Politik di Spice Islands

Rabu, 20 November 2024 - 15:49 WIB

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Oleh: Moksen Sirfefa – CEO Institute of East Greater Indonesia

Baru membaca secara acak beberapa lembar buku Roger Crowley, Spice (the 16th Century Contest that Shaped the Modern World, Yale University Press, 2024) ini tiba-tiba pikiran saya tertuju pada dinamika politik lokal di Spice Islands akhir-akhir ini yang hanya berorientasi target-target pragmatis dan temporal.

Sudah lima abad kolonialisme dan imperialisme meninggalkan jejaknya di Spice Islands (Maluku Utara), tetapi gaung kebesaran negeri rempah-rempah ini terus menjadi perhatian para peminat peradaban untuk mengulik sisi-sisi lainnya. Salah satunya Crowley yang oleh Peter Frankopan (penulis Silk Roads) sebagai orang yang memiliki otoritas penuh bakat.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Kepulauan ini telah menjadi laboratorium evolusi. Keanekaragaman spesiesnya yang menakjubkan itulah yang mendorong Kepulauan Maluku masuk dalam sejarah dunia. Lima pulau vulkanik mikroskopis – Ternate, Tidore, Moti, Makian dan Bacan – adalah satu-satunya tempat di planet ini dimana pohon cengkeh tumbuh. Empat ratus mil ke selatan, beberapa pulau lainnya — Banda — merupakan sumber pala yang unik. Buah dari tanaman rempah itu membawa wilayah yang aslinya bernama “Maluku” (menurut Graham E. Fuller, dalam A World Without Islam (2012) adalah kosa-kata Arab) ini mendapat gelar Spice Islands dalam wacana perdagangan rempah-rempah.

Berawal dari catatan Marcopolo, pengelana Italia yang berkunjung ke Cina pada 1292 (abad ke-13) dan menemukan cengkeh (clove) yang menurut dia adalah tanaman asli Cina. Sebab tanaman ini adalah salah satu bahan pengobatan kuno para kaisar.

Alih-alih, kuncup cengkeh berusia 4.000 tahun telah digali dari kota-kota di tepi sungai Eufrat, juga pahatan relief armada rempah-rempah yang tercatat di Lembah Para Raja di Luxor. Kaisar Tiongkok era Dinasti Han mengharuskan para anggota istana untuk mempermanis nafas mereka dengan cengkeh dan rempah-rempah Romawi sebagai pintu gerbang penciuman menuju dewa — untuk mengharumkan persembahan kurban dan untuk mengangkat jiwa orang mati dari tumpukan kayu pemakaman. Rempah-rempah ini pun mengandung bahan antiseptik, analgesik, dan afrodisiak, untuk menyegarkan makanan dan minuman, sebagai isyarat surgawi.

Pelancong Italia yang lain, Ludovico di Varthema mengaku telah mengunjungi Banda dan Maluku (kemungkinan Seram, Ambon dan Maluku Utara, karena pulangnya ke Venesia melalui Brunai) sekitar 1505 dan menjelaskan budidaya cengkeh dan pala. Akunnya dengan cepat beredar di media cetak. Dari Verthema, orang Eropa tahu bahwa cengkeh bukan berasal dari Cina — sebagaimana cerita Polo tempo hari — tapi dari _Spice Islands_ di timur.

Para pedagang Muslim menjadi penguasa tunggal rute perdagangan rempah-rempah Asia (termasuk Nusantara) via Levant (Syam), negeri Romawi yang kini menjadi Lebanon, Suriah, Yordania dan Palestina sebelum sampai ke Venecia dan seluruh kawasan Mediterania. Mereka telah berperan penting dalam pengembangan jalur perdagangan jarak jauh melalui darat dan laut, termasuk pertumbuhan kota-kota pantai dan penyebaran agama (Phillip Bowring, Empire of the Winds, the global role of Asia’s great archipelago, 2019).

Baca Juga :  Di Era Jokowi, Pancasila Lebih Banyak Dibenturkan dengan Umat Islam

Jalur perdagangan tradisional ini telah ada sejak era Ratu Sheba dan Raja Salomo (10 SM) hingga era Islam. Sudah pasti di antara barang dagang yang dibawa kafilah dagang Abu Thalib dari suku Quraisy bersama keponakan remajanya, Muhammad dari kota Mekkah ke Levant juga adalah komoditas rempah-rempah yang berasal dari Nusantara, antara lain cengkeh dan pala. (Saat musim umroh tahun 2018, saya menemukan banyak cengkeh dijual para pedagang kaki lima di pelataran Masjid Quba, Madinah Munawarah).

