Oleh : Umi Illiyina, SH, MH. (Advokat, Konsultan Hukum dan Peneliti)
Masalah perempuan atau bagaimana perempuan diletakkan dalam kehidupan bernegara kembali penting untuk dibahas. Saat ini perempuan berada pada titik simpang yang dapat membawa posisi perempuan kedua arah yang berlawanan. Kita masih menyaksikan arus perjuangan perempuan menuju kesetaraan gender seperti yang terjadi di berbagai negara dan secara proaktif diperjuangkan oleh para aktivis perempuan. Gagasan kesetaraan gender bukanlah gagasan baru dan tidak seluruhnya merupakan gagasan yang berasal dari luar.
Sejak awal abad ke-19 tercatat oleh sejarah Bangsa Indonesia bahwa beberapa perempuan di Indonesia telah tampil dalam membela hak-hak kaum perempuan serta tanah airnya. Sebut saja, R.A. Kartini, Cut Nyak Dien, Christina Martha Tiahahu, Nyai Walidah Ahmad Dahlan dan lainnya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Sebelum kemerdekaan telah lahir organisasi perempuan pertama di Indonesia yaitu Poetri Mardika pada tahun 1912 atas prakarsa dari Budi Oetomo. Kelahiran organisasi Poetri Mardika dan gerakan perempuan di Indonesia memang tidak bisa dipisahkan dari gerakan nasional bahkan internasional yang memperjuangkan emansipasi, nasionalisme, dan kebebasan dari kolonialisme (Suryochondro, 2000). Setelah itu berdirilah berbagai organisasi perempuan lain seperti Jong Java Meiskering, Young Javanese Girls Circle, Wanita Oetomo, Aisyiah, Poetri Indonesia, dan lain-lain (Muhadjir Darwin, 2004).
Bila sebelumnya penguatan peran perempuan dilakukan melalui organisasi-organisasi kemasyarakatan, saat ini negara telah memainkan peranan penting untuk memperkuat kedudukan perempuan. Misalkan Pasca reformasi 1998 lahir komisi negara independen atau “state auxiliaries bodies” yang fokus pada isu perempuan, yaitu Komnas Perempuan yang didirikan tanggal 15 Oktober 1998 berdasarkan Kepres No. 181 Tahun 1998 yang kemudian diperbaharui oleh Perpres No. 65 dan 66 Tahun 2005. Pemerintah juga membentuk Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Anak.
Meskipun demikian, kaum perempuan masih terpinggirkan dalam penulisan sejarah dan perannya dalam kehidupan politik kontemporer. Masih ada stereotype atau pelabelan dari masyarakat dimana perempuan dianggap tidak memiliki kapabilitas untuk menjadi seorang pemimpin. Hal ini terjadi secara kultural salah satunya melalui domestifikasi perempuan yang membuat perempuan tidak bisa menjadi pemimpin untuk umum. Pola pikir seperti ini sudah menjadi culture yang bisa menunda kemajuan. Namun hal ini, bisa diubah dengan adanya kesediaan untuk membuka pikiran guna mencapai kemajuan bersama.
Hal ini dapat dilakukan dengan meningkatkan keterlibatan perempuan dalam partisipasi politik. Ada beberapa alasan yang bisa menjadi justifikasi peningkatan peranan perempuan di dalam politik. Pertama, jumlah penduduk perempuan hampir sama dengan laki-laki, tetapi jika dilihat dalam representasinya di lembaga-lembaga politik masih rendah. Kedua, perempuan dan laki-laki memiliki hak yang sama dalam semua bidang kehidupan termasuk politik. Ketiga, kuatnya tuntutan global mengenai penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan. Keempat, tingkat keterwakilan di lembaga-lembaga penentu kebijakan baik di legislative, eksekutif maupun judisial masih belum berkeadilan gender. Kelima, perempuan berhak berperan mengambil keputusan menyangkut kepentingan dirinya, dalam mengejar ketertinggalan perempuan di berbagai bidang pembangunan. Keenam, perempuan secara alamiah memiliki kemampuan dan kualitas yang sama dengan laki-laki.
Perempuan dan Hukum
Jaminan persamaan kedudukan laki-laki dan perempuan telah diatur di dalam Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945, yang menyebutkan bahwa: “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.” Selain itu juga diperkuat oleh berbagai dalam instrumen hukum internasional misalkan di dalam Pasal 21 Deklarasi Umum tentang Hak Asasi Manusia Pasal 25 ICCPR, serta Konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women/CEDAW). Konvensi ini telah diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia melalui UU No. 7 Tahun 1984.
