Oleh: Indra J Piliang – Seorang Perenang di Sungai, Danau, dan Samudera.
Hampir setiap hari, kita bisa baca dan lihat kekejaman yang dilakukan tentara pendudukan dan aparat kepolisian Israel terhadap bangsa Palestina. Bukan hanya tentara dan polisi yang sewenang-wenang, tetapi juga warga sipil Israel sendiri. Sebagian besar di antara mereka, tak lahir di tanah Israel – apalagi di Palestina –, tetapi baru mendapat status kewarganegaraan. Mereka berasal dari seluruh diaspora Bani Israil yang hanyut ke berbagai negara. Tak terbatas pada orang dewasa, pun kalangan remaja dan anak-anak Israel, bersuka ria di atas tanah, properti, dan hak milik warga Palestina. Korban nyawa tidak sedikit, bahkan di bulan Ramadan.
Yang disebut bangsa Palestina tak satu, tetapi terkhusus tertuju kepada bangsa Arab, baik Muslim atau Kristen. Sementara Bani Israil tentulah bangsa Yahudi. Masjidil Aqsa yang terletak di Palestina menjadi simbol persatuan, sekaligus persatean, dalam harmoni, plus tentu pertarungan berdarah selama berabad-abad. Salah satu era keemas an Tanah Palestina berada dalam zaman Nabi Sulaeman. Nabi, sekaligus penguasa. Adegan terbaik dalam segmen “Solomon” ini terjadi ketika memindahkan Istana Ratu Balqis dari Yaman di Selatan ke Palestina di Utara. Keindahan yang ada dalam imajinasi seorang kanak-kanak seperti saya, barangkali, kala mendengar kisah nabi-nabi dituturkan oleh guru-guru mengaji di surau, maupun guru-guru agama di sekolah, hingga cerita dari kakek yang seorang Tuanku Imam di kampung kami.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Tak heran, bukan hanya para aktivis, bahkan rakyat biasa di Indonesia sudah sejak dini “terpapar” simpati dan empati atas Palestina. Mau mereka berada pada pusaran ideologi kiri, kanan, bahkan yang anti ideologi sekalipun. Mau disebut sekular, agnostic, bahkan komunis, sudah punya satu pendapat bulat tak lonjong, yakni Palestina adalah korban dari keganasan Israel. Badan-badan amal kebanjiran donasi dari warga Indonesia, setiap kali peristiwa kekejian Israel muncul terhadap bangsa Palestina.
Sebaliknya, antipati atas Israel, umumnya, dan Yahudi, khususnya, pun sudah seperti sengatan tawon di daging pembalut tulang di badan bangsa Indonesia. Setiap kali muncul video atau foto terkait konflik di Palestina, sudah pasti telunjuk kesalahan tertuju kepada Israel. Padahal, sebelum negara ini dipaksakan lahir setelah kemenangan sekutu dalam Perang Dunia Kedua ini, nasib Kaum Yahudi sangat buruk. Biang keladinya adalah kamar-kamar gas yang dihadirkan Adolf Hitler guna membasmi Kaum Yahudi. Serial film Indiana Jones yang dibintangi Harrison Ford menunjukkan bagaimana hebatnya perang abadi antara Kaum Yahudi berhadapan dengan Nazi Jerman.
Dalam Musyawarah Besar Gebu Minang di Sawahlunto pada tahun 2005, hadir sebagai pembicara Taufik Rahzen, Andrinof A Chaniago, Edy Utama, dan banyak lagi yang lain. Termasuk saya datang ke Kota Tambang itu, lalu pulang naik sedan merah yang disopiri Edy Utama. Yang saya ingat, seminar itu heboh, akibat pernyataan dan analisis dari Taufik Rahzen. Kata Taufik, orang Minang kembaran dengan bangsa Yahudi. Dari soal garis matrilineal, hak waris, tembok ratapan, hingga tradisi merantau dan bisnis.