Komoditas rempah setelah melewati banyak tangan, ia mengalami kenaikan begitu mencengangkan — hingga 1.000 persen saat mencapai Eropa — sehingga nilainya bisa melebihi berat emas. Terkadang, rempah-rempah menjadi mata uang tersendiri.

Peran pedagang Muslim selama beraba-abad menguasai jalur rempah (spice roads) Asia Tenggara kini digantikan pedagang Eropa (Portugis dan Spanyol, kemudian Belanda) yang notabene beragama Kristen. Misi “3G” (Gold, Gospel, Glory), meski dikemas rapih tetap selalu memicu perbenturan peradaban dengan penduduk di wilayah-wilayah jalur rempah yang mayoritas beragama Islam.

***

Saya ingin mengontes beberapa catatan penting untuk bahan perenungan bersama. Bahwa orang-orang Portugis di Malaka, Gresik, Banda, Hitu dan Ternate tercatat menghalalkan segala cara; membunuh, menggauli perempuan dan menguasai hak-hak penduduk pribumi secara paksa. Begitu pula orang-orang Spanyol saat di perjalanan, di Amerika Latin dan di Filipina. Mereka tak segan menyalakan meriam dan mortir menembak penduduk dan membakar rumah-rumah mereka.

Dikisahkan pada saat di Kepulauan Kenari (Atlantik), seorang Sisilia yang diberi tugas oleh Magellan membawa Victoria, Antonio de Salomon, _was caught in an act of sodomy with his cabin boy._ Demikian halnya saat _Armada de Moluccas_ (_Molucca Fleet_) ini di Brazil.

“Setelah beberapa hari berlayar, mereka tiba di Guanabara, dekat teluk Rio de Janeiro. Di hamparan pantai ini mereka bertemu dengan masyarakat Tupi yang mempunyai hubungan baik. Carvalho pernah kesini sebelumnya. Dia bertemu dengan putra yang dilahirkan oleh wanita setempat dan membawanya ke kapal.”

“Dari sudut pandang pelaut, tempat ini adalah tempat istirahat yang menyenangkan, dan tempat dimana semua fantasi mereka tentang kepolosan masyarakat suku pribumi bisa terwujud. Mereka bebas “bergaul’ dengan anak-anak gadis setempat hanya dengan hadiah sisir, cermin, sendok dan benda-benda logam murahan yang untuk ukuran waktu itu suatu kemewahan. Minat suku pribumi pada benda-benda logam sangat tinggi, sehingga sepotong paku besi pun adalah sangat berharga.”

“Yang paling menggembirakan bagi para pelaut biasa adalah perdagangan seksual. “Para lelaki memberi kami satu atau dua anak gadis mereka untuk satu kapak atau satu pisau besar, tetapi mereka tidak mau memberikan istri mereka kepada kami walau ditukar dengan apapun.”

Baca Juga :  Sisi Lain Dari Pelantikan HIKMU, Istilah "MASURE" Oleh Sandiaga Salahudin Uno

Terdapat catatan Pigafetta yang (kelihatannya) perlu dikritisi :

_”Suatu hari seorang wanita muda cantik datang ke kapal utama, tempat saya berada, hanya untuk mencari kesempatan. Saat di sana dan menunggu… (dia) melihat paku yang lebih panjang dari jari seseorang. Ia mengambilnya dengan sangat gembira dan hati-hati, dia memasukkannya ke dalam bibir vaginanya, dan membungkuk rendah lalu segera pergi. Kapten jenderal (Magellan — pen) dan saya menyaksikan hal itu. Keindahan Laut Selatan ini memiliki sisi gelapnya.”_

Pribumi di daerah-daerah taklukan selalu menyandang stereotip rendah dengan julukan pejoratif lainnya. Padahal mungkin yang dimaksud Pigafetta adalah si gadis Tupi itu menyembunyikan sepotong paku ke dalam roknya atau menjepitnya di antara kedua pahanya.

