DETIKINDONESIA.CO.ID, TIMIKA – Kasus pencabulan yang dilakukan eks Kapolres Ngada Nusa Tenggara Timur (NTT), AKBP Fajar Widyadharma Lukman Sumaatmaja merupakan salah satu kasus terkelam sepanjang sejarah Perlindungan Anak Indonesia. Pasalnya, hal tersebut dilakukan oleh seorang Perwira Menegah Kepolisian Republik Indonesia terhadap beberapa anak dibawah umur yang menjadi korban atas tindakan bejadnya dan teman wanita asusilanya bernama Fanny (Stefani) berusia 20 tahun.
Kejadian tersebut memancing kecaman dari berbagai pihak masyarakat. Tak luput dari salah seorang Pengawas Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI), Idam Khalid juga turut mengomentari perbuatan bejad tersebut dinilai dilakukan secara sistematis dan terencana.
Idam mengatakan bahwa pelaku harus mendapatkan hukuman yang seberat-beratnya agar hal serupa tidak terjadi lagi dikemudian hari, apalagi dilakukan oleh seorang perwira polisi.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
“Sunguh ini merupakan tindakkan kejih, apalagi dilakukan oleh seorang polisi. Harusnya sebagai penegak hukum itu melindungi, bukannya malah melakukan tindakan diluar akal manusia. Perbuatan itu tidak bisa ditolerin lagi. Dia (pelaku) harus mendapatkan hukuman yang seberat-beratnya, termasuk teman asusilanya si Fanny. Bukan hanya mencoreng instansi kepolisian, tapi juga menggores luka yang dalam bagi seluruh Anak Indonesia,” kata Idam saat dimintai keterangan melalui sambungan telepon, Jumat (28/3/2025).
Idam juga menekankan bahwa perbuatan asusila yang dilakukan Fajar bersama dengan Fanny merupakan kasus yang berbeda dengan perbuatan seksualnya terhadap tiga orang anak dibawah umur yang berusia 6 tahun, 13 tahun dan 16 tahun.
“Kepolisian harus bisa membedakan tindakan yang dilakukan oleh Fajar dengan Fanny yang merupakan teman seksualnya, dan perbuatan Fajar terhadap ketiga anak dibawah umur yang menjadi korbannya. Keduanya merupakan hal yang berbeda tentunya. Tindakan Fajar dan Fanny merupakan perzinahan yang didasarkan sama-sama suka, sedangkan tindakannya terhadap anak dibawah umur merupakan tindakan pidana pemerkosaan anak,” ujar pria yang juga merupakan pendiri dari Lembaga Pelatihan Kerja LPK Idaman Karya Mandiri Training Center (IKMTC) Timika, Papua Tengah.
Lebih lanjut Idam memaparkan, pemerkosaan terhadap anak dibawah umur sudah diatur dalam Undang-Undang Perlindungan Anak. “Kemudian, Pasal 76D UU 23 Tahun 2014 juga menuliskan setiap orang dilarang melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain.
Dirinya juga menambahkan bahwa menurut Pasal 81, UU Nomor 17 Tahun 2016 mengatur tentang tindak pidana perkosaan terhadap anak. Pasal ini merupakan penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1/2016 tentang perubahan kedua atas UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
“Dalam Pasal 81, Perppu Nomor 1/2016 ayat (1) hingga ayat (9) sudah mengatur larangan dan hukuman bagi pelaku pemerkosaan anak. Jadi pelaku dapat diberikan hukuman paling lama 15 tahun penjara dan denda lima miliar rupiah. Jika perlu pelaku di pidana seumur hidup atau pidana mati karena korbanya lebih dari satu orang, apalagi kalau sampai korban mengalami depresi berat (gangguan jiwa) dan hilangnya fungsi reproduksi,” jelasnya.