Saya tentu “ikut” mengamini. Taufik sebetulnya lagi membongkar (dekontruksi) ambivalensi dari orang Minang. Kembar identic, tapi paling ganas dan galak kepada Israel. Cuma, saya membuat garis demarkasi, yakni membedakan antara orang Minang dengan orang Pariaman. Kekuasaan kaum perempuan di Pariaman melebihi ranah Minang, mengingat laki-laki “dijapuik’ alias ‘dibeli’ oleh pengantin perempuan.
Artinya, kalau Taufik menyebut Ranah Minangkabau adalah kembaran Bani Israil, maka Pariaman adalah Tel Aviv atau ibukotanya! Kalau di Luhak Nan Tigo: Agam, Tanah Datar, dan 50 Kota, masih terdapat kalangan aristocrat – yang tampak dari mahasiswa-mahasiswa asal Hindia Belanda pertama yang dikirim belajar ke Belanda, pun nama-nama para pahlawan nasional asal Sumatera Barat – maka di Pariaman sama sekali egaliter. Makin anda dekat, makin jorok dan kotor Bahasa yang dipakai. Hanya emak-emak asal Pariaman yang kalau marah dan menyumpahi anak-anaknya, terdengar sangat sadis: “Di tembak patuih tonggalah waang!” (ditembak petir geledeklah lu), begitu kalau emak saya ngamuk. Sementara di Luhak Nan Tigo, bahasanya sejenis Sabai Nan Aluih, alias Bahasa kelas tinggi, halus.
Saya lalu membayangkan, barangkali suku bangsa Pelabuhan ini adalah ummat Nabi Musa yang ikut hanyut ditelan Laut Merah, gara-gara sibuk mencimeeh Firaun dan pasukannya yang hendak ditelan ombak. Ketika mayoritas Bani Israil – bangsa Budak, dalam film Mummy dan Mummy Return – sudah sampai di seberang, ada segelintir yang membalikan badan. “Mati lu ditelan ombak!” Karena ombak begitu kilat dating, merekapun ikut hanyut, sampai ke Samudera Hindia, dan tiba di Pariaman, ketika Gunung Merapi masih sebesar Telor Itik. Bisa jadi, orang-orang Pariaman ini saking cerdasnya, mampu membuat Sekolah Beruk, dan mengajarkan teknik memetic kelapa, mangga, apapun kepada beruk, pun mengajarkan kedisiplinan kepada anjing-anjing yang sejinak kucing, walau ganas di medan perburuan babi tiap pekan.
Makanya, saya tidak terlalu yakin (lagi) dengan segala macam nubuat, betapa yang dimaksud dalam kitab-kitab suci betapa Bani Israil lebih cerdas dibanding suku bangsa lain. Sebab, Israel membuktikan, betapa sebelum negara itu, Yahudi bertebaran di seluruh muka bumi dengan kecintaan kepada bumi, penghormatan atas perempuan, dan tak banyak melebur dengan suku bangsa lain. Sekalipun mereka adalah ius sangunis, berdasarkan garis keturunan dari ibu, tetap saja mereka menerima ius soli, berdasarkan tempat lahir. Cilakanya, negara Israel yang semata berdasarkan ius sanguinis, telah memanggil diaspora itu ke tanah yang bukan pulau kosong, hutan perawan, tetapi sudah berpenghuni, jauh sebelum peradaban modern ada. Israel adalah negara pandora yang menghisap habis kedigdayaan Sepuluh Perintah Tuhan yang diterima Nabi Musa di Bukit Tursina, lalu mengubahnya menjadi megalomania, yakni mem-Firaun-kan diri, sembari melihat suku bangsa Palestina sebagai bangsa budak.
Dengan kondisi tersebut, saya yakin, bahwa kehebatan yang “diberikan” oleh Allah SWT kepada Bani Israil itu, sesungguhnya masih tersebar di seluruh muka bumi, termasuk di Pariaman. Atau secara luas, Sumatera, sampai Jawa, Kalimantan, sekaligus juga Nusantara ini. Negara Israel memulangkan segala yang berbau buruk dan busuk tentang manusia, sembari meninggalkan energi yang baik dan harum di tempat-tempat lain. Negara Israel mendapatkan cangkangnya saja, badannya, tubuhnya, sementara jiwanya sudah terbangun dan tertana, di tempat lain.