Kebiadaban armada Magellan ini juga terjadi di Filipina. Mereka memurtadkan penguasa lokal disana yang yang berada dalam pengaruh kesultanan Sulu. Armada Maluku dibawah komandan Magellan berhasil memperdaya raja Cebu, Humabon, termasuk keponakannya juga raja Kolambu dari Limasawa dengan 500 pengikutnya. Sehari sesudahnya Ratu Cebu dan Ratu Limasawa dibaptis. Nama mereka diganti dengan nama Spanyol. Raja Humabon menjadi Carlos (menggunakan nama raja Spanyol waktu itu), raja Kolambu menjadi Juan, Ratu Cebu menjadi Joana dan Ratu Limasawa menjadi Isabel. Dalam seminggu kurang lebih 800 orang yang terdiri dari laki-laki, perempuan dan anak-anak berhasil dikristenkan. Ambisi Magellan untuk mengkristenkan kerajaan Lapulapu gagal karena ia mati secara tragis di pantai “tofor” pulau Mactan. Ulasan detil tentang hari nahas Magellan dicatat Pigafetta dan dikutip Crowley di halaman 70-71 buku _Spice_ di atas.

***

Saatnya belajar dari sejarah bahwa tidak selamanya kebaikan dibalas dengan kebaikan. Perlakuan yang ramah dari penguasa lokal _Spice Islands_ terhadap bangsa Eropa yang datang ke wilayahnya adalah wujud etika ketimuran, namun secara politik kurang menguntungkan. Sebab, dengan kekayaan timur yang melimpah, orang-orang Eropa itu membangun kota-kotanya dan tembok-tembok istana yang megah, sementara penduduk di negeri–negeri taklukan hidup sengsara hingga hari ini.

_Pertama,_ sewaktu armada Franscisco Serrão di Hitu, pasukan kora-kora Ternate datang membawa “koro” sultan Bayan Sirullah agar Serrão mengunjungi Ternate. Setelah tiba di Ternate, Serrão disambut dengan ‘karpet merah’ oleh sultan Bayan. Sultan Bayan sendiri mengungkapkan dalam sambutan selamat datangnya, bahwa “saya telah bermimpi kedatangan pasukan berbaju besi untuk membantu saya”. Ia menyatakan kesultanan Ternate berkhidmad pada Raja Manuel.

Sultan Bayan juga dalam suratnya kepada Raja Manuel pada 1514, menyerahkan kepada Portugal (lewat Serrão) seluruh ekspor cengkeh Ternate ke Malaka dan dengan tujuan Ternate memperoleh pasokan senjata untuk menghadapi rivalnya di seberang, Tidore. Sultan Bayan bisa senaif itu karena semua titahnya diatur Serrão yang ia angkat sebagai staf khusus. Untuk membuat sultan Bayan menganggap dia kerabat _kadato,_ Serrão menikah salah satu gadis (_jojaru_) Ternate (meskipun saat perjalanan dari Malaka ke Banda, ia mengambil seorang wanita Jawa sebagai istrinya). Tidak ada orang Eropa yang bisa menduduki jabatan _bobato_ kesultanan Ternate selain Serrão, walau akhirnya dia harus mati diracun oleh rivalnya dalam istana.

Baca Juga :  Resilensi Demokrasi Kita

_Kedua,_ sewaktu armada Sebastian D’Elcano tiba di Tidore 8 November 1521, mereka disambut di atas geladak Victoria. Sultan Tidore yang berwibawa ini menyatakan “saya telah bermimpi beberapa waktu lalu kedatangan tamu yang jauh”. Rupanya, “mimpi” menjadi salah satu frasa diplomasi antar bangsa yang populer masa itu.

Tanggal 10 November sultan Mansur menjamu D’Elcano dan kru makan siang di istana Mareku. Saat itu sultan Mansur menyatakan berkhidmat pada Raja Carlos dan menjadikan kerajaan Spanyol sebagai mitra strategis. Saat Victoria kembali ke Seville dengan muatan cengkeh yang berlimpah, sultan mendesak D’Elcano agar meninggalkan empat anak buahnya untuk menjadi “dibo-dibo” di Tidore. Tindakan ini juga sebagai mekanisme pertahanan diri terhadap rival tradisionalnya, Ternate.

_Ketiga,_ kontes perjalanan para penakluk dunia baru (_reconquistadores_) asal Eropa itu tidak melulu kebaikan tapi juga kebiadaban sebagaimana tergambar di atas. Sementara penerimaan dan penghormatan para penguasa Muslim terhadap tamu-tamu asing ini tidak terlepas dari nilai-nilai keislaman yang menjadi landasan pijaknya.

