Lalu, tambah dia, aturan teknis juga akan memberikan jaminan bagi masyarakat bahwa mekanisme pengisian penjabat berlangsung secara terbuka, transparan, dan akuntabel untuk menghasilkan pemimpin yang kompeten dan berintegritas sesuai dengan aspirasi daerah.
“Dengan tidak adanya peraturan teknis, maka Pasal 1 ayat (1) UU Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pemerintahan Daerah yang menyebutkan bahwa penjabat gubernur, bupati, dan wali kota adalah pegawai negeri sipil yang berasal dari jabatan pimpinan tinggi madya sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku akan menjadi ‘multiinterpretasi’,” lanjut Ramdansyah.
Dia pun menyampaikan aturan teknis penetapan penjabat gubernur secara terbuka yang dibuat oleh pemerintah itu dapat menunjuk TNI ataupun Polri.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Meskipun begitu, tambah dia, penunjukan perlu merujuk pada kondisi keamanan atau kerawanan suatu provinsi, sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1959 tentang Penetapan Keadaan Bahaya. Dalam aturan tersebut, disebutkan ada tiga tingkat bahaya.
“Tingkat bahaya paling rendah adalah keadaan darurat sipil di mana militer masih belum dilibatkan sebagai penguasa daerah. Lalu, keterlibatan militer sebagai penguasa daerah dilakukan ketika suatu daerah menjadi darurat militer dan darurat perang. Dalam kondisi sekarang, ketiga kondisi bahaya ini tidak terjadi sehingga alasan penempatan TNI/Polri sebagai penjabat gubernur tidak beralasan,” jelas Ramdansyah.
Oleh karena itu, lanjut dia, Rumah Demokrasi mendorong PNS madya dengan rekam jejak yang jelas untuk menjadi penjabat gubernur. Tutup
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari DETIKIndonesia.co.id. Mari bergabung di Channel Telegram "DETIKIndonesia.co.id", caranya klik link https://t.me/detikindonesia, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.Penulis | : Tim |
Editor | : Fiqram |
Sumber | : Antara |
Halaman : 1 2