Oleh: Abubakar Solissa (Direktur Executive Partner Politik Indonesia)
Pertarungan elektoral menuju Pilkada 2024 sudah didepan mata. Perang opini mulai ramai di kanal-kanal media sosial. Para kandidat sudah ancang-ancang, mempersiapkan diri untuk maju bertarung pada salah satu perhelatan paling bergensi di bangsa ini.
Meskipun begitu, pilkada baru akan digelar paska pilpres dan pileg yang hari pencoblosannya dilakukan pada 14 Februari 2024. Itu artinya, delapan bulan paska pemilu nasional baru pilkada serentak digelar, yakni, 27 November 2024.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Interval waktu antara pemilu presiden dan pemilu legislatif sangat berdekatan sehingga waktu yang ditempuh oleh para kandidat calon kepala daerah dalam mempersiapkan diri maju di gelaran Pilkada 2024 juga tidak banyak sehingga perlu effort yang besar.
Para kandidat calon kepala daerah seperti gubernur, bupati dan walikota, sudah harus mempersiapkan banyak hal sebagai bekal maju di pilkada nanti, seperti kendaraan partai politik, infrastruktur tim pemenangan, isu dan program serta sokongan finansial agar proses konsolidasi pemenangan bisa berjalan maksimal.
Tidak hanya itu, mental, track record dan reputasi juga perlu disiapkan. Baik incumbent maupun penantang harus siap dari semua aspek, terlebih incumbent yang punya beban masa lalu.
Wajah Janus Janji Politik Incumbent
Bagi seorang incumbent atau petahana, janji politik saat kampanye di pilkada sebelumnya bisa menjadi berkah sekaligus malapetaka. Ia memiliki wajah janus yang bisa mendatangkan kemenangan sekaligus kekalahan.
Dalam mitologi Yunani, Janus digambarkan sebagai dewa bermuka dua dan menghadap ke arah yang berlawanan. Satu wajah kedepan dan satunya lagi ke belakang. Dalam konteks positioning petahana saat pilkada, satu wajah penuh optimisme menang karena janji politik yang disampaikan saat pilkada sebelumnya bisa terealisasi dengan baik.
Wajah lainnya menampilkan pesimisme akibat buruknya prestasi kerja, pengelolaan birokrasi yang amburadul sehingga mengakibatkan pelayanan publik yang buruk, mental birokrat yang korup, pola kepemimpinan yang berjarak dengan rakyat, serta seabrek persoalan yang membuat pesona elektoral seorang petahana turun drastis saat momentum pilkada berlangsung.
Hal inilah yang membuat peluang petahana saat pilkada semakin mengecil. Petahana tidak lagi superior karena masyarakat merasa tidak puas dengan gaya kepemimpinan yang tidak memiliki dampak sama sekali terhadap kehidupan mereka.
Kebijakan programatik yang dilakukan dianggap tidak merepresentasikan kepentingan publik dan hanya mewakili kepentingan sekelompok orang yang dekat dengan circle kekuasaan. Visi-misi saat kampanye politik pada pilkada sebelumnya pun tak direalisasikan sehingga menimbulkan rasa kecewa secara berjamaah di masyarakat.
Berdasarkan data yang dirilis oleh Kompas (21/12/2020) menyebutkan bahwa 10 dari 15 incumbent atau petahana di Jawa Timur (Jatim) yang ikut kontestasi pilkada pada tahun 2020 harus tumbang dari penantangnya. Hanya lima petahana yang bernasib baik, dan bisa melanjutkan kepemimpinannya.
Di Yogyakarta, semua petahana yang ikut kontestasi tumbang, tak ada satupun yang bertahan, apalagi menang pada Pilkada 2020 kemarin. Di Sulawesi Tenggara (Sulteng) ada tiga petahana yang mengalami kekalahan karena dianggap tidak menawarkan kebijakan yang berorientasi pada kemakmuran.
Yang paling ekstrim itu terjadi di Nusa Tenggara Timur (NTT). Dari sembilan daerah yang berpilkada pada pilkada serentak Tahun 2020, delapan daerah diikuti oleh calon petahana, dan semua petahana yang ikut di delapan pilkada itu tak satupun keluar sebagai pemenang, semuanya tumbang.
Padahal, secara teori, calon kepala daerah petahana yang sedang berkuasa punya potensi menang dalam setiap konstetasi pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah.
Dan fenomena ini terjadi hampir disemua provinsi di Indonesia. Superioritas petahana tak lagi sehebat dulu. Hal ini diakibatkan karena masyarakat sudah mulai rasional dalam menentukan pilihan politik sehingga ada evaluasi terhadap kinerja sang petahana terhadap apa yang sudah dia lakukan selama lima tahun, termasuk program apa yang dia tawarkan kedepan.
Menurut saya, ada tiga aspek penting yang membuat petahana bisa tumbang. Pertama, realisasi janji politik saat kampanye yang tidak tuntas dikerjakan sehingga memunculkan distrust di masyarakat.
Kedua, kinerja birokrasi yang buruk akibat dari lemahnya leadership yang dimiliki oleh sang petahana sehingga berdampak sistemik terhadap kepentingan masyarakat sampai ke akar rumput (grassroots).
Ketiga, tidak ada ide progresif yang mampu dihadirkan oleh sang petahana dalam meyakinkan pemilih terkait dengan peta jalan pembangunan yang akan dibangun lima tahun yang akan datang. Minimal, ia mampu meyakinkan publik bahwa pembangunan pada periode pertama yang dianggap belum maksimal akan dituntaskan diperiode kedua andaikan kesempatan itu diberikan.
Keempat, disaat terjadi krisis kepercayaan masyarakat terhadap petahana, muncul penantang yang hadir dengan gagasan dan program yang lebih menarik dan kompatibel sehingga masyarakat melihat sang penantang ini sebagai figur alternatif yang dapat dipercaya.
Bila mencermati konstelasi politik di Pilkada 2024 mendatang, saya berani berspekulasi, akan banyak incumbent yang berguguran karena tidak mampu menjaga performa kepemimpinan dengan baik sehingga dengan mudah bagi masyarakat untuk mengevaluasi mereka saat proses pilkada berlangsung.
Kalau tidak ada upaya untuk memperbaiki performa kepemimpinan, maka potensi menang bagi sang petahana juga terbilang kecil.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari DETIKIndonesia.co.id. Mari bergabung di Channel Telegram "DETIKIndonesia.co.id", caranya klik link https://t.me/detikindonesia, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.Penulis | : Abubakar Solissa |
Editor | : Fiqram |
Sumber | : |