Berdasarkan uraian yang berbau chauvinistic itu, mari kita masuk kepada bunyi Mukadimah Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945: “Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu adalah hak segala bangsa. Maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan Peri Kemanusiaan dan Peri Keadilan.”
Jikalau kalimat itu ditaruh secara netral, lalu dimasukkan dua buah nama ke dalamnya, yakni Palestina dan Israel, apa yang bisa dibaca? Ketika bangsa Indonesia terus berjuang untuk kemerdekaan bangsa Palestina, tidak bolehkah ada hak yang serupa bagi kemerdekaan bangsa Israel? Batas-batas Peri Kemanusiaan, baik kita taruh dalam Declaration of Human Rights. Bukankah Nurcholis Madjid dan Adnan Buyung Nasution menyatakan bahwa Konstitusi Republik Indonesia 1945 jauh lebih sempurna dibandingkan dengan konstitusi negara manapun, sampai-sampai pasal fiqih social “Fakir Miskin dan Anak-Anak Telantar Dipelihara oleh Negara” masuk? “Fakir miskin” adalah Bahasa Qur’ani, saduran dari Bahasa Arab, langsung ada dalam jantung dari Batang Tubuh Konstitusi Republik Indonesia 1945.
Lebih elok dimensi dari Peri Keadilan kita gali, berdasarkan hukum dasar dan dasar hukum bagi seluruh umat manusia. Silakan telusuri bagaimana riwayat dari Tim Sepakbola Israel. Mereka adalah anak-anak yang ditelantarkan dalam banyak sisi dan zona. Tercampak dan dihukum keluar dari satu zona ke zona yang lain. Bisa saja, dalam bayangan saya, anak-anak ini terbujuk dengan banyak informasi tentang sebuah negara muslim terbesar di dunia – yang beruk saja ada sekolahnya – sebagai penyelenggara. Entah energi apa yang tiba-tiba berputar, Tim Israel Usia 20 Tahun ini tiba-tiba saja menjadi trengginas, lalu menjadi Runner Up Zona Eropa! Capaian tertinggi yang pernah diraih.
Mereka bukan diundang untuk jadi negara peserta akibat belas kasihan, atau katabelece, apalagi mereka juga tak banyak punya lapangan sepakbola, saking terbatasnya tanah dan jadi batu nisan berdarah antar suku bangsa guna bermukim. Jauh dari bayangan, Israel bakal menjadi Tuan Rumah Piala Dunia Sepakbola. Mereka memenangkan kompetisi, lalu mengalahkan tim negara-negara Eropa yang jauh lebih punya tradisi, pengalaman, dan mentalitas juara.
Dan, atas dasar Peri Keadilan itulah, saya merasa biasa-biasa saja ketika Tim Israel akan datang ke Indonesia. Sebagai demontran jalanan sejak mahasiswa atas isu-isu negara-negara muslim, apalagi Palestina, saya merasa “terhormat” bisa melihat sosok yang selama ini selalu zombie di mata hati, piker, dan batin saya.
Tapi, kehormatan itu ternyata patah. Kita sudah tahu semua. Indonesia batal menjadi Tuan Rumah Piala Dunia Usia 20 Tahun. Dan sungguh, tak ada mekanisme pembelaan diri, pledoi, banding, dan lain-lain. Keputusan FIFA seakan tongkat Nabi Musa yang terjulur ke Bumi Nusantara. Saya tak ingin bersorak, siapa yang menjadi Fir’aunnya. Sebab, jutaan anak-anak muda, kini tertunduk lesu dan malu. Bukan hanya mereka yang ikut dilamun oleh ombak itu, juga tentu saya ikut digulung dan kini hanyut entah ke kedalaman yang mana, dan pantai apa…
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari DETIKIndonesia.co.id. Mari bergabung di Channel Telegram "DETIKIndonesia.co.id", caranya klik link https://t.me/detikindonesia, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.Penulis | : Indra Jaya Piliang |
Editor | : Fiqram |
Sumber | : |