Mantan petuah karyawan 38 tahun di Freeport Indonesia itu juga menegaskan agar Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) harus mengambil peran dalam mengawal kasus ini agar dapat memberikan keadilan bagi korban. Dirinya menyarankan agar korban mendapatkan uang restitusi untuk memulihkan kerugian yang timbul akibat peristiwa tersebut baik materil maupun inmaterial, serta pelaku harus dikebiri kimia.
“Pelaku pemerkosaan anak harus dimiskinkan, hartanya diambil dan diberikan pada korban tindak pidana atau ahli warisnya untuk kompensasi atau uang restitusi, sebagaimana diatur dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2022 dan PP Nomor 44 Tahun 2008. Disinilah LPSK memiliki peran penting dalam memberikan pendampingan kepada para korban. Agar tidak mengulangi perbuatannya, pelaku juga harus di kebiri kimia dan dipasang alat pendeteksi,” tegasnya.
Sebagai Pengawas LPAI, Idam Khalid mendukung penuh langkah-langkah yang dilakukan oleh Ketua Lembaga Perlindungan Anak (LPA) NTT, Veronika Ata atau yang akrab disapa Kak Tory dalam mengawal kasus tersebut. Terkait pandangan hukum dari sisi seorang Ketua LPA NTT melalui surat yang ditujukan kepada Kapolda NTT, Idam juga secara lantang memberikan masukan kepada pihak kepolisian agar memasukan Pasal Perlindungan Anak dan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO).
“Sebagai Pengawas LPAI, saya mendukung penuh apa yang telah dilakukan oleh Ketua LPA NTT, Kak Tory dalam mengawal kasus tersebut. Sudah benar apa yang dilakukan oleh beliau dengan mengirimkan surat kepada Kapolda NTT agar kasus ini benar-benar mendapatkan perhatian khusus, karena pasal-pasal yang ditetapkan dinilai kurang memberikan keadilan bagi perlindungan anak. Dalam suratnya, Kak Tory meminta agar pasal-pasal yang ditetapkan oleh penyidik harus menggunakan UU Perlindungan Anak dan TPPO. Jangan karena pelakunya oknum polisi, lalu penyidik hanya menetapkan pasal yang jauh dari perlindungan anak. Keadilan harus benar-benar ditegakan bagi Anak Indonesia sebagai generasi penerus bangsa,” tutup Idan yang juga sebagai Ketua LPA setanah Papua.
Bunyi Pasal 81, Perppu Nomor 1 Tahun 2016;
(1) Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76D dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
(2) Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku pula bagi setiap orang yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk Anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain.
(3) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh orang tua, wali, orangorang yang mempunyai hubungan keluarga, pengasuh anak, pendidik, tenaga kependidikan, aparat yang menangani perlindungan anak, atau dilakukan oleh lebih dari satu orang secara bersama-sama, pidananya ditambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(4) Selain terhadap pelaku sebagaimana dimaksud pada ayat (3), penambahan 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana juga dikenakan kepada pelaku yang pernah dipidana karena melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76D.
(5) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76D menimbulkan korban lebih dari 1 (satu) orang, mengakibatkan luka berat, gangguan jiwa, penyakit menular, terganggu atau hilangnya fungsi reproduksi, dan/atau korban meninggal dunia, pelaku dipidana mati, seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 10 (sepuluh) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun.
(6) Selain dikenai pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5), pelaku dapat dikenai pidana tambahan berupa pengumuman identitas pelaku.
(7) Terhadap pelaku sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (5) dapat dikenai tindakan berupa kebiri kimia dan pemasangan alat pendeteksi elektronik.
(8) Tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (7) diputuskan bersama-sama dengan pidana pokok dengan memuat jangka waktu pelaksanaan tindakan.
(9) Pidana tambahan dan tindakan dikecualikan bagi pelaku Anak.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari DETIKIndonesia.co.id. Mari bergabung di Channel Telegram "DETIKIndonesia.co.id", caranya klik link https://t.me/detikindonesia, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.Penulis | : TIM |
Editor | : MUFIK |
Sumber | : |