Dasar hukum hak-hak perempuan lain dapat ditemukan dalam instrumen hukum nasional, misal konvensi hak-hak politik perempuan dalam Undang-Undang Nomor 68 Tahun 1958. “Perempuan berhak untuk memilih dan dipilih dalam Pemilu”. Kemudian dalam pasal 46 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang menyebutkan: “sistem pemilihan umum, kepartaian, pemilihan anggota badan legislatif dan sistem pengangkatan di bidang eksekutif dan yudikatif harus menjadi keterwakilan perempuan sesuai dengan persyaratan yang ditentukan”.
Kuota 30% Di dalam UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah juga di sebutkan salah satu sub urusan yang penting terkait dengan perempuan adalah bagaimana meningkatkan kualitas hidup perempuan di bidang politik, hukum, ekonomi, sosial dan lain sebagainya. UU No. 2 tahun 2011 Tentang Partai Politik, “mewajibkan 30% keterwakilan perempuan sebagai pendiri, pengurus dan anggota partai politik”.
Sedangkan dalam UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, kuota 30% keterwakilan perempuan ini dimapankan dalam bentuk tindakan afirmatif (affirmative action) dalam lembaga penyelenggara pemilu ataupun dalam kesempatan menjadi kontestan elektoral (kandidat/calon legislatif). Bahkan untuk kandidasi tersebut, kebijakan afirmatif tersebut dilengkapi dengan sistem zipper sebagaimana diatur dalam Pasal 246 ayat (2) dalam UU No. 7 Tahun 2017. Melalui sistem ini, maka dari setiap 3 kandidat, salah satunya harus perempuan.
Dengan disepakatinya kuota 30% bagi perempuan untuk duduk di parlemen, di satu sisi merupakan agenda besar bagi perempuan untuk menetapkan langkahnya berpartisipasi dan turut serta dalam proses pengambilan keputusan di bidang politik, dan menyuarakan aspirasi perempuan yang selama ini terpinggirkan dan juga mengubah kondisi masyarakat ke arah yang lebih baik dan demokratis.
Jadi secara regulasi Indonesia memiliki payung hukum yang cukup kuat menyangkut pengaturan hak-hak perempuan. Hasil dari perubahan hukum tersebut telah berhasil secara kuantitatif meningkatkan keterpilihan perempuan di dalam Pemilu. Data dari KPU menunjukkan bahwa keterpilihan perempuan meningkat dari satu pemilu ke pemilu lainnya. Pemilu tahun 1999 sebanyak 9%, tahun 2004 sebanyak 11%, tahun 2009 sebanyak 17,86%, tahun 2014 sebanyak 17,32%, dan terakhir tahun 2019 sebanyak 20,52%.
Tantangan Kedepan
Meskipun secara statistik jumlah keterpilihan perempuan meningkat, hal itu belum berarti seluruh permasalahan yang dihadapi perempuan terselesaikan. Secara de facto perempuan masih mengalami benturan antara ranah publik dan domestik, marginalisasi baik di lingkungan rumah tangga, sosial, masyarakat serta politik. Perempuan, seperti juga laki-laki adalah warga negara dengan hak-hak kewarganegaraan yang sama, tidak boleh ada diskriminasi, karena hal ini bertentangan dengan prinsip-prinsip demokrasi dan hak-hak asasi manusia yang universal.
Perjuangan kesetaraan hak perempuan tidak cukup hanya diukur dari besarnya jumlah anggota parlemen dari perempuan, namun harus diletakkan dalam konteks keadilan sosial yang lebih luas. Ketimpangan hak-hak perempuan tidak hanya menjadi masalah perempuan, tetapi masalah semua anak bangsa. Demikian juga masyarakat yang berkeadilan gender tidak hanya akan menguntungkan perempuan, tetapi juga laki-laki, karena majunya perempuan akan berimplikasi pada kemajuan seluruh masyarakat, laki-laki dan perempuan. Singkat kata, perubahan struktural yang telah berlangsung dengan dibantu oleh perubahan hukum untuk meningkatkan keterwakilan perempuan di dalam lembaga politik harus dibarengi dengan perubahan kultural.
Mengutip apa yang disampaikan oleh Soekarno dalam bukunya Sarinah, bahwa: “Laki-laki dan perempuan adalah sebagai dua sayapnya seekor burung. Jika dua sayap sama kuatnya, maka terbanglah burung itu sampai ke puncak yang setinggi-tingginya, jika patah satu dari dua sayap itu, maka tak dapatlah terbang burung itu sama sekali.” Begitulah Demokrasi tanpa perempuan, demokrasi tak seimbang dan keadilan sosial tak akan tercapai.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari DETIKIndonesia.co.id. Mari bergabung di Channel Telegram "DETIKIndonesia.co.id", caranya klik link https://t.me/detikindonesia, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.Penulis | : Umi Illiyina |
Editor | : Mufik |
Sumber | : |