal warisan, Tanah, seputar syari’at Islam.
Bagi Tan Haar, selaku penasehat politik Belanda sebagai ahli hukum, menyarankan agar pelaksanaan perkawinan di Jawa-Madura dilakukan sesuai Adat karena walau mereka muslim tapi banyak praktek mistisme, mereka belum sepenuhnya memahami islam tapi masih dangkal.
Hal ini dibantah Prof, Snouck Hurgronje, menurutnya melawan argumentasi Tan Haar, apakah orang Belanda yang jarang pergi ke Gereja tiap minggu di Belanda sana dianggap bukan masyarakat Kriatiani lantaran mereka jarang ke Gereja? Apakah orang Belanda mau disebut masyarakat muslim?
Betapapun orang Jawa Madura tak taat agama tapi mereka sudah menerima Islam sebagai agama mereka oleh sebab itu penerapan hukum perkawinan harus sesuai hukum perkawinan islam, makanya Belanda menyediakan penghulu sebagai pegawai untuk mengesahkan perkawinan sesuai syariat islam.
Hal ini berimplikasi soal warisan didalamnya soal Warisan Tanah. Nah kalau kita di Papua berbeda. Tanah di Papua ada pemilik sejati yakni orang Papua. Pengaturan Tanah Papua berbeda dengan hukum Islam. Di Papua penguasaan Tanah oleh klen atau suku yang tidak bisa dijual-belikan perorangan.
Gus-Dur mengembalikan hak atas Tanah ke pemilik Asli yakni orang Papua. Makanya BPN saat ini tak akan berani keluarkan Sertifikat Tanah apabila belum ada Surat Pelepasan Adat. Disini masalahnya yang belum diketahui pihak lain disini.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari DETIKIndonesia.co.id. Mari bergabung di Channel Telegram "DETIKIndonesia.co.id", caranya klik link https://t.me/detikindonesia, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.Penulis | : Ismail Asso |
Editor | : Yuli |
Sumber | : |