***

Di era demokrasi saat ini, perilaku kesalehan pribadi dan sosial merupakan mujarobat elektabilitas yang paling ampuh. Tetapi seperti perilaku politik yang ekstrinsik (didatangi jika dibutuhkan), kesalehan “kuli-kuli aer” (_surface piety_) atau kesalehan simbolik ini selalu memakan banyak korban. Sebab bantuan ‘sembako’ atau uang tunai yang tak seberapa dari tim sukses kandidat tertentu tidak sebanding dengan pilihan politik rakyat yang menggantungkan harapan mereka selama lima tahun ke depan. Setelah pesta demokrasi berlalu, mereka yang terpilih akan lebih banyak melayani diri sendiri dan keluarganya tinimbang memikirkan nasib rakyatnya.

Sejarah kolonialisme yang ditunjukkan Serrão, Magellan dan D’elcano di satu sisi mengingatkan kita pada faksionalisme, rivalitas dan skisma antar saudara tapi di sisi lain menghadirkan kerinduan tentang pentingnya menghidupkan kembali kejayaan masa lalu (_reviving past glory_) untuk menyiasati tantangan masa depan.

Realitas masyarakat di _Spice Islands_ yang mayoritas Muslim akan selalu menjadi korban politik dari waktu ke waktu. Sebab para kompetitor pintar memanipulasi dan mengagregasi apa yang menjadi elan vital masyarakat. Kearifan lokal seperti rasa hormat pada orang lain, rendah hati, empati, toleran dan solider akan mendorong setiap pemilih memilih kandidat pemimpin yang berhasil menarik simpatinya. Inilah _native_ masyarakat Moloku Kie Raha sejak masa lalu. Kadangkala hal itu dimanfaatkan sebagai komoditas politik, sementara rakyat tak sadar berada dalam jebakan kearifan mereka sendiri.

Tabea!

Jakarta, 20 November 2024.

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari DETIKIndonesia.co.id. Mari bergabung di Channel Telegram "DETIKIndonesia.co.id", caranya klik link https://t.me/detikindonesia, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.

Penulis : Moksen Sirfefa
Editor : Delvi
Sumber :

Berita Terkait

Konflik Politik dan Resolusi
Catatan Politik Senayan; Prioritaskan Program dengan Berpijak Pada Aspirasi Publik
Transmigrasi Bukan Solusi Kesejahteraan Bagi Penduduk Orang Asli Papua
Implementasi Disertasi Menteri Bahlil: Pembentukan SATGAS Hilirisasi Berkeadilan dan Berkelanjutan Mendesak Dipercepat
Rancu Produk Hukum Pelantikan Presiden & Wakil Presiden
Kerek Lamok dan Wunuk Kerek
Perempuan Lani dan Cawat Tali
Sahabatku, Sukiman Yang Syahid Dalam Mencari Nafkah

Berita Terkait

Minggu, 22 Desember 2024 - 09:41 WIB

Pemkot Tidore Raih Penghargaan Pengelolaan TKD Terbaik T.A 2024

Minggu, 22 Desember 2024 - 07:01 WIB

TPID Kota Tidore Gelar Rakor Pengendalian Inflasi Jelang Nataru

Minggu, 22 Desember 2024 - 06:54 WIB

Dorong Pembangunan Kaimana Berbasis Data, Bupati Freddy Thie Jalin Kermitraan Strategis Dengan BPS RI

Kamis, 19 Desember 2024 - 16:03 WIB

Hadiri Investment Forum, Bupati Freddy Thie Perkenalkan Pariwisata Kaimana

Kamis, 19 Desember 2024 - 15:56 WIB

Pemkab Kaimana Kembangkan Ekowisata Berkelanjutan di Teluk Triton

Kamis, 19 Desember 2024 - 15:51 WIB

Artis Papua Edo Kondologit: Dari Anak Kampung hingga Ikon Musik Papua dan Indonesia

Kamis, 19 Desember 2024 - 10:53 WIB

Akhirnya PT. Kredit Plus Ternate Digugat Ke Pengadilan Negeri 

Rabu, 18 Desember 2024 - 16:47 WIB

Galian C Milik Hasan Hanafi Diduga Kuat Tidak Kantongi IUP

Berita Terbaru

Teraju

Konflik Politik dan Resolusi

Minggu, 22 Des 2024 - 09:34 WIB